Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Operasi Tangkap Tangan KPK, Bukti Politik di Indonesia adalah Bisnis

14 Januari 2022   11:32 Diperbarui: 14 Januari 2022   11:44 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bupati Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Abdul Gafur Mas'ud ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (14/1/2022).(KOMPAS.com)

Dari pemeriksaan, KPK menetapkan enam tersangka. Lima tersangka sebagai penerima suap ialah Abdul Gafur Mas'ud, Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara Mulyadi, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Kabupaten Penajam Paser Utara Edi Hasmoro, Kepala Bidang Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Penajam Paser Utara Jusman, dan Nur Afifah Balqis. Sementara satu tersangka sebagai pemberi suap ialah Achmad Zuhdi alias Yudi.

Mereka ditetapkan tersangka dalam perkara dugaan korupsi atas pengadaan barang dan jasa serta perizinan di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur tahun 2021-2022. Pada 2021, Kabupaten Penajam Paser Utara merencanakan beberapa proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang dengan nilai kontrak tahun jamak Rp 112 miliar.

Cukup miris bukan.

Tahun politik 2022-224, bagaimanapun, tidak akan jauh berbeda dari masa lalu, meskipun Indonesia menikmati suasana politik yang relatif lebih demokratis setelah meninggalkan rezim Orde Baru Suharto. Janji reformasi ( reformasi ) yang dulu menjamin politik untuk semua, kini terbukti hanya ilusi. Kenyataannya, politik Indonesia masih eksklusif untuk elit negara.

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia merupakan ajang perebutan kekuasaan politik yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil berdasarkan norma hukum, norma sosial, dan etika. Kegiatan politik ini seringkali diwarnai dengan pelanggaran dengan segala cara yang menimbulkan kerugian materiil, immateriil, dan menjadi beban politik yang harus dibayar mahal oleh calon Kepala Daerah terpilih. 

Realitas ini menjadi perhatian publik dan mempertanyakan pelanggaran norma dan etika pemilihan kepala daerah terkait dengan perilaku hukum Kepala Daerah terpilih yang melakukan tindakan tidak etis dan melanggar hukum berupa korupsi.

Alasan monopoli elit di ranah politik Indonesia jelas: politik di Indonesia dalam praktiknya mirip dengan bisnis. Untuk memenangkan pemilu, seorang calon mau tidak mau harus menyiapkan modal besar. Untuk menjadi kepala desa biayanya 130-150 juta rupiah; menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ) biayanya 1,18 hingga 4,6 miliar rupiah, walikota 20-30 miliar rupiah, bupati 75 miliar rupiah, gubernur berkisar 100 hingga 400 miliar rupiah, dan presiden biaya hingga 7 triliun rupiah! Angka fantastis tersebut tentu jauh dari jangkauan sebagian besar masyarakat Indonesia yang rata-rata berpenghasilan hanya 47 juta rupiah per tahun.

Modal politik yang besar disiapkan untuk memuluskan apa yang disebut transaksi politik. Transaksi politik tidak pernah absen, terutama pada bulan-bulan menjelang pemilu. Dalam hal pemilihan calon anggota DPR atau kepala daerah misalnya, partai politik kerap memungut pungutan liar kepada siapa pun yang ingin mencalonkan diri. 

Transaksi selanjutnya adalah transaksi antara bos besar atau pemodal politik (cukong) dan calon. Pemilu di Indonesia jelas bukan persaingan antar calon, tapi antar cukong, yang biasanya menggelontorkan banyak uang ke calon-calon yang menjanjikan. Keterlibatan cukong dalam Pilkada bukanlah dongeng, meski keberadaannya sulit dibuktikan. Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas mengakui para cukong tak segan-segan mentransfer sejumlah besar uang ke rekening calon kepala daerah dengan imbalan perlindungan bisnis, kebijakan bersahabat, atau tawaran proyek pemerintah seandainya calon itu terpilih. 

Antara calon dan konstituen, transaksi juga terjadi. Kandidat yang baik di mata banyak konstituen adalah yang secara rutin memberikan "sumbangan" kepada masyarakat. Semakin banyak donasi yang diberikan, semakin baik kandidatnya. Fenomena " wani piro?"  atau "berapa banyak yang akan Anda bayar?" dimanfaatkan secara efektif oleh kandidat. 

Maka bukan hal yang aneh jika seorang calon legislatif atau kepala daerah tiba-tiba menjadi dermawan kepada masyarakat, memberikan berbagai donasi mulai dari uang untuk pemberdayaan pemuda hingga ambulans gratis yang akan berhenti beroperasi setelah pemilu dan renovasi tempat ibadah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun