Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menengok Toapekong di Pemukiman Tionghoa Kuno Jamblang

8 Februari 2016   21:50 Diperbarui: 8 Februari 2016   23:00 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Klenteng Jamblang, Desa Jamblang, Kecamatan Depok, Kabupaten Cirebon"][/caption] 

Masih dalam suasana perayaan Imlek 2567, seperti tulisan terdahulu, Sunan Gunung Jati telah menikahi seorang putri Tionghoa, Putri Ong Tien Nio. Saat ini, keduanya dimakamkan di Kompleks Pemakaman Sunan Gunung Jati dan dianggap keramat oleh masyarakat setempat. Banyak sekali peneliti-peneliti Barat menceritakan persoalan kebudayaan  etnis Tionghoa Indonesia, khususnya Tionghoa Cirebon. Sebut saja Hoadly, Douglass, Russel Jones, Franken and de Grijs, Lombard-Salman, HJ de Graaf dan Ezerman.

Hari ini, sekisar 10 kilometer dari pusat Cirebon Kota, tepatnya Jalan Raya Cirebon-Bandung, di tepian sungai Jamblang, mungkin orang yang melalui jalur itu tidak akan pernah menyangka, di masa kepemimpinan Sunan Gunung Jati, perekonomian Kesultanan Cirebon mengalami zaman keemasan. Khususnya, sektor perdagangan dan pertanian. Sekisar abad ke-14 hingga abad ke-18, jalur perekonomian melalui sungai sangatlah padat. Situasi perekonomian dan politik di masa itu, cukup kondusif dan berdampak positif bagi masyarakat Tionghoa untuk memasuki wilayah-wilayah baru di pedalaman Cirebon. Bukti yang cukup mewakili keberadaan pemukiman Tionghoa kuno adalah bangunan Klenteng Hok Tek Ceng Sin atau dikenal dengan sebutan Klenteng Jamblang atau Vihara Dharma Rakhita. Dalam perjalanannya, pemukiman Tionghoa ini berkembang pesat dengan aktivitas perdagangan di tepian sungai Jamblang. 

[caption caption="Klenteng Jamblang di tepi sungai Jamblang"]

[/caption]

Bersama Kwat Nio, yang mengabdi 39 tahun di Klenteng Jamblang, ia memberikan salinan copy hasil transliterasi ke dalam ejaan Soewandi yang dibuat tahun 1900, dan dikutip kembali oleh Siem Peng Wan. Berikut kutipan salinan copy dari Kwat Nio, "Membitjarakan tentang roemah Toapekong Djamblang, karena masa soedah sangat lanjoet dan siapa jang membangoen tidak ada tjatatan joega tiada soerangpoen jang dapat menerangkan sedjelas-djelasnja. Oleh karena itoe, hal terseboet dibiarkan berlaroet-laroet demikian roepa hingga masa ini. Hanja pada ketika roemah pemoedjaan itoe akan diperbaiki sedjak tahoen 1785 m s/d tahoen 1900 M ataoe (Kian Liong tahoen ke 50 ITBI-Shio Tjoa s/d Kongsie tahoen ke 26 Khe Tjoe Sio Tji) koerang lebih 115 tahoen lamanja teroes-meneroes telah dipoengoet oeroenan dari pendoedoek Djamblang dan sekitarnja, dapatlah dikoempoel sedjoemlah oeang oentoek biaja-biaja perbaharoean".

Dari pesan salinan copy tersebut, diungkapkan belum ada catatan resmi siapa yang mendirikan Klenteng Jamblang. Namun, masyarakat sekitar menganggap Klenteng Jamblang berusia ratusan tahun. Bisa jadi, anggapan ini benar. Seperti peribahasa yang tertulis dalam salinan copy yang berjudul Terdjemahan Babad Dari Tjatatan Hoeroef Tionghoa Jang Tertjantom Di Kedoea Dinding Klenteng Djamblang. "Peribahasa mengatakan: “Orang jang pandai membangoen lebih berharga kalaoe pandai joega melaksanakan, sedang orang jang pandai melaksanakan lebih berharga poela kalaoe pandai mempertahankan”. Kemungkinan, ungkapan ini berlaku jika dilihat dari bangunan Klenteng Jamblang adalah mengenai kayu utama pada atap Klenteng yang merupakan potongan dari kayu yang sama untuk mendirikan Masjid Agung Kasepuhan. Menurut cerita kearifan lokal atau tradisi yang berkembang di masyarakat Cirebon, Masjid Agung Kasepuhan didirikan tahun 1500 oleh para Wali. Jika cerita tradisi itu benar, maka bisa diduga bahwa Klenteng Hok Tek Ceng Sin atau dikenal dengan sebutan Klenteng Jamblang atau Vihara Dharma Rakhita berusia sangat tua.

Ada kisah menarik dibalik kayu utama pada atap Klenteng adalah asli. Hanya pondasi yang ditinggikan dan menebalkan dinding Klentengnya. Meski ada perbaikan dan perubahan Klenteng, kayu utama pada atap Klenteng tetap dipertahankan. Menurut cerita tradisi, atap Klenteng itu berasal dari sebuah pohon keramat yang tumbuh di daerah Jatiwangi yang tidak dapat ditumbangkan dengan perkakas apapun. Hanya seseorang bernama Njoo Kiet Tjit atau yang kemudian dikenal sebagai Ki Buyut Cigoler yang kemudian berhasil menumbangkan pohon tersebut. Ia mempersembahkan kayu pohon kepada Kesultanan Cirebon yang tengah membutuhkan kayu untuk pembangunan Masjid Agung. Ia juga memohon pada Sultan Cirebon untuk menyisakan sepotong kayu balok dari pohon itu untuk atap Klenteng Jamblang yang saat itu sedang dibangun. Hingga kini, atap Klenteng itu tak pernah rusak

Adapun prasasti yang menempel di dinding Klenteng Jamblang memuat informasi tentang pergolakan, bencana alam, wabah penyakit, dan pengangkatan kepala kampung atau wijkmeester serta sensus penduduk desa Jamblang di tahun 1806, sekisar beberapa ratus orang baik laki-laki maupun perempuan. "Pada tahoen 1806 M (Kehkeng tahoen ke 11 Pia-In Shio Hooew) di sekitar Djamblang timboellah pergolakan jang menjebabkan keriboetan. Pendoedoek Djamblang pada waktoe itoe hanja beberapa ratoes orang pria dan wanita, tetapi berkat persatoean jang koeat, dengan hanja dapat bantoean 2-3 orang pengoeasa telah dapat mengelakkan diri dari serangan-serangan peroesoeh. Hal ini dikatakan oleh orang jang pertjaja bahwa tentara malaikat membantoe melindoengi sehingga pendoedoek dapat keselamatan". 

Dalam catatan itu, Klenteng Jamblang disebut Toapekong. Jika diamati, pemukiman Tionghoa Jamblang di masa itu, mengikuti alur sungai Jamblang yang mengalir dari arah Selatan menuju Utara, dan jalur Jalan Raya Cirebon-Bandung yang dikenal dengan Jalan Raya Pos Daendels yang menghampar dari arah Barat menuju Timur. Masyarakat Tionghoa yang bermukim di sebelah Selatan, terletak Klenteng Hok Tek Ceng Sin atau dikenal dengan sebutan Klenteng Jamblang atau Vihara Dharma Rakhita, sungai Jamblang, dan Pasar. Sementara, masyarakat Tionghoa yang bermukim di sebelah Utara di pinggir Jalan Raya Cirebon-Bandung.

Jamblang adalah nama sebuah desa di Kecamatan Depok, Kabupaten Cirebon. Kejayaan di masa keemasan Kesultanan Cirebon, Sunan Gunung Jati, meninggalkan sederetan bangunan tua yang kusam, tak terurus, sepi, dan tidak berpenghuni. Krisis 1998, berdampak bagi masyarakat Tionghoa Jamblang di kawasan ini.  

[caption caption="Salah satu bangunan pemukiman Tionghoa kuno di Jamblang"]

[/caption]

[caption caption="Salah satu bagian bangunan pemukiman Tionghoa kuno di Jamblang"]

[/caption] 

Perayaan Imlek 2567 di pemukiman Tionghoa kuno ini, hanya berlangsung sederhana di Klenteng Hok Tek Ceng Sin atau dikenal dengan sebutan Klenteng Jamblang atau Vihara Dharma Rakhita. Hanya peziarah dan dapat dihitung dengan jari.

 

artikel terkait : Putri Ong Tien, Istri Sunan Gunung Jati dan Imlek

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun