Pada mulanya kebijakan yang diperbincangkan antara Menko Perekonomian, Darmin Nasution, dan Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan ini adalah Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Peraturan ditetapkan di Jakarta, tanggal 8 Januari 2016, Presiden Joko Widodo, dan diundangkan di Jakarta, tanggal 12 Januari 2016 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H. Laoly. Mengapa?
Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 ini menjadi payung hukum bagi 225 proyek strategis nasional. Jika dilihat, lampiran Peraturan Presiden No.3 Tahun 2016 adalah daftar proyek strategis nasional. Diantaranya, Proyek Pembangunan Infrastruktur Jalan Tol, Proyek Pembangunan Infrastruktur Jalan Nasional/Strategis Nasional Non-Tol, Proyek Pembangunan Infrastruktur Sarana dan Pra-Sarana Kereta Api Antar Kota, Proyek Pembangunan Infrastruktur Kereta Api Dalam Kota, Proyek Revitalisasi Bandar Udara, Proyek Pembangunan Bandar Udara Baru, Proyek Bandar Udara Strategis Lainnya, Proyek Pembangunan Pelabuhan Baru dan Pengembangan Kapasitas, Program Satu Juta Rumah, Proyek Pembangunan Kilang Minyak, Proyek Infrastruktur Energi Asal Sampah, Proyek Penyediaan Infrastruktur Air Minum, Proyek Penyediaan Infrastruktur Sistem Air Limbah Komunal, Proyek Pembangunan Tanggul Penahan Banjir, Proyek Pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) dan Sarana Penunjang, Proyek Bendungan, Program Peningkatan Jangkauan Broadband, Proyek Infrastruktur IPTEK Strategis Lainnya, Pembangunan Kawasan Industri Prioritas/Kawasan Ekonomi Khusus, Pariwisata, Proyek Pembangunan Smelter, Proyek Pertanian dan Kelautan, Program Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan.
Sementara itu, proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung ini, berada di urutan nomor 60. Konon kabarnya, Menko Perekonomian sekaligus Ketua Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), Darmin Nasution adalah penanggung jawab penyusun daftar proyek strategis nasional itu, justru baru mengetahui setelah isu perpres gaduh di media. Pertanyaan liar pun berkeliaran. Sebab, proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung ini, tidak pernah dijanjikan Jokowi selama musim kampanye pemilihan presiden ujug-ujug ditandatanganinya sebagai daftar proyek strategis nasional tahun 2016. Di sisi lain, dengan masuknya proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung ke dalam daftar proyek strategis nasional tahun 2016. Maka, proyek tersebut mendapatkan fasilitas berupa jaminan negara. Padahal, seperti dalam tulisan ini, Presiden Joko Widodo sejak awal bersikap ketika memastikan untuk tidak menggunakan anggaran belanja negara (APBN) dalam proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung ini. Kemudian, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno membentuk konsorsium BUMN untuk membangun sekaligus mencari dana investasi kerja sama dengan badan usaha pemberi pinjaman. Saat itu, bakal calon kuat dua negara, Cina atau Jepang. Akhirnya, dimenangkan Cina. Sebab, kontraktor Cina mengumbar janji bahwa proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung ini, tidak akan menggunakan Anggaran Penerimaan Negara dan Belanja Negara (APBN). Artinya, janji inilah yang kini menjadi titik pertanyaan liar tersebut.
Diketahui, seperti dilansir banyak media massa nasional, proyek kereta cepat dikerjakan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (PT. KCIC) dengan saham dimiliki PT Pilar Sinergi BUMN terdiri dari PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, PT Perkebunan Nusantara VIII (Persero), dan PT Kereta Api Indonesia (Persero). Komposisi saham dalam PT Pilar Sinergi BUMN adalah WIKA sebesar 38 persen atau senilai Rp 1,71 miliar, PTPN VIII sebesar 25 persen atau Rp 1,12 miliar, PT KAI sebesar 25 persen atau Rp 1,12 miliar, dan PT Jasa Marga sebesar 12 persen atau Rp 540 juta. Sementara komposisi saham kepemilikan operator kereta api cepat Jakarta-Bandung yaitu PT KCIC memiliki saham sebesar 60 persen dan China Railway International Group (CRIG) 40 persen.
Kini, setelah ditetapkan sebagai pemenang, sebagai kontraktor China Railway International Group (CRIG) proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung ini menuntut adanya jaminan, berupa kepastian politik. Jaminan politik harus dituangkan dalam perjanjian konsesi proyek agar bisa mengikat. Hanggoro Budi Wiryawan, Direktur Utama PT KCIC mengatakan, kontraktor ingin mendapatkan kepastian hukum dalam melaksanakan proyek tersebut. Sahala Lumban Gaol, Staf Ahli Menteri BUMN mengatakan, kepastian hukum tersebut salah satunya menyangkut perubahan aturan yang mungkin akan berdampak kepada konsesi proyek yang dimiliki kontraktor.
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sangat berhati-hati dalam menandatangani konsesi kereta cepat Jakarta-Bandung. Sebab, pemerintah tidak mau bertanggung jawab jika nantinya pihak dari kereta cepat itu bangkrut. "Karena ini menyangkut 50 tahun (ke depan) negara kita. Harus hati-hati. Harus ada statement, kalau fail atau gagal, bukan tanggung jawab negara," ujar Direktur Jenderal Perkeretaapian Hermanto Dwiatmoko di Kantor Kemenhub, Jakarta, Senin (25/1).
Semoga saja, mimpi kebanggaan Indonesia ke jalur cepat Jakarta-Bandung tidak meresahkan mimpi sebagian masyarakat yang dilintasi high speed train patungan ini.
sumber foto disini
artikel terkait: Huanying Kereta Cepat Jakarta–Bandung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H