Dari pemeriksaan, KPK menetapkan enam tersangka. Lima tersangka sebagai penerima suap ialah Abdul Gafur Mas'ud, Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara Mulyadi, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Kabupaten Penajam Paser Utara Edi Hasmoro, Kepala Bidang Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Penajam Paser Utara Jusman, dan Nur Afifah Balqis. Sementara satu tersangka sebagai pemberi suap ialah Achmad Zuhdi alias Yudi.
Mereka ditetapkan tersangka dalam perkara dugaan korupsi atas pengadaan barang dan jasa serta perizinan di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur tahun 2021-2022. Pada 2021, Kabupaten Penajam Paser Utara merencanakan beberapa proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang dengan nilai kontrak tahun jamak Rp 112 miliar.
Cukup miris bukan.
Tahun politik 2022-224, bagaimanapun, tidak akan jauh berbeda dari masa lalu, meskipun Indonesia menikmati suasana politik yang relatif lebih demokratis setelah meninggalkan rezim Orde Baru Suharto. Janji reformasi ( reformasi ) yang dulu menjamin politik untuk semua, kini terbukti hanya ilusi. Kenyataannya, politik Indonesia masih eksklusif untuk elit negara.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia merupakan ajang perebutan kekuasaan politik yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil berdasarkan norma hukum, norma sosial, dan etika. Kegiatan politik ini seringkali diwarnai dengan pelanggaran dengan segala cara yang menimbulkan kerugian materiil, immateriil, dan menjadi beban politik yang harus dibayar mahal oleh calon Kepala Daerah terpilih.Â
Realitas ini menjadi perhatian publik dan mempertanyakan pelanggaran norma dan etika pemilihan kepala daerah terkait dengan perilaku hukum Kepala Daerah terpilih yang melakukan tindakan tidak etis dan melanggar hukum berupa korupsi.
Alasan monopoli elit di ranah politik Indonesia jelas: politik di Indonesia dalam praktiknya mirip dengan bisnis. Untuk memenangkan pemilu, seorang calon mau tidak mau harus menyiapkan modal besar. Untuk menjadi kepala desa biayanya 130-150 juta rupiah; menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ) biayanya 1,18 hingga 4,6 miliar rupiah, walikota 20-30 miliar rupiah, bupati 75 miliar rupiah, gubernur berkisar 100 hingga 400 miliar rupiah, dan presiden biaya hingga 7 triliun rupiah! Angka fantastis tersebut tentu jauh dari jangkauan sebagian besar masyarakat Indonesia yang rata-rata berpenghasilan hanya 47 juta rupiah per tahun.
Modal politik yang besar disiapkan untuk memuluskan apa yang disebut transaksi politik. Transaksi politik tidak pernah absen, terutama pada bulan-bulan menjelang pemilu. Dalam hal pemilihan calon anggota DPR atau kepala daerah misalnya, partai politik kerap memungut pungutan liar kepada siapa pun yang ingin mencalonkan diri.Â
Transaksi selanjutnya adalah transaksi antara bos besar atau pemodal politik (cukong) dan calon. Pemilu di Indonesia jelas bukan persaingan antar calon, tapi antar cukong, yang biasanya menggelontorkan banyak uang ke calon-calon yang menjanjikan. Keterlibatan cukong dalam Pilkada bukanlah dongeng, meski keberadaannya sulit dibuktikan. Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas mengakui para cukong tak segan-segan mentransfer sejumlah besar uang ke rekening calon kepala daerah dengan imbalan perlindungan bisnis, kebijakan bersahabat, atau tawaran proyek pemerintah seandainya calon itu terpilih.Â
Antara calon dan konstituen, transaksi juga terjadi. Kandidat yang baik di mata banyak konstituen adalah yang secara rutin memberikan "sumbangan" kepada masyarakat. Semakin banyak donasi yang diberikan, semakin baik kandidatnya. Fenomena " wani piro?" Â atau "berapa banyak yang akan Anda bayar?" dimanfaatkan secara efektif oleh kandidat.Â
Maka bukan hal yang aneh jika seorang calon legislatif atau kepala daerah tiba-tiba menjadi dermawan kepada masyarakat, memberikan berbagai donasi mulai dari uang untuk pemberdayaan pemuda hingga ambulans gratis yang akan berhenti beroperasi setelah pemilu dan renovasi tempat ibadah.Â