Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Saipul Jamil, Isu LGBT, Jangan Sampai Membunuh Nalar

20 Februari 2016   00:14 Diperbarui: 20 Februari 2016   00:26 1043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengapa?

Isu lesbi, gay, biseksual dan transgender (LGBT) sudah berkembang sejak lama pada akhir 1970-an. Saat komunitas homo seksual mengidentifikasi dirinya sebagai gay, khususnya media massa dalam negeri gencar memuat artikel tentang gerakan hak-hak gay di Barat. Kemudian, berkembang dengan berdirinya organisasi perjuangan hak-hak gay pertama, Lambda Indonesia, tahun 1982. Akhirnya, pidato Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Hilarry Clinton di hadapan Dewan HAM PBB di Jenewa, 2011 menjadi doktrin awal “gay rights are human rights and human rights are gay rights“. Pidato Hilarry Clinton menjadi sianida dalam pro kontra isu lesbi, gay, biseksual dan transgender (LGBT). Sebab, LGBT berubah menjadi wacana isu kesehatan dan hak asasi manusia.  Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2013 mengeluarkan laporan berjudul Improving the Health and Well- Being of Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender Persons menjadi pengakuan terbuka kelompok lesbi, gay, biseksual dan transgender (LGBT) secara global. Pergeseran ini merubah pergulatan geopolitik sejak perang dingin berakhir. Lihat saja, bagaimana Barat-Amerika Serikat dan Uni Eropa menyandingkan hak-hak kelompok lesbi, gay, biseksual dan transgender (LGBT) dengan hak asasi manusia. 

Lalu, bagaimana dengan Indonesia?

Publik dapat melihat dan merasakan bagaimana rivalitas isu lesbi, gay, biseksual dan transgender (LGBT) dengan nilai tradisional dan keagamaan. Bagian ini yang perlu digarisbawahi dengan posisi sikap netral dan hati-hati oleh pemerintah dengan revolusi mentalnya. Jika tidak ingin menjadi spekulasi politik dengan ongkos sosial yang mahal. Doktrin awal “gay rights are human rights and human rights are gay rights“ jangan sampai membunuh nalar. 

 

        

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun