Outlook komoditas batubara di tahun ini diproyeksikan tidak akan lebih baik dibanding tahun lalu. Walaupun harga batubara mengalami rally penguatan di awal kuartal tahun ini, ke depan harganya diproyeksikan perlahan akan melandai.Â
Harga karet dan kopi sangat fluktuatif dan dipengaruhi oleh siklus boom-and-bust di pasar internasional. Tetapi selama barang-barang tersebut tidak termasuk dalam kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat, maka pemerintah cenderung menyerahkan harga-harganya kepada pasar bebas untuk ditentukan berdasarkan prinsip permintaan dan penawaran.Â
Namun, pemerintah harus melakukan intervensi, melalui berbagai langkah, di pasar komoditas yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat seperti bensin, beras, dan baru-baru ini minyak goreng, untuk mengendalikan inflasi yang biasanya paling memukul segmen penduduk termiskin. Ini adalah ekonomi pasar yang dikelola.Â
Kita sudah familiar dengan skema stabilisasi harga pemerintah untuk beras, beberapa produk hortikultura dan daging sapi, yang sebagian besar dilaksanakan melalui langkah-langkah nontarif seperti mekanisme kuota impor karena kenaikan harga yang tinggi biasanya disebabkan oleh defisit domestik.Â
Namun minyak sawit yang memasok lebih dari 95 persen minyak goreng negara itu berbeda karena Indonesia adalah produsen terbesar dunia, dengan output nasional mencapai 42,6 juta ton dan ekspor 29 juta ton hanya dalam 10 bulan pertama tahun lalu. Padahal, pemerintah memperkirakan 16 juta ton dari total ekspor minyak sawit adalah minyak goreng, sedangkan kebutuhan domestik untuk rumah tangga dan industri hanya sekitar 5,7 juta ton per tahun.Â
Masalah muncul setelah harga minyak sawit mencapai rekor tertinggi selama dua tahun terakhir, melayang di atas US$1.000 per ton karena kombinasi dari peningkatan permintaan dan gangguan pasokan di beberapa negara produsen. Harga minyak goreng juga meroket karena perusahaan kelapa sawit lebih memilih mengekspor produknya.Â
Pemerintah mencoba mensubsidi harga eceran minyak goreng dengan dana dari Badan Dana Penunjang Kelapa Sawit (BPDPKS), yang sejak 2015 memungut rejeki nomplok atas ekspor minyak sawit. Sayangnya, harga masih jauh di atas batas harga Rp 14.000 (97 sen AS) per liter, tampaknya karena sikap produsen dan pedagang grosir yang tidak kooperatif.Â
Ada kecurigaan dari organisasi konsumen bahwa produsen telah terlibat dalam harga seperti kartel di pasar minyak goreng. Jadi, kita memahami mengapa pemerintah, yang prihatin dengan inflasi, memutuskan untuk mengenakan kewajiban pasar domestik (DMO) 20 persen dari ekspor minyak goreng, sementara menetapkan harga minyak sawit mentah (CPO) di Rp 9.300 per kilogram dan olein di Rp 9.300 per kilogram. 10.300 per kg di bawah program DMO.Â
Dikutip dari Kompas.id, berdasarkan pantauan tim gabungan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Lampung bersama Satgas Pangan Polda Lampung, Senin (31/1/2022), sejumlah pedagang di Pasar Kangkung, Bandar Lampung, belum menjual minyak goreng dengan harga Rp 14.000 per liter.
Sejumlah pedagang mengaku masih menjual minyak dengan harga Rp 18.000-Rp 20.000 per liter mengikuti harga pembelian dari distributor yang masih tinggi.
"Hari ini kami cek ternyata di Pasar Kangkung baru ada satu toko yang menerima minyak goreng dengan harga baru. Kami langsung menghubungi produsen dan distributor minyak goreng agar segera melakukan percepatan," kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Lampung Elvira Umihani saat melakukan peninjauan penerapan kebijakan minyak goreng satu harga di Bandar Lampung, Senin.
Tidak ada alasan kuat mengapa harga minyak goreng dalam negeri harus mengikuti kenaikan tajam harga minyak sawit internasional mengingat Indonesia sudah menjadi produsen minyak sawit nomor satu di dunia sejak 2006, menyalip posisi yang selama bertahun-tahun sudah ditempati Malaysia. Produksi sawit Indonesia mencapai 43,5 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 3,61 persen per tahun.Â
Hal ini membuat CPO jadi penyumbang devisa ekspor terbesar bagi Indonesia. Beberapa orang terkaya di Indonesia juga berasal dari pengusaha kelapa sawit. Selain pengusaha domestik, kepemilikan perkebunan kelapa sawit besar di Indonesia didominasi oleh investor asal Singapura dan Malaysia.
Produsen minyak goreng yang semuanya perusahaan besar seharusnya bekerja sama penuh dan mendukung upaya pemerintah dalam beberapa pekan terakhir untuk menstabilkan harga minyak goreng di level Rp 14.000 per liter. Mereka hanya perlu membagi sebagian kecil dari keuntungan rejeki nomplok yang telah mereka peroleh selama dua tahun terakhir.Â
Masalah mendesak bagi pemerintah sekarang adalah bagaimana mengelola DMO yang diberlakukan dengan tergesa-gesa dan mendapatkan data yang akurat tentang produksi dan ekspor aktual semua produsen minyak goreng.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H