Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Toa Lang, Misteri Naskah Residen Poortman dan Imlek

8 Februari 2016   10:25 Diperbarui: 8 Februari 2016   11:13 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Klenteng Talang"][/caption]

Munculnya, nama Residen Poortman dalam misteri di di Jalan Talang No. 2 Kampung Keprabon RT.03 RW. 02 Kelurahan Lemahwungkuk, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, semakin menguak rasa ingin tahu belum terungkapnya tabir papan tertulis garis keluarga Wali Songo yang masih memiliki darah Tionghoa. Di papan itu, Sunan Gunung Jati memiliki nama Tionghoa Toh A Bo, Sunan Kalijaga memiliki nama Tionghoa Gan Si Cang, Sunan Ampel memiliki nama Tionghoa Bong Swi Ho, Sunan Bonang memiliki nama Tionghoa Bong Ang, dan Raden Patah memiliki nama Tionghoa Jin Wen. Tentu tidak ada larangan untuk berpendapat bahwa garis keluarga Wali Songo yang masih memiliki darah Tionghoa. Papan itu, ada di Klenteng Talang sekarang.

Klenteng ini berada di sebelah utara berbatasan dengan rumah duka dan toko, sebelah timur di seberangnya berdiri kokoh bangunan Gedung BAT, salah satu benda cagar budaya (BCB) gedung eks pabrik rokok British American Tobacco (BAT), yang dibangun sekitar tahun 1917. Sebelah selatan berbatasan dengan Pabrik Bohlam PT NIRI dan Pabrik Karet, serta sebelah barat adalah pemukiman padat. 

Syahdan, Residen Poortman dengan bantuan polisi pernah menggeledah Klenteng Talang. Menurut Berita Tionghoa dari Klenteng Talang diperoleh hasil, bahwa tahun 1415, Laksamana Haji Kung Wu Ping, keturunan dari Khonghucu mendirikan menara mercu suar di atas gunung bukit gunung jati. Dekat disitu, dibentuk pula masyarakat Tionghoa Islam bermazhab Hanafi di Sembung, Sarindil, dan Talang. Tahun 1450, masyarakat Tionghoa Islam bermazhab Hanafi mengalami kemerosotan karena putus hubungan dengan tanah Tiongkok. Masjid di Sarindil sudah menjadi tempat pertapaan. Masjid di Talang sudah menjadi klenteng. Sebaliknya, masyarakat Tionghoa Islam bermazhab Hanafi di Sembung sangat berkembang baik dalam agama Islam. Kisah ini dapat dibaca secara utuh di buku Prof Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, yang terbit tahun 1968. Namun, buku ini dilarang oleh Kejaksaan Agung tahun 1971 karena mengungkapkan hal-hal yang kontroversial waktu itu yakni sebagian Wali Songo berasal dari Tionghoa.

Dalam suasana Imlek 2567, bersama Ciu Kong Giok, di Klenteng Talang, Cirebon Kota,  klenteng ini awalnya merupakan tempat persinggahan atau kantor perwakilan perdagangan Cina pada masa Cheng Ho. Tak sedikit orang menganggap, dulunya, Klenteng Talang ini bangunan masjid. Kelenteng ini satu-satunya yang berbeda dengan kelenteng lain di Cirebon. Tak ada ornamen naga di atas atap dan menghadap ke laut, tapi orang bisa melihat gong keemasan atau genta di ruang utama. ”Bukan masjid, tapi dulu anak buah Cheng Ho yang beragama Islam memang beribadah di sini,” ujar Ciu Kong Giok. 

Menurutnya, kata “Talang”, berasal dari bahasa Cina, kata Toa Lang berarti “orang besar” atau “tuan besar”. Istilah ini ditujukan kepada tiga orang laksamana besar utusan Kaisar Ming yang mendarat di Cirebon pada abad ke-14, yaitu Cheng Ho (Cheng He), Fa Wan (Fa Xien), dan Khung Wu Fung, yang semuanya beragama Islam. 

Lebih lanjut, kata Ciu Kong Giok, klenteng Talang merupakan satu-satunya bangunan yang ada kala itu. Kedekatan Konghucu dan Islam juga diperkuat oleh bendahara Keraton Cirebon saat itu, Tan Sam Tjai Kong, yang sering berdoa di tempat itu. Nama menteri keuangan itu pun masih tertera di sebuah altar di rumah ibadah itu. Di atas altar itu tertera tulisan “Mengurus Keuangan dengan Jujur”.

[caption caption="Makam Tan Sam Tjai Kong atau Tumenggung Aria Wiracula, belakang Pasar Pagi Kota Cirebon"]

[/caption]

Altar itu di sisi altar Nabi Konghucu (pendiri ajaran Konghucu) yang dilengkapi tulisan “Kebajikannya Manunggal dengan Langit dan Bumi”. Selain itu, pun ada  ikatan antara agama Konghucu dan Islam masih tetap hingga sekarang. Jika datang di siang hari, setidaknya pengunjung bisa menikmati lukisan indah pada pagar dinding di sisi kiri. Lukisan pertama bercerita tentang Nabi Konghucu yang sedang mengajar para pengikutnya. Lukisan kedua adalah cerita keperkasaan Jenderal Kwan Tee Kun yang patungnya juga ada di dalam Klenteng Talang.

Jika ditelisik, mengapa Residen Poortman melakukan penggeledahan? Oleh sebab, pada mulanya, tahun 1914-1918 Residen Poortman belajar bahasa Tionghoa, dan pada tahun 1928, ia ditugasi pemerintah kolonial, seperti dinyatakan sejarawan Asvi Warman Adam, dalam artikelnya bertajuk Babad Tionghoa Muslim. Residen Poortman menyelidiki apakah Raden Patah itu orang Tionghoa. Raden Patah bergelar Penembahan Jimbun dalam Serat Kanda dan Senapati Jimbun dalam Babad Tanah Jawi. Kata ''jin bun'' dalam salah satu dialek Cina berarti orang kuat. Ia berhasil mendapatkan akses ke dokumen-dokumen berbahasa Tionghoa. 

Catatan itu, sesungguhnya bermula dari hasil karya Mangaraja Onggang Parlindungan berjudul Tuanku Rao, yang diterbitkan oleh LKIS Yogyakarta. Menariknya, dokumen yang digunakan Mangaraja Onggang Parlindungan adalah warisan dari ayah kandungnya, Sutan Martua Raja Siregar, cucu Tuanku Ali Sakti dan Tuanku Lelo. Gaya tulisan story telling style yang sebenarnya ditujukan kepada anak-anaknya, kontroversial dan perdebatan masih menyertainya hingga kini. Buku yang diperkaya dengan 34 lampiran, salah satunya berisi dokumen Klenteng Sam Po Kong, Semarang, hasil penyelidikan Residen Poortman, prestasi kesejarahan yang telah dicapai Mangaraja Onggang Parlindungan lewat buku setebal 691 halaman ini sayang jika dilupakan.

Berikut kutipannya, "Residen Poortman selaku autodidactic Sinoolog mengerti, bahwa Djin Bun didalam Bahasa Tionghwa/Dialect Yunnan artinya "Orang Kuat." Resident Poortman the experienced Hystory Detective, jang sudah memetjahkan soal "Mythos Iskandar Zulkarnain Dynasty" mendjadi very clear Kesultanan Kuntu/ Kampar, terpaksa fikir2 panjang. Dia memeras otak, dimana mendapatkan sesuatu sumber perihal "Djin Bun The Strong man". Didalam annals Tiongkok/Ming Dynasty, nama Djin Bun sama sekali tidak disebutkan. Mana ja?? Eureka!! Resident Poortman pergi ke Semarang. Didalam suasana Pemberontakan Komunis/1928, Resident Poortman di Semarang dengan bantuan Polisi menggeledah of all places: Klenteng Sam Po Kong!! Tulisan2 Tionghwa jang disitu disimpan sedjak +- 400 @ 500 tahun, seluruhnya disita oleh Resideng Poortman. Tiga tjikar banjaknja!! Itu dia sumber2 perihal Djin Bun, jang tidak diduga oleh siapa pun. Memang pandai Poortman selaku Detective Sedjarah. "Hatsil/karja dari Resident Poortman jang begitu gilang/gemilang atas permintaan dia sendiri: Tetap dirahasiakan oleh Pemerintah Koloniaal Belanda. Tersimpan didalam sesuatu "GZG/Monogram, Uitsluitend Voor Dientsgebruik Ten Kantore" (RSR, hanja untuk dinas, tidak boleh dibawa ke rumah). Kisah ini dapat dibaca secara utuh di buku Mangaraja Onggang Parlindungan berjudul Tuanku Rao.

Hal ini kemudian dikutip oleh Prof. Dr. Slamet Muljana dalam  buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, "Residen Poortman pada tahun 1928 dengan bantuan polisi menggeledah klenteng Sam Po Kong di Semarang. Tulisan2 Tionghwa jang tersimpan disitu seluruhnja disita oleh residen Poortman. Banjaknya sampai tiga tjikar. Tulisan2 itu umurnja sudah 400 atau 500 tahun. Bahan yang disusun oleh Ir. Parlindungan ini berguna sekali untuk mengetahui sampai dimana Babad Tanah Djawi dan Serat Kanda boleh dipertjaja sebagai karja sedjarah..." halaman 12.

Menurutnya, hasil penelitian Residen Poortman itu, atas permintaannya sendiri, tetap dirahasiakan oleh pemerintah Belanda. Jika hasil penelitian tersebut diketahui oleh umum secara luas, sudah pasti menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat Islam di pulau Jawa. Di kalangan masyarakat Tionghoa, mungkin timbul rasa kebanggaan, karena diantara orang-orang Tionghoa perantauan terdapat orang-orang penting, baik dalam ketatanegaraan maupun dalam kehidupan keagamaan.

Ringkasnya, tulis Prof. Dr. Slamet Muljana, prasaran Poortman yang memuat preambule tentang Jin Bun tidak ada lagi di Indonesia, tetapi masih di Netherland, yakni Gedung Negara Rijswijk. Poortman sendiri pasti memiliki satu eksemplar. Ia meninggal di tahun 1951 di Voorburg. Eksemplar Poortman jatuh ke tangan ahli warisnya Mangaraja Onggang Parlindungan sebagai putra Sutan Martua Raja Siregar, sangat dikasihi oleh Residen Poortman. Ketika ia belajar di sekolah tinggi teknologi di Delft. Ia sempat membaca dan mengutip preambule prasaran tersebut di Gedung Negara Rijswijk. Kutipan tersebut masih tersimpan, dan kemudian dibeberkan dalam bukunya Tuanku Rao sebagai lampiran ke-31 dari halaman 650 hingga 672.

Tentunya, momentum spirit Imlek, dapat menjadi rujukan bagi setiap kalangan untuk mengkaji naskah-naskah Poortman, dan mempertegas kembali, bahwa akulturasi bangsa China dengan penduduk di nusantara sudah terjalin sejak lama. Fakta itu masih ada, jejak pendaratan pertama di Klenteng Talang, klenteng tertua di Kota Cirebon. Tan Sam Tjai, seorang Muslim Tionghoa yang diberi gelar Tumenggung Aria Dipa Wiracula oleh Sultan Cirebon.

Nyalakan inspirasimu, semoga

 

artikel terkait: Putri Ong Tien, Istri Sunan Gunung Jati dan Imlek

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun