“Pagi Wi, kuy jalan ni helmnya … happy Sunday!”, tumben baik.
Pagi itu entah mau dibawa kemana juga tak jelas, sepanjang jalan tanya mau kemana juga rasa-rasanya percuma. Mending diam dan menikmati perjalanan. Ah Rama makasih sudah membawaku keluar dari lingkar kampus itu “jeduk..”, helmnya mengenai helmku, sepertinya disengaja.
“Kenapa Wi? Seneng? Kurang piknik tuh … Rama kalau penat biasanya jalan ke @#$%^&*…”, capek dengernya.
“Yaelah cowok mah beda, pengen kesana-sini tinggal berangkat, nah cewek? Gak semudah itu tau Ma..,” sahutku.
“Cewek mah mudah Wi, tinggal bilang ke cowoknya. Eh lupa kan ga punya cowok ya Wi?” ledeknya diiringi tawa lepas. Sial.
Hari itu ceritanya, lupa cerita. Ceritanya, ah panjang. Intinya benar-benar lupa. Apasih gak jelas wi! Obrolan-obrolan mulai tak sehat. Awas baper awas … . Enggak kok masih waras, sampai tiga gelas kopi dalam sehari dihabisi tanpa ampun.
Seharian pergi berdua dan bercerita banyak hal tidak lantas mengubah pandanganku tentang Rama. Rama tetap Rama temanku, toh meski ternyata ada maksud lain tetap saja tidak mungkin “ada rasa”.
Sejak itu, minggu pertama aku kecanduan berat dengan minuman gelap yang beraroma khas, sebut saja kopi. sebelumnya hanya iseng kalau sedang lembur. Semenjak hari itu malah gak bisa lepas.
Hitam manis…hitam manis yang hitam manis.. pandang tak jemu… . Apa sih wi?
Kopikopikopi…
Rama dengan talentanya seperti salles dengan mudah mengiming-imingi kopi setiap lembur malam dikampus. Berawal dari kopi, obrolanku dan Rama berlanjut. Banyak cerita yang kami bagi. Ku fikir, malaikat sekali orang ini. Semoga saja aku tak terbawa suasana.
Day after day … .
Sepertinya benar-benar kecanduan.
Minggu ke tujuh. Si hitam itu mulai dingin, sikapnya berubah. Kopinya mulai aneh, rasa-ranya lambungku mulai sakit. Tapi jadi bingung, sakit liver atau sakit lambung? Ah ngaco, mana bisa gitu.
“Eh temanku yang sibuk, sibuk banget ya? Tu muka kecut banget tau, nyebelin. Sok sokan diemin aku lagi. Gak enak tau…Kalau mau pergi , pergi dengan cara yang baik . Kabar-kabar kek, main ngilang aja ”,entah angin apa aku berucap pada Rama.
“Kenapa? Gak suka diginiin? Bentar-bentar, pergi dengan cara yang baik? Enggak kok Wi, Rama ga pergi haha… cie”, lagi-lagi kalimatnya menjebakku.
Banyak hal yang ku pelajari dari Rama hingga minggu ke sebelas. Banyak hal yang membangun. Tapi aku mulai khawatir. Bagaimanapun tujuan Rama baik denganku hanya untuk menolongku dari kejenuhan, membuatku bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Tidak lebih. Tau persis kan kopi yang manis dikonsumsi tiap malam ujung-ujungnya bikin diabet ? Persis.
Ketertarikanku sepertinya patut dicurigai. Mulai tidak sehat. Kopi dan Rama keduanya sama. Bikin kecanduan. Bikin melek dan sadar diri, bikin sadar peran penting posisi dan pengaruh dan seandainya aku menyukai keduanya, mungkin itu sebatas kagum. Risiko bersama keduannya sama-sama besar dan aku memilih, mundur.
Biar kalaupun benar bukan sebatas kagum cukup ku isi lagi cangkirku. Sekedar mengingat yang lalu, kopi mewakili Rama dan semua aman karena kunci hubunganku, Rama dan Kopi adalah… , Radius.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H