Mengapa?
Isu lesbi, gay, biseksual dan transgender (LGBT) sudah berkembang sejak lama pada akhir 1970-an. Saat komunitas homo seksual mengidentifikasi dirinya sebagai gay, khususnya media massa dalam negeri gencar memuat artikel tentang gerakan hak-hak gay di Barat. Kemudian, berkembang dengan berdirinya organisasi perjuangan hak-hak gay pertama, Lambda Indonesia, tahun 1982. Akhirnya, pidato Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Hilarry Clinton di hadapan Dewan HAM PBB di Jenewa, 2011 menjadi doktrin awal “gay rights are human rights and human rights are gay rights“. Pidato Hilarry Clinton menjadi sianida dalam pro kontra isu lesbi, gay, biseksual dan transgender (LGBT). Sebab, LGBT berubah menjadi wacana isu kesehatan dan hak asasi manusia.  Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2013 mengeluarkan laporan berjudul Improving the Health and Well- Being of Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender Persons menjadi pengakuan terbuka kelompok lesbi, gay, biseksual dan transgender (LGBT) secara global. Pergeseran ini merubah pergulatan geopolitik sejak perang dingin berakhir. Lihat saja, bagaimana Barat-Amerika Serikat dan Uni Eropa menyandingkan hak-hak kelompok lesbi, gay, biseksual dan transgender (LGBT) dengan hak asasi manusia.Â
Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Publik dapat melihat dan merasakan bagaimana rivalitas isu lesbi, gay, biseksual dan transgender (LGBT) dengan nilai tradisional dan keagamaan. Bagian ini yang perlu digarisbawahi dengan posisi sikap netral dan hati-hati oleh pemerintah dengan revolusi mentalnya. Jika tidak ingin menjadi spekulasi politik dengan ongkos sosial yang mahal. Doktrin awal “gay rights are human rights and human rights are gay rights“ jangan sampai membunuh nalar.Â
Â
    Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H