Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Rawannya Kemelut Pandemi adalah Krisis Korupsi

26 Januari 2022   08:43 Diperbarui: 26 Januari 2022   15:46 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanyakan kepada orang Indonesia tentang masalah negara mereka yang paling mendesak dan kemungkinan besar jawaban yang akan Anda dapatkan adalah "ekonomi" dan "korupsi".

Ada pepatah ''Jika tetangga Anda mengambil kambing Anda, apa pun yang Anda lakukan jangan bawa dia ke pengadilan, karena pada saat Anda selesai membayar polisi dan hakim Anda akan berakhir kehilangan sapi Anda juga.''

Indonesia begitu bertekad untuk menghapus warisan ternoda Suharto, orang kuat yang dipaksa mengundurkan diri pada tahun 1998, sehingga Indonesia mendirikan salah satu badan antikorupsi yang paling efektif di dunia. Kini masa depan lembaga itu, ada di tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Selama bertahun-tahun, komisi tersebut, dengan tim penyelidik dan jaksa yang profesional, memiliki catatan yang mengesankan dalam memerangi korupsi. Sejak tahun 2003, ratusan pejabat pemerintah, politisi dan pengusaha telah dimasukkan ke dalam penjara.

Tidak mengherankan, komisi tersebut telah membuat banyak musuh dan sering kali harus menahan upaya oleh kepentingan-kepentingan yang berurat berakar untuk melemahkan atau membongkarnya. Tidak ada negara demokrasi tanpa kepastian hukum, dan penegakan hukum -- terutama dalam masalah antikorupsi -- adalah bagian dari kepastian hukum. Korupsi adalah "salah satu musuh terbesar dalam masyarakat demokratis."

Mengubah budaya adalah tugas yang monumental, tetapi akan menjadi lebih sulit jika penerima manfaat korupsi berhasil menyabotase reputasi KPK, mengikat para pemimpinnya dalam kasus-kasus hukum palsu, memotong pembiayaannya atau membuat undang-undang dari keberadaannya.

Indonesia berada di peringkat 102 dari 179 pada Indeks Persepsi Korupsi 2020 menurut Transparency International, turun selama empat tahun dari peringkat sebelumnya ke 90. Menggarisbawahi masalah korupsi yang meluas, penyimpangan di kalangan hakim , jaksa dan perwira polisi senior telah merusak hak atas perlindungan yang sama di bawah hukum. Maraknya suap dalam proses perizinan usaha untuk industri pertambangan dan perkebunan telah memungkinkan perampasan tanah dari masyarakat adat, sekaligus mengancam tindakan terhadap perubahan iklim. Penggelapan dana pemerintah yang dialokasikan untuk akses ke layanan publik , termasuk jaring pengaman sosial selama pandemi, merugikan warga berpenghasilan rendah dan terpinggirkan.

Saat rapat kerja bersama Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Kepala LKPP Abdullah Azwar Anas serta kepala daerah dan ketua DPRD Kabupaten/Kota se-Indonesia, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri membeberkan titik-titik rawan korupsi, Selasa 25 Januari 2022.

  1. Wilayah reformasi birokrasi, rekrutmen dan promosi jabatan.
  2. Wilayah pengadaan barang dan jasa.
  3. Wilayah filantropi atau sumbangan pihak ketiga.
  4. Wilayah recofusing dan realokasi anggaran Covid-19 untuk APBN dan APBD.
  5. Wilayah penyelenggaraan jaring pengaman sosial atau social safety net untuk pemerintah pusat dan daerah.
  6. Wilayah pemulihan ekonomi nasional, pemberian liquiditas bantuan tidak tepat sasaran.
  7. Wilayah pengesahan RAPBD dan laporan pertanggungjawaban keuangan kepala daerah (LPJKD).

Presiden Joko Widodo berkampanye tentang anti-korupsi selama pencalonan presiden pertamanya pada tahun 2014. Namun begitu menjabat, Jokowi, sebagai presiden yang dikenal luas, lebih fokus pada pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daripada pada KPK dan pekerjaannya. Tetapi beberapa elit politik, di mana KPK sangat tidak populer karena catatan penyelidikannya, telah berusaha untuk melemahkan komisi tersebut. 

Semua ini bertepatan dengan upaya terus-menerus untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dianggap baik di Indonesia, yang telah mengungkap banyak kasus korupsi tingkat tinggi sejak didirikan pada tahun 2003. KPK secara konsisten menempati peringkat di antara lembaga negara paling tepercaya dan populer di Indonesia. 

Pada tahun 2019, DPR berhasil meloloskan revisi kontroversial terhadap anggaran dasar KPK -- sebuah langkah yang pertama kali diperkenalkan oleh badan legislatif pada tahun 2010 tetapi berulang kali gagal karena reaksi publik. Undang-undang baru disahkan dalam proses yang tidak seperti biasanya yang berlangsung kurang dari dua minggu, melewati standar prosedur legislatif seperti memasukkan RUU itu ke dalam daftar prioritas legislasi (Prolegnas). Banyak pembahasan RUU itu tidak terbuka untuk umum.

Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2005, yang menjamin hak rakyat "untuk mengambil bagian dalam pelaksanaan urusan publik, secara langsung atau melalui perwakilan yang dipilih secara bebas".

Salah satu pasal UU baru yang paling banyak dikritik adalah Pasal 1, yang kini mewajibkan seluruh pegawai KPK menjadi pegawai negeri sipil, yang sebelumnya adalah pekerja independen. Para ahli dan aktivis memperingatkan  bahwa persyaratan seperti itu berpotensi mengganggu independensi KPK, sehingga kurang efektif dalam menyelidiki pejabat pemerintah dan politisi lainnya. Namun, hanya sedikit yang dapat memperkirakan bagaimana artikel tersebut telah mengakibatkan pelemahan serius terhadap perjuangan melawan korupsi.

Pada Maret 2021 , Pasal 1 dijadikan dasar untuk mengamanatkan agar pegawai KPK mengikuti tes "kewarganegaraan" sebagai bagian dari perubahan status menjadi pegawai negeri. Namun, tes tersebut ternyata tidak ada hubungannya dengan kewarganegaraan, apalagi dengan kompetensi pegawai sebagai pejabat antikorupsi. Beberapa karyawan mengatakan bahwa ujian tertulis dan wawancara lisan yang merupakan bagian dari proses pengujian mencakup pertanyaan tentang pribadi,  politik ("Haruskah demokrasi dan agama dipisahkan?") dan keyakinan agama ("Apakah Anda bersedia melepas jilbab Anda?" ?"), serta pilihan gaya hidup mereka ("Apa yang kamu lakukan saat berkencan dengan pacarmu?").

Pada 25 Mei 2021, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengumumkan bahwa 24 dari 75 pegawai yang tidak lulus tes kewarganegaraan akan diberikan pelatihan lebih lanjut sebelum diangkat sebagai pegawai negeri. 51 sisanya akan dipecat, dengan Alexander mengklaim bahwa mereka telah melakukan tes dengan sangat buruk sehingga mereka tidak dapat dilatih kembali.

Pegawai-pegawai yang dianggap tidak bermoral ini termasuk beberapa personel KPK yang paling terkenal dan terhormat. Karyawan yang diberhentikan sejak itu melaporkan proses pengujian dan pemecatan yang dihasilkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dengan alasan proses tersebut melanggar hak mereka atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama di bawah hukum Indonesia serta standar hak asasi manusia internasional.

Di luar dampak terhadap orang-orang ini -- yang mungkin mendapat stigma karena dipecat -- konsekuensi yang lebih luas dari pelemahan KPK akan dirasakan oleh 270 juta orang Indonesia yang hidup di bawah sistem yang terperosok dalam korupsi.

Skandal korupsi e-KTP yang terkenal , misalnya, menunjukkan betapa beraninya para legislator top negara itu menggelapkan dana dari sebuah program yang implementasinya ceroboh mengakibatkan penantian berbulan-bulan bagi banyak pemohon e-KTP -- yang jauh dari ketidaknyamanan, menghalangi akses ke pelayanan publik yang esensial untuk memperoleh jaminan sosial dan perawatan kesehatan publik, serta hak-hak sipil lainnya termasuk partisipasi dalam pemilihan umum .

Klaim korupsi bantuan Covid-19, yang mengakibatkan penangkapan Menteri Sosial Juliari Batubara pada bulan Desember, memberikan contoh bagaimana dugaan korupsi di Indonesia dapat menyebabkan pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial, dan peran penting KPK berperan dalam menyikapi kekhawatiran tersebut. Juliari diduga menerima suap hingga Rp 32 miliar (A$3 juta) dari sejumlah perusahaan pemasok komponen paket bantuan sosial -- yang meliputi makanan, sabun, dan kebutuhan pokok rumah tangga lainnya -- yang disalurkan pada tahun 2020 selama gelombang pertama pandemi.

Menurut lembaga swadaya masyarakat Indonesia Corruption Watch, kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 56,7 triliun pada tahun 2020, empat kali lipat dari jumlah kerugian negara pada tahun 2019. Itu lebih banyak dari anggaran masing-masing untuk program jaminan kesehatan negara (Rp 48,8). triliun), cek stimulus Covid-19 bulanan untuk pekerja berpenghasilan rendah (Rp 37,9 triliun), dan bantuan pangan pemerintah (Rp 47,2 triliun).

Tak kalah pentingnya, pengelolaan dana desa rawan berpotensi menjadi tindak pidana korupsi. Sejak 2015, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan ada 14 potensi persoalan dalam pengelolaan dana desa. Meliputi empat aspek, yaitu regulasi dan kelembagaan, tatalaksana, pengawasan, dan sumber daya manusia. 

Aspek regulasi dan kelembagaan, KPK mempersoalkan belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan yang diperlukan dalam pengelolaan keuangan desa. Kerap terjadi potensi tumpang-tindih kewenangan antara Kementerian Desa dan Ditjen Bina Pemerintahan Desa pada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Aspek tatalaksana, ada lima persoalan diantaranya yakni siklus pengelolaan anggaran desa sulit dipatuhi desa, satuan harga baku barang dan jasa yang dijadikan acuan bagi desa dalam menyusun anggaran pendapatan belanja desa (APBDesa) belum tersedia. 

Lalu transparansi rencana penggunaan dan pertanggungjawaban anggaran belanja desa masih rendah, laporan pertanggungjawaban yang dibuat desa belum mengikuti standar dan rawan manipulasi, serta APBDesa yang disusun tidak sepenuhnya menggambarkan kebutuhan yang diperlukan desa.

Dengan berlarutnya pandemi dan meluasnya program bantuan sosial yang ditujukan untuk memenuhi hak masyarakat Indonesia atas standar hidup yang layak, potensi penggelapan dan penyelewengan dana pemerintah juga meningkat. Tanpa KPK yang kuat dan independen, yang dikelola oleh orang-orang terbaiknya, risikonya semakin besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun