Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Dunia Menyaksikan Melodrama Pembunuhan Mirna

2 Januari 2022   23:35 Diperbarui: 3 Januari 2022   00:06 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang Indonesia memiliki pepatah yang berbunyi, "Ketika dua gajah berbenturan, kancil yang terjebak di antaranya akan binasa." Dalam kasus pembunuhan Salihin, bagaimanapun, dua gajah terkunci dalam pertarungan dan kancil kecil menjadi penonton. Bagi rata-rata orang Indonesia, ini adalah momen ironi yang manis.

Menyaksikan raksasa bergulat di tenggorokan satu sama lain tanpa diinjak-injak sendiri tidak banyak terjadi di negara di mana elit politik dan ekonomi memegang kendali, seringkali mengorbankan yang lain.

Pada akhirnya, tragedi seperti kematian Mirna diambil alih oleh orang Indonesia karena mereka mengekspos kerentanan kelas atas negara itu dan membawa harapan bahwa segala sesuatunya bisa serba salah, bahkan untuk para raksasa.

Sementara semakin banyak orang Indonesia bergabung dengan kelas menengah, masyarakat kelas atas tetap tertutup. Kelas atas Indonesia, hanya segelintir keluarga kaya, selalu menjauhkan orang dari peringkat mereka melalui kartel bisnis dan monopoli lainnya.

Orang Indonesia biasa yang duduk di kafe pinggir jalan mengatakan bahwa kasus ini telah berlangsung begitu lama hanya karena kubu yang berseberangan memiliki kekayaan dan pengaruh yang seimbang. Mereka berspekulasi berapa banyak uang yang telah dibuang sia-sia, sambil berpikir biaya hukum saja akan membuat bangkrut.

Sementara itu, polisi dan kejaksaan Indonesia senang mendapat sorotan pada Jessica dan keluarganya, bukan pada diri mereka sendiri, dan mendapatkan pujian dengan memerangi campur tangan asing. Para hakim, pada bagian mereka, resah karena mereka tidak memiliki juri untuk disalahkan, di bawah sistem hukum kontinental negara itu, jika putusan mereka dibatalkan di tingkat banding atau keinginan publik berubah. Semuanya membuat pengaturan yang sempurna untuk melodrama kehidupan nyata. Apa lagi yang bisa orang bertanya?

Baca: Hari Ini 6 Tahun Lalu, Jessica dan "Kopi Maut" Mirna di Kafe Olivier

Jessica Kumala Wongso usai menjalani sidang putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (27/10/2016). (KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG)
Jessica Kumala Wongso usai menjalani sidang putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (27/10/2016). (KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun