Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ketahanan Energi Indonesia Rapuh ?

28 Desember 2015   12:32 Diperbarui: 26 Februari 2016   07:26 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penguasaan minyak dan gas bumi membutuhkan investasi besar, teknologi tinggi, dan penanganan oleh sumber daya manusia dengan kualitas tertentu. Untuk mengelola bisnis migas diperlukan pengetahuan tentang kegiatan sektor migas yang terdiri dari pembentukan migas, kegiatan sektor hulu: eksplorasi dan produksi, kegiatan sektor hilir: pengelolaan, transportasi dan distribusi, serta dinamika pengusahaan migas yang menjelaskan hubungan antara keuntungan dengan investasi, cadangan, produksi permintaan, harga, biaya, penerimaan pemerintah, lingkungan, teknologi dan risiko.

Pengusahaan migas adalah usaha yang berisiko. Risiko tersebut tertumpu berhubungan dengan cadangan dan produksi, pembiayaan, pendapatan pemerintah dan harga. Untuk mengetahui permasalahan migas perlu diketahui sejarah migas baik di Amerika Serikat, dimana minyak ditemukan serta di negara-negara Eropa, Timur Tengah, Amerika Latin dan Asia termasuk Indonesia, baik sebelum perang dunia, selama perang dunia. dan sesudahnya, hingga berdirinya OPEC, krisis OPEC, krisis Asia, dan Millenium Baru. Isu-isu utama dalam kontrak pengusahaan migas terdiri dari kepemilikan hidrokarbon dan kedaulatan negara atas sumber daya alam, cara eksplorasi dan produksi dilaksanakan, piliha regulasi, si peraturan perminyakan hulu, tujuan dari pihak-pihak terkait, rekonsiliasi tujuan dan berbagi keuntungan ekonomi serta jenis kontrak. Perlunya memperhatikan masukan dari stakeholders perminyakan di Indonesia (World Bank, ADB, para pimpinan KPS--berdasarkan survey PriceWaterhouse Coopers, Indonesian Petroleum Association, Aspermigas dan Kaukus Migas Nasional) penting untuk perbaikan iklim investasi dan peningkatan produksi migas di Indonesia. Penting juga mengetahui daya saing migas dan posisi Indonesia di dunia. Cadangan dan produksi migas di dunia diambil dari BP Statistics. Daya saing migas di dunia diringkas dari laporan CERA (Cambridge Energy Research Associates), dan The Goldman Sachs.

Sebagai perbandingan dengan Indonesia, Petronas dan pengelolaan migas di Malaysia, yang notabene belajar Kontrak Production Sharing dari Indonesia. Malah, Indonesia kalah berhasil dari Malaysia sesudah krisis Pertamina, akibat kurang baiknya koordinasi antara Pemerintah dan Pertamina, serta tidak dialokasikannya dana depletion premium bagi peningkatan kemampuan nasional Indonesia. Ibnu Sutowo dalam bukunya Peranan Minyak dalam Ketahanan Negara menyatakan yang dibagi adalah minyak (hasilnya) dan bukan uangnya. Beliau mengungkapkan, “Dan mengenai minyak ini, terserah pada kita sendiri, apakah kita mau barter, mau refining sendiri atau mau dijual sendiri. Atau kita minta tolong kepada patner untuk menjualkannya, untuk kita”. Intinya adalah kita harus menjadi tuan di rumah kita sendiri. Itulah sebabnya dalam Kontrak Production Sharing manajemen ada di tangan pemerintah. Belajarlah dari LNG Tangguh, if you want to have a firend, be a friend bahwa pendekatan antar teman lebih bijak dalam penanggulangan permasalahan LNG Tangguh. Indonesia juga perlu mengembangkan energi alternatif dan konservasi energi serta memperbaiki iklim investasi migas supaya menjadi next petroleum exporter. Fahruddin Salim, pembentukan dana energi juga sangat penting untuk di realisasikan guna membangun ketahanan energi nasional pada 2016. Dana tersebut, nantinya dapat digunakan untuk eksplorasi, membangun energi terbarukan, riset, pendidikan SDM dan lain-lainnya. 

