Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Toa Lang, Misteri Naskah Residen Poortman dan Imlek

8 Februari 2016   10:25 Diperbarui: 8 Februari 2016   11:13 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berikut kutipannya, "Residen Poortman selaku autodidactic Sinoolog mengerti, bahwa Djin Bun didalam Bahasa Tionghwa/Dialect Yunnan artinya "Orang Kuat." Resident Poortman the experienced Hystory Detective, jang sudah memetjahkan soal "Mythos Iskandar Zulkarnain Dynasty" mendjadi very clear Kesultanan Kuntu/ Kampar, terpaksa fikir2 panjang. Dia memeras otak, dimana mendapatkan sesuatu sumber perihal "Djin Bun The Strong man". Didalam annals Tiongkok/Ming Dynasty, nama Djin Bun sama sekali tidak disebutkan. Mana ja?? Eureka!! Resident Poortman pergi ke Semarang. Didalam suasana Pemberontakan Komunis/1928, Resident Poortman di Semarang dengan bantuan Polisi menggeledah of all places: Klenteng Sam Po Kong!! Tulisan2 Tionghwa jang disitu disimpan sedjak +- 400 @ 500 tahun, seluruhnya disita oleh Resideng Poortman. Tiga tjikar banjaknja!! Itu dia sumber2 perihal Djin Bun, jang tidak diduga oleh siapa pun. Memang pandai Poortman selaku Detective Sedjarah. "Hatsil/karja dari Resident Poortman jang begitu gilang/gemilang atas permintaan dia sendiri: Tetap dirahasiakan oleh Pemerintah Koloniaal Belanda. Tersimpan didalam sesuatu "GZG/Monogram, Uitsluitend Voor Dientsgebruik Ten Kantore" (RSR, hanja untuk dinas, tidak boleh dibawa ke rumah). Kisah ini dapat dibaca secara utuh di buku Mangaraja Onggang Parlindungan berjudul Tuanku Rao.

Hal ini kemudian dikutip oleh Prof. Dr. Slamet Muljana dalam  buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, "Residen Poortman pada tahun 1928 dengan bantuan polisi menggeledah klenteng Sam Po Kong di Semarang. Tulisan2 Tionghwa jang tersimpan disitu seluruhnja disita oleh residen Poortman. Banjaknya sampai tiga tjikar. Tulisan2 itu umurnja sudah 400 atau 500 tahun. Bahan yang disusun oleh Ir. Parlindungan ini berguna sekali untuk mengetahui sampai dimana Babad Tanah Djawi dan Serat Kanda boleh dipertjaja sebagai karja sedjarah..." halaman 12.

Menurutnya, hasil penelitian Residen Poortman itu, atas permintaannya sendiri, tetap dirahasiakan oleh pemerintah Belanda. Jika hasil penelitian tersebut diketahui oleh umum secara luas, sudah pasti menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat Islam di pulau Jawa. Di kalangan masyarakat Tionghoa, mungkin timbul rasa kebanggaan, karena diantara orang-orang Tionghoa perantauan terdapat orang-orang penting, baik dalam ketatanegaraan maupun dalam kehidupan keagamaan.

Ringkasnya, tulis Prof. Dr. Slamet Muljana, prasaran Poortman yang memuat preambule tentang Jin Bun tidak ada lagi di Indonesia, tetapi masih di Netherland, yakni Gedung Negara Rijswijk. Poortman sendiri pasti memiliki satu eksemplar. Ia meninggal di tahun 1951 di Voorburg. Eksemplar Poortman jatuh ke tangan ahli warisnya Mangaraja Onggang Parlindungan sebagai putra Sutan Martua Raja Siregar, sangat dikasihi oleh Residen Poortman. Ketika ia belajar di sekolah tinggi teknologi di Delft. Ia sempat membaca dan mengutip preambule prasaran tersebut di Gedung Negara Rijswijk. Kutipan tersebut masih tersimpan, dan kemudian dibeberkan dalam bukunya Tuanku Rao sebagai lampiran ke-31 dari halaman 650 hingga 672.

Tentunya, momentum spirit Imlek, dapat menjadi rujukan bagi setiap kalangan untuk mengkaji naskah-naskah Poortman, dan mempertegas kembali, bahwa akulturasi bangsa China dengan penduduk di nusantara sudah terjalin sejak lama. Fakta itu masih ada, jejak pendaratan pertama di Klenteng Talang, klenteng tertua di Kota Cirebon. Tan Sam Tjai, seorang Muslim Tionghoa yang diberi gelar Tumenggung Aria Dipa Wiracula oleh Sultan Cirebon.

Nyalakan inspirasimu, semoga

 

artikel terkait: Putri Ong Tien, Istri Sunan Gunung Jati dan Imlek

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun