Saya memulai tulisan terkait penangkapan Damayanti Wisnu Putranti dengan tanda tanya, adakah lingkaran setan korupsi yang melibatkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)?
Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hadir berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sudah puluhan anggota Dewan masuk'hotel prodeo' karena kasus korupsi. Alhasil, bukan dongeng baru di Senayan, perbuatan Damayanti Wisnu Putranti semakin mengukuhkan luka sayat di wajah Dewan. Lembaga ini seolah-olah sebuah mata rantai yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya, dan saling menguatkan simpul mata rantai yang terjalin diantara keduanya. Ada lingkaran setan di perkara korupsi?
Berdasarkan amatan yang beredar di media massa, setidaknya ada dua hal yang menumbuhkan kedongkolan dan kemasygulan ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Damayanti Wisnu Putranti, anggota Komisi Infrastruktur Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Pertama, bagi anggota Dewan, tertangkap tangan dan dipenjara sebab korupsi ternyata bukan sesuatu yang menakutkan. Kedua, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga tidak kunjung gotong royong bersih diri, padahal sudah menumpuk kasus korupsi yang mencoreng muka parlemen negeri ini. Bopengnya wajah parlemen kembali diperlihatkan kepada rakyat saat Damayanti Wisnu Putranti dan dua asistennya tertangkap tangan dalam urusan suap-menyuap.
Menurut laman Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, masih tercatat, Damayanti Wisnu Putranti dengan nomor anggota 184, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Daerah Pemilihan Jawa Tengah IX ini diduga menerima suap dari pengusaha asal Ambon, bernama Abdul Khoir. Kasus ini pula, Julia Prasetyarini dan Dessy A. Edwin terlibat. Keduanya, menerima uang tunai Sin$ 33 ribu per orang. Jumlah yang sama juga ditemukan di kediaman Damayanti Wisnu Putranti di Jalan Joe, Jakarta Selatan. Namun, Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir, mengatakan tidak begitu mengenal Dessy dan Julia. "Ini siapa orangnya, dia bekerja untuk siapa, DWP sendiri juga bingung. Di sana banyak penghubungnya," kata kuasa hukum Abdul Khoir, Haeruddin Massaro.
Sementara, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo mengungkapkan Direktur PT Windhu Tunggal Utama, Kota Ambon, Abdul Khoir, memberi komitmen pembayaran Sin$ 404 ribu atau sekisar Rp 3.9 miliar ke Damayanti Wisnu Putranti dengan nomor anggota 184, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Diketahui, PT Windhu Tunggal Utama mengerjakan sejumlah proyek jalan di Maluku. Proyek tersebut antara lain pembangunan jalan nasional ruas Tepa-Masbuar-Letwurung di Pulau Babar, Kabupaten Maluku Barat Daya, senilai Rp 55,673 miliar. Selain itu, proyek pembangunan jalan Ilwaki-Lurang dan Tiakur-Weat, masing-masing bernilai Rp 68 miliar. Proyek-proyek inilah yang diduga juga dimainkan Damayanti Wisnu Putranti supaya lolos dan jatuh ke PT Windhu Tunggal Utama. Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menggarap So Kok Seng alias Aseng alias Franky Harman Tanaya yang disebut-sebut mempunyai hubungan bisnis dengan Abdul Khoir.
Aseng yang menjabat sebagai Direktur PT Cahaya Mas Perkasa ini, juga disebut-sebut merupakan subkontraktor PT Windu Tunggal Utama. Aseng yang sudah dilarang bepergian ke luar negeri itu diduga mengetahui kasus dugaan suap proyek anggaran pembangunan jalan di Ambon, Maluku, yang digarap Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tahun anggaran 2016. "Diperiksa untuk tersangka DWP," kata Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati, Selasa (25/1).
Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional IX Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR), Amran Mustari, diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terkait kasus dugaan suap proyek di kementerian tersebut. Usai melakukan pemeriksaan, Amran mengakui, dirinya mengenal Direktur PT Windi Tunggal Utama, Abdul Khoir, sewaktu menjabat sebagai Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX di Ambon. "Yang jelas waktu Agustus 2015 itu memang ada kunker (kunjungan kerja)," ujar Amran di Gedung KPK, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (28/1).
Perkara ini pun menyeret sejumlah politikus Senayan. Disinyalir, kasus penangkapan Damayanti Wisnu Putranti ini akan menyeret sejumlah anggota Dewan yang lain. "Saya dengar ada 24 orang, ada nama-namanya, yang terima duit juga atau enggak, wallahu alam," kata kuasa hukum Abdul Khoir, Haeruddin Massaro, Rabu, 27 Januari 2016. Adapun jumlah anggota Komisi V sebanyak 54 orang.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Budi Supriyanto di lantai 13 Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Tempo edisi 25-31 Januari 2016, "Karena ada jejak tersangka di ruangannya," ujar Pelaksana Harian Kepala Biro Hubungan Masyarakat KPK. Menurut penelusuran media tersebut, rekam jejak penganggaran proyek, Budi Supriyanto diketahui sebagai pengusul.
Proyek Jalan di kawasan Maluku II ini dibiayai dana aspirasi DPR yang dicairkan melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Pada 2016, wilayah Maluku II meliputi Pulau Seram mendapatkan 19 paket pekerjaan, 14 diantaranya proyek jalan dan 5 jembatan. Proyek-proyek tersebut dalam tahap lelang. Mengutip sumber Tempo, "Proyek itu aspirasi Budi, Damayanti diduga hanya makelar." Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah meminta Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mencegah Budi Supriyanto bepergian ke luar negeri selama 6 bulan ke depan.
Usai, diperiksa selama sekitar 9 jam sebagai saksi untuk tersangka Dirut PT Windu Tungga Utama Abdul Khoir, Anggota Komisi V DPR Budi Supriyanto membantah terlibat dalam kasus yang menjerat rekannya, Damayanti Wisnu Putranti. Budi mengaku tidak menerima uang suap terkait kasus ini. "Tidak, saya tidak menerima uang," ujar Budi Supriyanto. Pemeriksaan ini merupakan perdana Budi Supriyanto dengan nomor anggota 280, Fraksi Partai Golongan Karya, Daerah Pemilihan Jawa Tengah X, dalam kasus proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Budi Supriyanto merupakan salah satu bagian dari penyidikan kasus dugaan suap proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tahun anggaran 2016.
Sangat jelas, bahwa kasus penangkapan Damayanti Wisnu Putranti atau kasus suap tidak akan pernah lahir dari aksi tunggal. Kejahatan jenis ini timbul sebab permainan oknum pejabat yang memiliki kekuasaan dan pelaku dunia usaha. Salah satu usaha memotong mata lingkaran setan korupsi gampang putus karana ada barter kekuasaan dengan suap tak kunjung usai. Inilah sebabnya upaya mengungkap tuntas korupsi hingga ke akarnya, meski sulit dan terkadang dilematis, tidak boleh berhenti di tengah jalan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus menginvestigasi bagaimana cara kerja Damayanti Wisnu Putranti dari dalam. Dimulai, dari siapa yang bekerja sama, siapa mendapat apa, bagaimana ia membangun jaringan dan menggolkan proyek hanya dengan anggukan kepala kolega-koleganya di Komisi dan Banggar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sepakat, jika sebagian kalangan menghendaki Damayanti Wisnu Putranti menjadi justice collaborator untuk membongakr kasus ini. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menetapkan anggota Komisi V DPR RI, Damayanti Wisnu Putranti, sebagai justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum. "Semakin banyak pihak yang mau berperan sebagai JC, akan banyak kasus korupsi yang terbongkar," ujar Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai melalui siaran pers, Rabu (27/1).
Sementara, peneliti ICW Donal Fariz meminta KPK tidak asal terima permintaan tersangka Damayanti Wisnu Putranti yang mengajukan diri menjadi Justice Collaborator (JC). Dalam menjadi JC, kata Donal, Damayanti harus mengakui bahwa dirinya bersalah, karena dia merupakan salah satu pelaku tindak pidana korupsi. Namun, ada pelaku utama yang secara level keterlibatannya lebih tinggi dari yang bersangkutan. “Nah, tentu KPK harus sudah punya peta aktor, apakah Damayanti ini pemain utama atau ada pemain-pemain lain yang secara level lebih tinggi dari yang bersangkutan dengan mengaju pada surat edaran MA (SEMA Nomor 4 Tahun 2014) mengenai Justice Collaborator,” jelasnya.
Namun, juga diperhatikan, menjadikan seseorang sebagai justice collaborator perlu kehati-hatian. Jangan sampai pelaku korupsi memanfaatkan cara ini untuk mengejar keringanan hukuman.
Dalam kasus Damayanti Wisnu Putranti, cara kuno adalah mencungkil tuntas pangkalnya dimana pohon korupsi itu tumbuh. Uratnya menjalar di Senayan?
sumber foto disini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H