Permasalahan energi adalah persoalan pembangunan. Harga minyak bukan hanya fungsi pemasokan dan permintaan minyak dunia tetapi juga ditentukan oleh politik dan kepercayaan terhadap ekonomi. Harga gas biasanya ditentukan berdasarkan kombinasi harga finansial sebagai fungsi produksi, biaya yang dikeluarkan, keuntungan dan bagian pemerintah serta harga net back terhadap minyak. Mengutip Kompas, dalam laporan yang dikeluarkan Dewan Energi Dunia (World Energy Council), ketahanan energi Indonesia terbilang rapuh dibandingkan dengan negara lain. Indonesia menduduki peringkat ke-69 dari 129 negara dalam hal ketahanan energi pada 2014. 

Dan, menurut Prof. Widjajono Partowidagdo, terlihat bahwa kurang berhasilnya pengembangan panas bumi adalah karena harga finansial panasbumi sekisar 8 sen dolar per kwh adalah lebih tinggi dari harga jual listrik yang disubsidi sekitar 6 sen dolar per kwh. "Perlu disadari bahwa harga listrik dari BBM bisa mencapai 30 sen dolar per kwh apabila harga minyak mencapai 120 dolar per barel. Perlu dianggarkan insentif untuk pengembangan panasbumi apabila Pemerintah mensubsidi harga listrik," ungkap Widjajono Partowidagdo dalam bukunya Migas dan Energi di Indonesia, Permasalahan dan Analisis Kebijakan.

Masih dalam buku tersebut, Cold Bed Methane (CBM) merupakan energi alternatif yang potensinya cukup besar di Indonesia. Biaya pengembangan CBM lebih mahal dari biaya pengembangan gas konvensional. Walaupun biaya per sumurnya lebih murah karena lebih dangkal tetapi jumlah sumur yang dibutuhkan jauh lebih banyak. Di samping itu dibutuhkan pengurasan air lebih dulu sebelum produksi gas. Akibatnya dibutuhkan intensif berupa penerimaan pemerintah yang lebih kecil dibandingkan untuk gas konvensional.

Bahan Bakar Nabati (BBN) juga bagian dari energi alternatif dengan potensi cukup besar di Indonesia. Persoalannya pada harga minyak rendah BBN lebih mahal dari BBM, tetapi pada harga minyak tinggi lebih murah. Keunggulan BBN adalah tidak tergantung impor serta dapat menjadikan suatu desa mandiri energi. Akibatnya, lebih bijak jika pemerintah memberikan intensif pada pengembangan BBN. "Situasi pengelolaan energi kita hari ini ke depan sudah harus berbeda karena memang tantangannya juga berbeda. Yang tidak tepat di masa lalu tentu harus dikoreksi, yang baik harus dipertahankan. Rezim subsidi harus secara bertahap bergeser menjadi rezim netral subsidi, dan suatu saat dikenakan pungutan premi atas BBM," ujar Menteri ESDM Sudirman Said. 

Beberapa catatan untuk memperkuat ketahanan energi, rendahnya harga energi adalah salah satu sebab krisis energi, ditulis karena terdapat sebagian kelompok masyarakat yang menginginkan harga BBM serendah mungkin, tanpa memikirkan hal tersebut justru menyebabkan ketergantungan berkelanjutan pada minyak yang diimpor karena energi alternatif, yang membuat kita mandiri, tidak muncul.

Mohon disadari bahwa Undang-Undang Migas adalah hasil keputusan bersama tidak perlu menyalahkan orang lain. Di Amerika Serikat berlaku sistem Konsesi (Royalty and Tax) dimana peranan negara dalam pengelolaan migas lebih sedikit daripada sistem PSC (Production Sharing Contract). Walaupun demikian Senat Amerika Serikat membatalkan kemenangan CNOOC (BUMN China) untuk mengakusisi Unocal demi National Security. Perlu dicatat, hal itu dilakukan sebelum kontrak ditandatangani. Senat tidak mengurusi kontrak-kontrak migas setiap hari, hanya dalam keadaan darurat mereka bersidang. 

Jadi, meski kita menerima masukan dari stakeholders perminyakan di Indonesia (World Bank, ADB, IMF, dan USAID) bukan berarti peraturan-peraturan migas di Indonesia mirip dengan usulan-usulan World Bank, ADB, IMF, dan USAID. 

"Sustainable development will require a change of heart, a renewal of the mind and a healthy dose of repentance. These are all religious terms, and that is no coincidence because a change in the fundamental principles we live by is a change so deep that it is essentially religious whether we call it that or not," Herman Daly, Beyond Growth 

sumber foto disini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun