Dalam tulisan Kompasiana, 19 November 2016 yang bertajuk Skenario Pertemuan SBY dan Jokowi, "Lebih mengkhawatirkan apa yang digunakan oleh petualang-petualang politik untuk melicinkan dan memanfaatkan situasi dan keadaan pada umumnya sarat dengan desepsi atau pengelabuan dari tujuan sebenarnya, atau dengan kata-kata magis aresto momentum.
Sesungguhnya petualang-petualang politik juga sedang mengintai untuk menjatuhkan kredibilitas pemerintah dengan isu-isu politis." Masih dalam artikel yang sama, saya menuliskan, "Bahwa menjadi catatan penting adanya skenario pertemuan Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono adalah bahwa peristiwa itu semua keniscayaan dunia politik demokrasi, peranan media dan propaganda sangat penting. Artinya, pertemuan Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, saya pribadi yakin dalam waktu dekat ini, akan terjadi. Hanya satu hal yang perlu diingat dan dicatat, bahwa sistem politik akan sangat baik sebagai checks and balances karena baik Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono akan sangat berhati-hati dalam soal sikap laku politik."
Dan, nubuat tulisan tersebut, lalu digenapi, berdasarkan kalkulasi Luhut, pertemuan Jokowi-SBY tidak digelar pada waktu dekat. Pertemuan keduanya akan dirasa lebih pas jika digelar setelah pelaksanaan Pilkada serentak, pertengahan Februari 2017. Adapun Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai, keinginan SBY bertemu Jokowi adalah hal yang wajar. Namun, Wapres menyarankan, pertemuan itu digelar setelah Pilkada serentak. “Saya kira Pak Jokowi pasti menerimanya. Ya setidak-tidaknya setelah tanggal 15 (Februari)-lah supaya tidak menjadi isu politik,” kata Kalla di Kantor Wapres, Jumat (3/2).
Dan, cukup menarik disimak, apa yang terungkap dalam diskusi bertajuk "Bila SBY Minta Bertemu Jokowi: Nunggu Lebaran, Kali!" di Jakarta, Senin (6/2/). Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia, Arif Susanto, menilai, antara Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo sudah lima kali keduanya saling bersinggungan:
- Tour de Java SBY vs Tour de Hambalang Jokowi. Saat berkeliling Pulau Jawa pada Maret 2016, SBY melontarkan kritik pada pemerintah karena dianggap menghambur-hamburkan anggaran untuk infrastruktur. Jokowi tidak memberikan komentar terkait kritik tersebut. Namun, Jokowi dianggap “membalas” kritik tersebut dengan cara mengunjungi Kompleks Hambalang yang mangkrak di era kepresidenan SBY dan hingga saat ini kasusnya masih diusut KPK.
- Dokumen TPF Kasus Munir. Kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir turut memperuncing hubungan Jokowi-SBY. Hal ini bermula saat Komisi Informasi Publik (KIP) meminta agar dokumen tim pencari fakta (TPF) kasus pembunuhan Munir dibuka. Jawaban Jokowi yang menyatakan tidak memiliki dokumen tesebut segera “dibalas” SBY dengan mengirimkan salinan dokumen TPF. Namun, hingga saat ini Jokowi belum juga membuka kasus tersebut.
- Aktor Politik Aksi 4/11. Tidak berselang lama setelah demo 4 November 2016 yang berakhir rusuh, Presiden Jokowi menyatakan ada aktor politik yang menggerakan demonstrasi tersebut. Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa salah satu aktor politik yang dimaksud adalah SBY. SBY memang tidak memberikan keterangan apa pun mengenai komentar Jokowi. Namun, sang istri justru memberi komentar “pedas” melalui akun Instagramnya: "10 tahun Pak SBY memimpin negara tidak ada DNA keluarga kami berbuat yang tidak-tidak."
- Isu Hoax. Banyak beredarnya berita hoax di masa kampanye ini, menurut Arif, turut memanaskan hubungan Jokowi-SBY. “…isu hoax terutama dipicu oleh cuitannya (tweet atau kicauan) SBY waktu itu, yang sebut seolah ada perkubuan antara istana dan rakyat dan mereka yang lemah pada sisi lain," kata Arif.
- Penyadapan. Terakhir, terkait isu dugaan penyadapan yang dilontarkan SBY dalam pernyataan kepada awak media, pekan lalu. Pernyataan itu disampaikan menanggapi pernyataan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama dan kuasa hukumnya pada sidang kasus dugaan penodaan agama. Saat itu, tim kuasa hukum Ahok menanyakan soal percakapan Ketua MUI Ma'ruf Amin sebagai saksi dengan SBY. Pernyataan kuasa hukum Ahok yang menyebut soal isi percakapan dan jam pembicaraan menyebabkan kecurigaan adanya penyadapan.
Lima point diatas, menjadi semakin renyah ketika melalui akun Twitter resminya @SBYudhoyono menyebut rumahnya di Kuningan, Jakarta Selatan, sore ini 'digeruduk' ratusan orang. Massa berteriak-teriak. "Saudara-saudaraku yg mencintai hukum & keadilan, saat ini rumah saya di Kuningan "digrudug" ratusan orang. Mereka berteriak-teriak. *SBY*."
Terkait dinamika politik diatas, sejauh amatan pribadi, sebelum pertemuan SBY dan Jokowi tersebut wujud, meski perlu pembuktian secara terang benderang ada tidaknya perang intelijen Pilkada DKI 2017. Siapa saja yang melakukan operasi intelijen? Apakah Intelijen Negara juga melakukan operasi intelijen? Sekuat tim operasi intelijen politik tersebut? serta seakurat apa informasi yang dimainkan oleh para operator intelijen politik tersebut? Tentu, pertanyaan-pertanyaan ini sangat menggoda untuk mencari jawabannya.
Oleh karenanya, bagi pribadi, berangkat dari pola pikir yang perlu dikuasai adalah membiasakan berpikir bertingkat-tingkat bagaikan labyrinth, dimana suatu kisah terdapat kisah lain dan diatasnya terdapat kisah yang lain lagi. Atas dasar pola pikir tersebut, bukan untuk mengungkap kebenaran maupun untuk memperkeruh keadaan atau membela siapapun. Melainkan sebagai sebuah bagian dari berbagi pola berpikir agar publik lebih hati-hati dan waspada dengan permainan politik tingkat tinggi yang membentuk opini dan sikap masyarakat terhadap suatu fenomena atau terhadap seorang figur.
Semoga niat baik Pilkada DKI 2017 diterjemahkan sebagai hal yang positif dan dapat ikut menjaga jalannya pesta demokrasi di Jakarta dari gangguan dan potensi konflik yang lebih besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H