Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Beredar 'Rencana Aksi Gelar Opsgal Papua' Berlogo Badan Intelijen Negara ?

6 Februari 2016   00:13 Diperbarui: 6 Februari 2016   00:36 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Intelijen bukan agen, bukan informan, bukan penyidik, bukan spion, melainkan pada tataran informasi analisis. Sebagai garis bantu, pijakannya adalah area intelijen sebagai ilmu pengetahuan sekaligus seni (intelligence is science and art). Saya mengutip pemikiran John Locke yang mengatakan ilmu pengetahuan mempunyai dua keuntungan, Pertama, kita mengetahui pokok masalah. Kedua, kita mengetahui dimana kita dapat menemukan informasi mengenai hal tersebut. Sedangkan mengenai 'seni', saya mengutip pemikiran John Fitzgerald Kennedy yang mengatakan kita tidak boleh lupa bahwa seni bukanlah suatu bentuk propaganda, tetapi suatu bentuk kebenaran. Nah, intelligence minded public sudah terbentuk, maka kita dan masyarakat Indonesia tidak mudah terprovokasi, tidak mudah terkecoh, tidak mudah larut, terjebak, terseret, terpengaruh pada upaya jahat secara sistematis. Dengan memahami latar belakang suatu masalah secara mendalam, kita dapat membaginya kepada publik untuk semakin cerdas dan dewasa menyikapi suatu persoalan. Demikian saya mengungkapkan dalam artikel Bila Menulis Soal Intelijen sebagai kata pendahulu melihat fenomena Beredar SK Anggota DISK BIN Banyu Biru Djarot, Yudi Wibowo Sukinto, yang juga sepupu Jessica Kumala Wongso, menuding Edi Dermawan Salihin sebagai anggota Badan Intelijen Negara (BIN) dalam 'Perang Intelektual' Antara Edi Dermawan Salihin dan Yudi Wibowo Sukinto, Pengacara Jessica Kumala Wongso hingga persoalan beredarnya dokumen setebal 35 halaman yang mengklaim bersumber dari Badan Intelijen Negara (BIN).

Dunia intelijen adalah 'dunia tertua' yang melibatkan kerahasiaan dan berbagai kisah yang menimbulkan syahwat pikir dan penasaran masyarakat. Bagaimana sebenarnya dunia intelijen dan betapa mulianya kegiatan profesi intelijen dapat kita sadari bersama jika kita memahami makna intelijen sebagai sebuah seni dan ilmu yang tua.

Saya tergelitik ketika membaca berita berjudul 'Dokumen rahasia BIN': aktivis Papua, perempuan, minuman dalam laman BBC Indonesia. Mengapa? Dalam dokumen tersebut di halaman 2 'Sasaran Opsal Papua' terdapat  empat kategori pengelompokan:

  1. Front Politik
  2. Pro NKRI
  3. Mahasiswa Papua di luar Papua
  4. Tokoh Agama atau Tokoh Adat

Di halaman berikutnya, terdapat sembilan nama yang termasuk dalam kelompok Front Politik, diantaranya Buchtar Tabuni, Markus Haluk, Frits Ramandey, Forkorus Yaboisembut, Agus Kosay, Sebby Sembom, Ishak Wetipo, Olga Hamadi, dan Yason Ngelia. Kemudian, empat nama dalam kelompok Pro NKRI, diantaranya Ramses Ohee, Yofi Kafiar, Hermus Indouw, dan Frangklin Wahey. Halaman 17 bertuliskan Mahasiswa Papua di luar Papua, muncul nama Katreda Robi, Ishaq Gombo, Yumison Karoba, Charles Enumbi, Erisen Tabuni, Yoseph Karoba, Edim Bahabol, Tinus Uaga, Beny Dimara, Arthur Wabiser, dan Ribka Elopere. Selanjutnya, halaman 28 bertajuk Tokoh Agama atau Tokoh Adat, terdapat nama Pendeta Marthen Luther Wanma, Msi, Barnabas Mandacan, Pendeta Piet Hein Mayor, Yan Christian Warinusi, Pendeta Benny Giay, Pendeta Benyamin Yantewo, dan Sendius Wonda, SH, Msi. Selama mencermati isi dokumen tersebut, di setiap kategori termuat biodata sasaran, anteseden, kekuatan dan kelemahan, pelaksanaan, pencapaian sasaran, dan waktu pelaksanaan. 

Dokumen berlogo Badan Intelijen Negara (BIN) berjudul Rencana Aksi Opsgal Papua yang di keluarkan Maret 2014 Deputi-II KA BIN ini dimuat Fairfax Media Australia kemudian menjadi rujukan Sydney Morning Herald. Bagi saya ada sesuatu yang janggal dalam dokumen tersebut jika dikatakan sebagai laporan intelijen. Sebab, ada bab-bab yang sangat prinsip dalam laporan intelijen. Yakni fakta, analisa, perdiksi, dan saran untuk melakukan deteksi dini.

Terlebih, bukankah laporan intelijen membutuhkan sejumlah level-level otentikasi? 

Melalui pesan pendek kepada BBC Indonesia, hari Jumat (05/02), Sutiyoso mengatakan, "Setelah di-check oleh Tim BIN ternyata dokumen tersebut palsu, bukan dari BIN."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun