Setelah berkunjung melihat dari dekat tanda peringatan Zheng He atau Sam Po atau Cheng Ho yang diabadikan di Klenteng Tiao Kak Sie atau Chao Jue Si atau sering disebut masyarakat Cirebon Vihara Dewi Welas Asih, berupa sebuah jangkar besar yang dikatakan berasal dari salah sebuah kapalnya versi Claudine Salmon. Belumlah lengkap, jika tidak berziarah ke Kompleks Makam Sunan Gunung Jati. Jarak dari pusat kota Cirebon sekisar 5 kilometer. Jika di Vihara Dewi Welas Asih tersimpan jangkar milik Laksamana Cheng Ho. Maka, di Kompleks Makam Sunan Gunung Jati, di puncaknya terdapat lubang kecil yang bernama Puser Bumi. Konon lubang tersebut, pada zaman sebelum Islam berkembang di Pulau Jawa, lubang itu digunakan untuk pertapaan seorang Resi bernama Resi Kenduyuhan, raja dari negeri Pajajaran.
Menurut Kitab Laigeasta, sesuai hasil ketikan yang saya peroleh, tercantum nama narasumber Masduki Saripin, dan disusun I.M. Arifin. Diungkapkan pada akhir Resi Kenduyuhan bertapa dan ditemui Begawan Puntodewo dari alam Ngahiyang, kemudian keduanya sami-sami ngaji 'Samiaji". Begawan Puntodewo berucap kepada Resi Kenduyuhan, bahwa tidak akan lama lagi di Pulau Jawa bakal turun Jimat Layang Kalimusada. Selanjutnya, Resi Kenduyuhan memahami makna yang terkandung dari ucapan Begawan Puntodewo.
Keduanya beriringan meninggalkan tempat pertapaan menuju alam Ngahiyang. Beberapa ratus tahun kemudian, sepeninggal Resi Kenduyuhan, datanglah seorang Waliyullah bernama Syaikh Nurjati ke tempat pertapaan tersebut. Ia hendak mengkhusyukkan diri agar mendapat petunjukNYA untuk menyiarkan agama Islam di Pulau Jawa. Selanjutnya, Syaikh Nurjati memberi nama tempat pertapaan Resi Kenduyuhan dengan sebutan Gunung Jati. Saat ini, tempat tersebut ramai dikunjungi para peziarah, teristimewa di bulan Mauludan.
Masih dalam Kitab Laigeasta, bertolak dari Gunung Jati, sekitar abad ke-14, agama Budha telah berkembang di wilayah tersebut. Seorang laki-laki berasal dari negeri Arab menemui Raden Rahmat yang pada zaman Wali Songo, diberi gelar Sunan Ampel. Atas nasehat Raden Rahmat, agar ia menanti saat yang tepat untuk mengabarkan Islam. Lak-laki tersebut menerima petunjuk Raden Rahmat, dan kembali ke tempat semula. Tiba-tiba, ia mendengar suara yang mengatakan bahwa dirinya harus tinggal di Gunung Jati. Kemudian, ia mencari siapa pemilik suara, sementara suara itu muncul dari hutan belukar. Oleh sebab itu, hutan dipinggir Gunung Jati dinamakan hutan Konda (Kondahe, Wanah). Artinya, hutan yang pernah menimbulkan pembicaraan. Ia pun pergi ke arah puncak Gunung Jati dan menemukan sebuah gua kecil. Beberapa tahun lamanya, dari puncak Gunung Jati tampak sinar terang, beberapa warga sekitar Gunung Jati mendaki puncak Gunung Jati. Dan, mereka menjumpai seorang laki-laki yang sedang membacakan ayat-ayat suci Al Quran. Maka, saat itulah sosok laki-laki itu disebut Syaikh Nurjati. Syaikh berarti orang tua yang alim. Nurjati artinya bercahaya menyinari Gunung Jati.
Sejak itu, Syaikh Nurjati kedatangan tiga orang pemuda bersaudara bernama Sayid Abdurrahman, Sayid Syarifudin, dan Sayid Abdullah dari negeri Baghdad atas perintah Syaikh Chuf untuk ikut belajar Islam dan menyiarkannya. Kemudian, Gunung Jati disebut Pengguron Islam. Hingga Syaikh Nurjati wafat, beliau menasehati agar masing-masing diantara mereka untuk membuka hutan dan dijadikan padukuhan.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H