Sehabis orasi sastra para undangan disuguhi hidangan masakan timur tengah yang mak nyus. Namun, yang sangat saya sayangkan adalah bagaimana cara mereka makan, mungkin karena sudah terbiasa menghadiri standing party mereka menyantap makanan tersebut sambil berdiri, sehingga kursi yang tersedia tidak terisi hanya sedikit diantara mereka yang makan sambil duduk dan salah satunya adalah bapak Kiyai Haji Ali Mustafa Ya’kub. Umumnya mereka makan sambil berdiri dan berjalan mondar mandir termasuk Guntur Romli dan Fajroel Rachman.
Orang-orang selama ini saya lihat mengobral kekritisan mereka tentang kondisi negeri ini di TV. Mereka berbicara tentang kreativitas yang di anggap subversi, appreasiasi seni yang terpenjara dalam sekat doktrin agama sepihak, hak asasi manusia yang terkebiri, berbagai macam kritik terhadap politikus yang hanya menebar janji tanpa bukti, namun hari itu mereka tampil dengan wajah lain dari yang selama ini saya saksikan di TV, juga sangat berbeda dengan yang sosok yang selama ini saya kenal lewat karya tulis mereka. Sekarang mereka tampil laksana pribadi utuh dengan apa yang mereka kritisi selama ini, kritik itu tergambar dalam keseharian dan pola mereka.
Melalui media elektronik dan media massa lainnya, mereka tampil bak pahlawan pembela kepentingan masyarakat,tapi sedikit saja mereka luput dari pengamatan media mereka kembali menjadi penentang idealis mereka sendiri. Ironis…
Terakhir saya mengutip perkataan M.Irfan Hidayatullah, “permasalahan serius sebenarnya adalah tragedi ironi. Saat orang ingin berbuat banyak tetapi keseharianya tepisah dari apa yang dia tuliskan dan idealkan. Lalu apa yang di cari dari sebuah kekritisan? Identitas-identitas kita sempurna terpecah bahkan pada orang yang seharusnya utuh…”
Wallahu a’lam..
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI