Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gafatar, Indonesia Butuh Juru Selamat?

31 Januari 2016   15:04 Diperbarui: 2 Februari 2016   05:34 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber Gambar: capture akun Twitter Gafatar"][/caption]Dalam tulisan sebelumnya,  telah disebutkan salah satu persoalan yang mengundang syahwat pikir dan akan terus berlangsung dan terus menggelinding suatu keadaan tidak menguntungkan bagi pemerintahan Jokowi-JK, bahkan siapa pun pemimpin di negeri ini, adalah polemik organisasi kemasyarakatan Gerakan Fajar Nusantara atau disingkat Gafatar.

Mengapa?

Ada kecenderungan di sebagian masyarakat ketika politisi adu jotos, lingkaran setan korupsi yang tak pernah putus, elite banyak yang gagal mengamalkan semboyan yang ditinggalkan Raden Mas Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara, dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Artinya, "di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan." Pada saat itu, ketidakbecusan menghadapi keadaan, terlebih dengan dasar keyakinan agama tertentu, maka lahirlah sebuah sikap hidup yang bertujuan untuk menghindarkan diri dari segala kesulitan, terutama dalam menghadapi masalah yang seharusnya diselesaikan secara wajar atau eskapisme. 

Pemahaman tersebut, akan tumbuh subur dan menjadi jalan keluar sebagian masyarakat. Ketidakpuasan terhadap situasi kondisi dapat menimbulkan harapan datangnya juru selamat. Bisa jadi facilitating context seperti itu memungkinkan munculnya polemik organisasi kemasyarakatan Gerakan Fajar Nusantara atau disingkat Gafatar.

Dalam perjalanan negeri ini, gerakan ratu adil itu antara lain gerakan Eyang Hasan Maolani (1782-1874) –selanjutnya disebut ‘Eyang Hasan’– adalah ulama lokal yang menjadi figur penting dalam sejarah penyebaran agama Islam di Kuningan dan sekitarnya, terutama di Desa Lengkong. Eyang Hasan dianggap mampu memberikan pengaruh keagamaan pada rakyatnya yang berimbas pada kemampuannya menggerakkan rakyat sebagai salah satu perangkat sosial dalam meruntuhkan hegemoni kolonial. Atas dasar itulah, Ricklefs memandang bahwa Eyang Hasan mendapatkan posisi penting di mata rakyatnya karena masyarakat menganggapnya sebagai ratu adil  yang dapat melindungi rakyat dari ancaman penjajahan. Gerakan-gerakan mesianistis lainnya dapat disebutkan misalnya, gerakan Nur Hakim dan Malangjuda yang terjadi berturut-turut pada tahun 1870-1871 dan tahun 1885-1886. Hampir bersamaan dengan gerakan tersebut, di Pekalongan tahun 1859, meletus peristiwa Amat Ngisa. 

Lantas, bagaimana dengan polemik organisasi kemasyarakatan Gerakan Fajar Nusantara atau disingkat Gafatar? Apakah Gafatar memiliki potensi sebagai gerakan sosial yang mengganggu ketentraman, huru-hara, kerusuhan, gerakan rohani atau malah justru gerakan counter elite? 

Tentunya, terkait gerakan counter elite dibutuhkan kepastian hukum yang rasional dan adil. Terutama, kepastian hukum disini bukan hanya keputusan hukum, lebih dari itu, bagaimana hukum ditegakkan dalam kerangka keadilan masyarakat Indonesia. Bukan sebagai alat tukar menukar kepentingan politik tertentu.

Berdasarkan amatan di sejumlah media massa yang beredar:

  1. Jaksa Agung Muda Tindak Intelijen Kejagung (Jamintel) dan Wakil Ketua Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat, Adi Toegarisman dari pertemuan dengan Mantan Ketua Umum Gafatar Mahful Muis Tumanurung itu diketahui para pengikut Gafatar tidak melaksanakan salat sebagaimana tatanan agama Islam semestinya. Disebutkan Al Qiyadah Musadeq mendirikan Komunitas Milah Abraham. Temuan lain, para eks anggota Gafatar ini yakni disebutkan bahwa Ahmad Musadeq adalah mesias. Dinilai ada indikasi penyimpangan ajaran agama. Namun, untuk penindakan akan dilakukan ketika Fatwa MUI keluar dan membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) bahwa Gafatar menyimpang.
  2. Pengakuan mantan Ketua Umum Gafatar Mahful Muis Tumanurung, "Kami menyatakan sikap telah keluar dari keyakinan atau paham keagamaan Islam mainstream Indonesia dan tetap berpegang teguh paham Millah Abraham sebagai Jalan Kebenaran Tuhan seperti yang telah diikuti dan diajarkan oleh para Nabi dan Rasul Allah SWT." Selasa (26/1). Millah Abraham terkait dengan Al-Qiyadah Al-Islamiyah dan Ahmad Mussadeq di tahun 2006 mengaku nabi atau mesiah (juru selamat). Pada Oktober 2007, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa aliran itu sesat oleh sebab sinkretisme tiga agama samawi (Islam, Kristen, Yahudi). Kemudian, Ahmad Musaddeq diadili. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Ahmad Musaddeq empat tahun penjara dengan pasal penodaan agama.

Polemik organisasi kemasyarakatan Gerakan Fajar Nusantara atau disingkat Gafatar dan persoalan aliran kepercayaan bukan perkara mudah. Apalagi, melibatkan permasalahan harapan akan datangnya juru selamat. Berdasarkan catatan Amnesty International paling tidak ada 1.500 anggota Gafatar, termasuk perempuan dan anak-anak, secara paksa diusir dari rumah mereka di Kabupaten Sintang dan Ketapang, oleh sekelompok massa di berbagai tempat. Amnesty International telah meminta pemerintah Indonesia untuk menjamin hak-hak anggota mantan organisasi kemasyarakatan Gerakan Fajar Nusantara atau disingkat Gafatar yang diungsikan dari Kalimantan Barat. "Reparasi itu harus mencakup jaminan pemulangan mereka secara aman, sukarela, bermartabat baik ke rumah mereka maupun ke tempat lain menurut pilhan mereka berdasarkan konsultasi yang bermakna, kompensasi yang memadai terhadap kerugian yang mereka derita, termasuk hancur dan rusaknya rumah-rumah mereka, dan jaminan bahwa hal serupa tidak akan terulang kembali," kata Wakil Direktur Kampanye Asia Tenggara dan Pasifik Regional Office Amnesty International, Josef Roy Benedict, mengatakan kepada ANTARA London.

Organisasi kemasyarakatan Gerakan Fajar Nusantara atau disingkat Gafatar memang unik. Ketika polemik ini mencuat banyak orang penasaran dan menjadi bahan lelucon. Sebab jika terdengar di telinga, terkesan ada kemiripan dengan Avatar, sebuah suku alien di planet yang jauh melawan untuk menyelamatkan rumah hutan mereka dari manusia penyerbu yang akan menambang planet tersebut. 

Organisasi kemasyarakatan Gerakan Fajar Nusantara atau disingkat Gafatar adalah gerakan sosial yang fondasi dan prinsipnya keyakinan agama dan bicara juga soal juru selamat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun