Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Serangan Molotov Samarinda Pasca Sarlito Wirawan Tutup Usia

16 November 2016   00:02 Diperbarui: 18 November 2016   21:35 1100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Informasi dari kedua narasumber tersebut, merupakan tantangan dan pekerjaan rumah yang belum selesai pasca Profesor Sarlito Wirawan Sarwono tutup usia.

Bahwa menjadi pesan dan perimeter yang berfungsi sebagai deteksi dini dalam upaya program deradikalisasi buku setebal 168 halaman itu, setidaknya memberikan acuan dan jawaban atas dinamika terorisme di Indonesia.

Buku yang bejudulTerorisme di Indonesia dalam Tinjauan Psikologi  karya Profesor Sarlito Wirawan Sarwonini, dalam halaman 8-43. "Untuk merekrut anggota baru, kelompok teroris menggunakan pendekatan yang berbeda. Intinya adalah menyasar pada krisis identitas. Melalui kerabat, teman ataupun guru, organisasi ini menawarkan informasi religius yang dibutuhkan oleh calon anggotanya, atau komitmen untuk terlibat langsung dalam upaya membela agama dan kesempatan membalas dendam atas kekejaman orang kafir. Empat profil pelaku Bom Bali I; Imam Samudra, Ali Ghufron, Amrozi, dan Ali Imron, yang dideskripsikan pada bab 2, semuanya memiliki rasa dan perasaan yang sama tentang ketidakadilan yang sedang terjadi menimpa umat Islam saat ini serta ketidakberdayaan untuk melawan, sehingga teror menjadi pilihan. Hanya Ali Imron yang kemudian merasa bahwa apa yang telah dilakukannya adalah salah, dan menyesal." 

Kemudian, dalam halaman 54, "Beberapa di antara mereka mempercayai bahwa dengan memperbaiki masyarakat melalui jihad, akan meningkatkan taraf hidup mereka sendiri yang artinya mendapat keuntungan lebih besar di masa depan. Bagi para pelaku, Islam bukanlah semata-mata sebagai agama, namun juga ideologi. Terlepas dari adanya agama lain di Indonesia, negara ini harus diatur secara syariah. Menariknya, di balik motif yang jelas dan terungkap secara verbal tersebut terdapat pula beberapa motif implisit, seperti kebutuhan atas identitas diri, kebutuhan untuk diakui, dan kebutuhan atas harga diri. Hal ini tidaklah mengherankan, mengingat pelaku teror mayoritas berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah tanpa pekerjaan permanen."

Seperti tulisan saya terdahulu, bom Samarinda merupakan peringatan serius pemerintah Indonesia. Filosof George Santayana mengungkapkan "Those who cannot remember the past are condemned to repeat it".

Sumber foto: akun facebook Sarlito Wirawan Sarwono

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun