Natal 2021! Dan Anda benar, saya tidak merayakan Natal, sebagai Muslim, dan garis toleransi telah demikian jelas. Ia terangkum dalam firman Allah, "Lakum diinukum wa liya diin." (untukmu agamamu dan untukku agamaku). Firman ini saya maknai sebagai sikap mengakui dan menghargai eksistensi non-muslim dan agama yang dianutnya, memberi kebebasan kepada pemeluknya untuk menjalankan agamanya sesuai dengan keyakinannya, mendengarkan musik Natal di department store, dan memainkan musik Natal 'Jingle Bells' yang ditulis oleh James Lord Pierpont. 'Jingle Bells' identik dengan lagu Natal, yang selalu diputar pada perayaan Natal tanggal 25 Desember setiap tahunnya.
Lagu "Jingle Bells" diciptakan pada tahun 1857 dengan judul asli 'One Horse Open Sleigh', ditulis oleh James Lord Pierpont demikian juga dengan aransemen musiknya. Laman History melansir, meski "Jingle Bells" identik dengan Hari Raya Natal, beberapa catatan sejarah melaporkan bahwa lagu ini pertama kali dibawakan untuk kebaktian Thanksgiving di gereja ayah atau saudara laki-laki Pierpont. Selain lagu "Jingle Bells", perayaan Natal identik dengan pohon cemara, yang dihias sedemikian rupa dengan pernak-pernik tertentu. Terdapat sejarah panjang yang membuat kenapa pohon cemara lalu dijadikan simbol Natal.
Toleransi hendaknya dilandaskan pada pengakuan terhadap keberagaman (pluralitas). Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi keadilan. Keadilan bagi siapa saja, yaitu menempatkan sesuatu sesuai tempatnya dan memberikan hak sesuai dengan haknya. Ada jutaan umat Islam di Nusantara yang telah hidup damai berdampingan dengan pemeluk agama lain selama berabad-abad. Ada juga jutaan orang Kristen di pedesaan yang hidup toleran dengan Muslim. Dari waktu ke waktu, umat Kristiani telah berbagi suka dan duka dengan sesama umat Islam selama hari raya Idul Fitri, dan sebaliknya umat Islam telah berbagi kebahagiaan dengan umat Kristiani selama Natal.
Di Maluku, misalnya, ada tradisi lokal dan pranata sosial yang damai disebut 'pela-gandong', di mana umat Kristen dan Muslim terikat dalam semangat persaudaraan (basudara). Itu didirikan jauh sebelum penjajah Eropa datang ke Kepulauan Rempah-rempah ini pada abad keenam belas dan berlanjut hingga hari ini.
Idul Fitri dan Natal telah menjadi 'budaya bersama' dan simbol kebersamaan dan toleransi. Maka tidak heran jika kedua kelompok agama tersebut menunjukkan rasa hormat dan rasa syukur. Tradisi antarumat beragama yang damai dan toleran seperti itu berakar kuat pada kearifan lokal kuno bhinneka tunggal ika ("kesatuan di tengah keragaman"), yang telah berabad-abad berfungsi untuk mendamaikan dan menyatukan --- secara bahasa, budaya, dan agama --- populasi yang beragam. Dasar filosofi seperti itu, kemudian menjadi semboyan resmi Indonesia, yang memengaruhi banyak leluhur besar, Walisongo, pengkhotbah awal Islam di Jawa, yang mengajarkan penghormatan kepada orang Jawa Hindu dan Budha.
Dalam semangat toleransi dan perdamaian yang diajarkan oleh Islam, Al-Qur'an, Nabi Muhammad, dan leluhur kita bersama di Indonesia, saya mengucapkan silakan rayakan Natal kepada seluruh umat Kristiani di mana pun Anda tinggal di planet ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H