Mohon tunggu...
Weedy Koshino
Weedy Koshino Mohon Tunggu... Lainnya - Weedy Koshino

Konnichiwa! Ibu 2 anak yang hidup di Jepang. Ingin membagi pengalaman selama hidup di Jepang. Penulis Buku Unbelievable Japan 1,2,3 dan Amazing Japan. Yoroshiku Onegaishimasu.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Menyikapi Menu Makanan Sekolah yang Mengandung Daging Babi

2 Maret 2014   18:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:18 2091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_325535" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Reuters/The Guardian)"][/caption]

Memutuskan untuk menetap di Jepang, tentu kita harus siap dengan segala konsekuensi yang ada nantinya. Perbedaan budaya? Adat istiadat? Tentu saja kita dituntut untuk segera cepat menyesuaikan diri agar bisa diterima dengan baik di lingkungan kita tinggal. Apalagi kalau kita membawa nama keluarga, bukan hanya memikirkan kenyamanan diri kita sendiri tapi kenyamanan suami dan anak-anak kita, ya mereka lah yang selalu jadi bahan pertimbangan utama dalam setiap tindak tanduk saya sebagai seorang istri, ibu dan sebagai orang asing yang tinggal di Jepang.

Kendala cukup berat yang saya hadapi adalah kalau yang sudah berkaitan dengan prinsip keyakinan. Ya, yang saya ingin bahas adalah satu kekalutan yang hebat ketika anak-anak saya masuk sekolah di Jepang.

Bismillah, semoga pengalaman saya tidak menyakiti dan menyinggung siapapun yang membacanya. Alasan inilah, kenapa saya tidak pernah menulis tentang agama dan keyakinan, karena pada dasarnya hal itu adalah urusan manusia dengan sang Pencipta. Setiap orang mempunya prinsip dan pandangan yang berbeda-beda. Semoga, prinsip yang kami pegang tidak menjadi polemik bagi siapapun yang membaca tulisan dari pengalaman pribadi saya ini.

[caption id="attachment_314768" align="aligncenter" width="300" caption="Dok.pribadi Skejul Menu Kyuushoku TK"]

13937304641006380469
13937304641006380469
[/caption]

Sebagai seorang muslim yang tinggal di Jepang, sangat susah untuk menemukan makanan yang halal, daging sapi dan ayam halal? Ada! Tapi kita harus membelinya di toko online dengan memesan terlebih dahulu dan baru 3-4 hari terkirim ke rumah. Karena memang di supermarket biasa tidak terjual daging yang berlabel halal, jangankan yang halal, daging cincang 100% sapi dan sosis sapi/ayam pun jangan harap bisa dijumpai di supermarket biasa. Susah? Banget! Bagai mencari jarum dalam jerami. Solusinya? Biasanya saya minta tolong suami kalau ada tugas ke Indonesia, saya buru-buru masukin cooler box ke dalam kopernya, dan pulang ke Jepang dengan membawa berbagai macam sosis sapi/ayam untuk konsumsi anak-anak saya selama satu tahun! Kena razia di bandara? Ternyata Tuhan tidak tidur dan selalu melihat kegelisahan hambanya, syukurnya sosis sosis itu selalu selamat sampai masuk kulkas saya.

Karena cukup sulit mendapatkan daging halal di Jepang, akhirnya kami memutuskan untuk membeli daging sapi dan ayam di supermarket biasa yang tidak berlabel halal. Saya dan beberapa teman Indonesia yang keadaannya sama seperti saya kerap mendapat teguran keras mengenai hal ini, tapi syukurnya sekarang kami sudah kebal dan hanya tersenyum saja ketika ada yang menghujat tentang kehidupan kami disini,… “Dear lovely friends, you don’t know how hard to live with this situation.”

Kendala mendapatkan daging sapi dan ayam?? Sama sekali tidak ada, ya walaupun itu tidak berlabel halal, bisa kita dapatkan dimana saja, tapi jangan lupa selain itu ada juga loh daging babi atau yang kita sebut disini, adalah butaniku, jadi hati-hati jangan sampai salah beli ya, karena memang letak daging sapi, butaniku dan ayam memang saling bersisian.

Salah satu prinsip kami, saya dan keluarga tidak memakan daging babi. Daging babi? Ya, disini daging babi adalah yang paling banyak di jual daripada daging sapi, bahkan dalam makanan kemasan pun banyak yang mengandung campuran daging babi. Karena itu saya selalu mengecek setiap makan yang dibeli. Walaupun tidak tertutup kemungkinan kami secara tidak sengaja sudah memakannya secara tidak sadar.

Masalah besar muncul ketika si sulung mulai memasuki sekolah Taman Kanak-Kanak di sini. Bukan metode pelajaran yang saya takuti tapi ada satu kekhawatiran yang muncul ketika saya tidak bisa mengontrol bahan makanan apa yang tercampur dalam makan siang yang disajikan nanti di sekolahnya. Ya, sekolah Jepang biasanya akan menyiapkan makan siang yang dimakan secara bersama-sama di dalam kelas, atau yang kita sebut juga dengan Kyuushoku (給食=school lunch).

Melihat keadan ini, saya dan suami mencari TK yang bersifat fleksibel, dalam arti adanya kelonggaran agar anak saya tidak perlu memakan Kyuushoku, tapi membawa bento (bekal makanan) dari rumah saja. Hasilnya? NIHIL. Tapi syukurnya kami ketemu satu sekolah TK yang cukup pengertian, yaitu membolehkan saya membawa bekal lauk dari rumah ketika pada hari itu lauk yang disajikan disekolah pas ada butaniku-nya. Dispensasi dari pihak sekolah ini kami terima setelah saya dan suami menyatakan kalau keadaan kami (tidak memakan butaniku) itu adalah karena alasan keyakinan agama bukan karena alergi. Memang di Jepang, bagi anak yang menderita alergi terhadap suatu jenis makanan, maka pihak sekolah akan mencoba untuk menyediakan makanan pengganti asalkan ada surat keterangan dari dokter sebagai pernayataan resmi.

Setelah mendapat kelonggaran dari sekolah, membuat kami bisa bernafas lega karena saya masih bisa mencegah butaniku masuk ke dalam perut anak saya. Pada umumnya untuk setiap dua minggu sekali kami orang tua akan mendapat skejul perincian menu dan komposisi makanan yang terkandung dalam menu Kyuushoku (school lunch). Khusus untuk anak saya, kami mendapat 2 lembar kopi skejul menu Kyuushoku. Untuk lauk yang mengandung butaniku saya beri tanda dengan stabilo, lalu satu lembar di kirim kembali ke sekolah dan satu lembar saya pegang di rumah. Jadi setiap ada lauk yang mengandung butaniku, saya akan membawakan lauk dari rumah dengan jenis masakan yang sama tapi butaniku saya ganti dengan daging sapi/ayam. Repot? Tidak kok, terkadang bekal yang anak saya bawa itu adalah lauk yang akan nanti saya makan juga buat dinner, yah sambil menyelam minum air, sekalian bikin jadi gak repot dan capek.

1393730363811490730
1393730363811490730

Keadaan ini berlangsung sampai anak sulung saya lulus TK, dan ketika masuk SD masalah pun bertambah berat. Kenapa? Anak menjadi kritis! Bukan saja masalah membeda bedakan menu saja, tapi alasan kenapa tidak memakan butaniku itu yang membuat saya meminta pendapat teman-teman senpai/senior yang sudah tinggal lama sekali di Jepang atau teman yang mempunyai anak yang seumuran dengan anak saya, jawaban apa yang seharusnya diberikan agar cepat bisa dimengerti oleh anak kecil.

Memberikan suatu jawaban yang mudah dicerna oleh anak kecil ternyata lebih susah daripada harus menjelaskan kepada orang dewasa. Kenapa? Karena kalau orang dewasa tidak mengerti dengan jawaban yang didengarnya, mereka bisa usaha untuk mencari jawaban yang lebih jelas melalui internet dan membaca buku yang berhubungan dengan itu. Tapi untuk seorang anak kecil? Ya, kalau bukan orang tuanya, siapa lagi? Karena itu, seperti yang saya utarakan, menjelaskan sesuatu yang tidak terlihat mata itu lebih susah karena dari satu jawaban yang saya utarakan. itu akan menelorkan 1000 pertanyaan baru, apalagi saya bukan orang yang pintar tentang ilmu agama, dalam arti ilmu agama saya sangatlah cetek sekali, sehingga terkadang membuat saya jadi bingung sendiri.

Dari diskusi teman-teman senpai (senior) dan teman sebaya yang tinggal di Jepang, saya mendapat banyak pencerahan, walaupun beraneka agam jawaban yang saya dengar, saya sangat menghormati dan menghargai setiap penuturan alasan yang mereka kemukakan. Tapi tetap saja, pada akhirnya keputusan bagaimana aturan yang akan kami terapkan terhadap masalah Kyuushoku ini, adalah harus dari pemikiran kami sebagai orang tua dengan melihat kondisi dan kemampuan sang anak.

Ada satu hal yang sangat saya takuti apabila anak saya harus membawa bekal sendiri dari rumah karena tidak memakan kyuushoku dari sekolah. Ya, hal yang menakutkan itu adalah sang anak yang akan terkena IJIME! Ijime atau Bully, adalah suatu perlakuan tidak menyenangkan dengan cara mengolok-olok, menghina dan mencaci maki, bahkan melakukan kekerasan kepada orang yang dianggap berbeda dengan lingkungannya! Berbeda dalam arti apa? segala hal! Hal yang sangat mudah seseorang kena Ijime/bully adalah, anak campuran, anak yang terlalu gemuk atau kurus, pendiam, dan lain-lain. Dalam hal ini, karena anak saya berbeda karena tidak makan lauk yang sama dengan teman-temannya, saya khawatir si sulung akan jadi sasaran empuk untuk menjadi bahan olokan teman-temannya. Dan anak kecil yang baru masuk sekolah tentu masih sangat labil apabila suasana sekolahnya tidak nyaman dan kemungkinan akan berefek kepada kegiatan belajarnya disekolah.

Menyikapi kekhawatiran ini maka saya dan suami berdiskusi dengan guru wali kelas di sekolah, dan akhirnya menghasilkan keputusan yang membuat kami cukup lega, yaitu kalau anak saya diberi kelonggaran untuk tidak memakan lauk yang mengandung butaniku, tentu saja atas pengawasan gurunya, dimana ketika ada seseorang temannya yang menanyakan keadaan si sulung, sang guru akan turun tangan membantu menjelaskan. Jadi, anak saya tetap memakan menu Kyuushoku di sekolah, tapi dengan kesadaran sendiri si sulung selalu menyingkirkan lauk dengan kandungan butaniku, karena itu setiap skejul menu yang saya terima dari sekolah saya juga memberi tanda dengan stabilo agar anak saya bisa aware nantinya, dan saya pun juga akan selalu mengingatkan sebelum ia berangkat sekolah.

Susah dan repot?? Ah, tidak kok. kalau hanya membayangkan saja, sepertinya memang agak sulit untuk diterapkan, tapi sejalan dengan waktu, kita akan terbiasa dengan situasi ini, intinya kita harus juga bisa berkompromi terhadap keadaan yang terkadang tidak sesuai dengan keinginan kita, dalam arti tidak saklek! Jadinya kita juga tidak stress sendiri, kasihan juga anak-anak kalau selalu ditekan terus, syukurnya seiring dengan waktu juga lambat laun si sulung dan sibungsu sudah sadar dan mengerti tentang hal butaniku disekolah. Dan sampai sekarang sepertinya tidak ada masalah tentang pemilahan daging ini. Yah, saya yakin tidak hanya di Jepang saja ada situasi yang tidak kondusif seperti ini. Di negara manapun pastilah ada masalah kok yang memang harus kita hadapi, walau memang masalah yang muncul itu berbeda beda jenis dan kadarnya. Yang penting bagaimana kita menyikapinya. Jangan lah menganggap sesuatu yang berbeda itu adalah suatu masalah, karena sesulit apapun keadaan yang menimpa kita, saya berkeyakinan pasti ada jalan keluar yang terbaik yang bisa kita pilih.

Note.

Sampai detik ini pun, saya selalu tertarik untuk membaca dan mendengarkan cerita teman-teman yang tinggal di Jepang, bagaimana menyikapi pemilahan butaniku dalam Menu Kyuushoku di sekolah. Semoga ada teman-teman K yang tinggal di Jepang yang berkenan menceritakan pengalamannya disini. Yoroshiku Onegaishimasu.

BUTANIKU (豚肉)  : DAGING BABI

KYUUSHOKU (給食) : MAKAN SIANG DARI SEKOLAH

Salam Hangat, wk

Foto 1. Skejul Menu Makan Siang di TK (dok pribadi)

Foto 2. Skejul Menu Makan Siang di SD (dok pribadi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun