[caption caption="Presiden Joko Widodo (kiri) menyambut tamunya Presiden Sudan Omar al-Bashir"][/caption]Amerika Serikat prihatin atas kunjungan Presiden Sudan Omar al-Bashir ke Indonesia menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Organisasi Islam (KTT OKI). Demikian keprihatinan Pemerintah Amerika Serikat terkait kehadiran Omar al-Bashir di Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa (KTT LB) Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) 2016 di Jakarta Convention Center (JCC). Dalam keterangan persnya (7/3), Kedutaan Besar Amerika di Jakarta mengatakan bahwa Presiden Bashir dituntut oleh Mahkamah Pidana Internasional atau ICC atas kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida, dan surat perintah penangkapannya masih belum tuntas.
Masih dalam rilis tersebut, bahwa meskipun Amerika Serikat bukan salah satu anggota Statuta Roma, yang merupakan perjanjian untuk membentuk ICC, kami sangat mendukung upaya ICC untuk menuntut pihak-pihak yang bertanggung jawab atas genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, serta kejahatan perang di Darfur.
"The same human rights groups now question the morality of this summit - discussing peace and human rights in Palestine - as the topic is being discussed with someone who has been accused of violating the same rights of his own people," tulis laman Al Jazeera pada Senin malam, 7 Maret.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Armanatha Nasir mengatakan Pemerintah Indonesia tidak bisa menolak kehadiran Presiden Sudan Omar Hassan al-Bashir dalam rangka Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa Kelima Organisasi Kerja Sama Islam di Jakarta. Status Sudan yang anggota OKI membuatnya harus diundang dalam KTT OKI. “Terkait Sudan, ini adalah pertemuan OKI, jadi semua anggota diundang,” kata Armanatha. Sebagai anggota, Sudan menerima dua undangan, pertama dari Sekretaris Jenderal OKI Iyad Ameen Madani dan undangan dari Presiden Joko Widodo kepada tiap kepala negara anggota.
Terkait, beberapa pemberitaan dan keprihatinan dari negara sahabat, salah satunya Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS), yang menyesalkan kehadiran Presiden Bashir dalam Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa (KTT LB) OKI tentang Palestina dan Al Quds Al Sharif (Kota Kudus Yerusalem) di Jakarta, Senin (7/3). Timbul pertanyaan publik, pertama, bukankah hubungan Amerika Serikat dan Indonesia selama ini, merupakan kemitraan yang secara strategis vital antara negara demokrasi terbesar pertama dan kedua tersebut, adalah momentum berkelanjutan dalam menjaga kemitraan ? Sebagaimana telah disepakati bersama, antara Presiden Barack Obama dan Presiden Joko Widodo saat pertemuan di Gedung Putih pada 26 Oktober 2015. Kedua Presiden menyepakati bahwa hubungan antara AS dan Indonesia jauh lebih kuat, lebih dinamis, dan secara tegas didasari oleh prinsip-prinsip yang dimiliki bersama dalam demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang kuat, penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta mendorong perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran ekonomi. Kemitraan Komprehensif tersebut telah memperlihatkan kepada dunia, peluang besar untuk menjalin kerja sama ekonomi dan pembangunan, dan menunjukkan pentingnya meningkatkan pertukaran dan rasa saling mengerti antara dua negara yang paling beragam di dunia ini. Kedua, bukankah Indonesia mengundang Omar Hassan Al Bashir, sebagai Presiden Sudan, dan anggota sah Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)? "Permasalahan yang dihadapi Sudan dan ICC merupakan masalah yang dihadapi Omar Hassan Al Bashir dengan ICC. "Indonesia bukanlah pihak dari ICC," ujar Arrmanatha Nasir di Balai Sidang Jakarta (Jakarta Convention Center/JCC).
Bisa jadi, KTT ini disebut luar biasa selain tidak dijadwalkan dalam rangkaian pertemuan tahunan OKI. Presiden Sudan Omar Hassan Al Bashir, dalam status buron Pengadilan Pidana Internasional (ICC) atas tuduhan melakukan genosida, hadir dalam KTT Luar Biasa itu, dan Omar Hassan Al Bashir memiliki perintah penangkapan oleh Mahkamah Pidana Internasional yang dikeluarkan pada Maret 2009. Menurut dugaan aktivis HAM, KontraS, Haris Azhar, Omar Hassan Al Bashir memanfaatkan perannya sebagai anggota sah Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dalam Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa Kelima atas permintaan Presiden Palestina Mahmoud Abbas untuk mendiskusikan situasi di Yerusalem.
Terlepas dari pro kontra, persoalan hadirnya Presiden Sudan Omar Hassan Al Bashir dalam KTT Luar Biasa tersebut, agenda penyelesaian masalah Palestina menjadi momentum kepemimpinan Joko Widodo, sebab Indonesia telah terpilih kembali menjadi Dewan HAM PBB. Apalagi, Indonesia mengundang empat negara peninjau (hadir dua negara Rusia dan Republik Afrika Tengah), negara anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Rusia, AS, Tiongkok, Prancis, Inggris), dan Kuartet negosiasi Palestina-Israel (Rusia, AS, PBB, dan Uni Eropa).
Menjadi pertanyaan akhir, adalah sejauh mana strategi dan prioritas kebijakan luar negeri Amerika Serikat, khususnya kedaulatan dan perdamaian di Palestina yang masih belum memiliki perkembangan yang signifikan untuk membangun sebuah perdamaian di Palestina. Sekadar mengingat, apa yang diungkapkan dua ilmuwan politik internasional asal Amerika, John J. Mearsheimer dari Universitas Chicago dan Prof. Stephen M. Walt dari Universitas Harvard, selama ini, "... lebih sulit bagi orang Amerika untuk berbicara secara terbuka soal lobi Israel" (halaman 16, Dahsyatnya Lobi Israel, Penulis: John J. Mearsheimer dan Prof. Stephen M. Walt, Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, 752 halaman)
Artikel terkait Palestina Harus Merdeka, Jokowi Penuhi Janji Bung Karno