Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Anakku Membawa Surga

18 Desember 2015   19:50 Diperbarui: 12 Januari 2022   22:37 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Model: M Bintang Haryo Wibisono


 

 

Di ujung pesawahan matahari baru saja terbenam ke peraduan. Suara Jangkrik mulai terdengar bersahutan, saling berlomba dengan nyanyian satwa lainnya. Aku baru saja selesai mandi saat kudengar sayup-sayup orang mengaji terbata-bata. Siapa gerangan? Seperti ada getaran yang masuk, menyelinap perlahan ke dalam relung hatiku. Nikmat rasanya.

Sejenak aku termenung, sebelum akhirnya kuberanikan diri mencari dari mana asal suara itu. Tapi, belum lagi langkahku sampai ke arah yang kutuju, tiba-tiba suara itu lenyap bagai tertelan bumi. Ah, rasa penasaranku kian menggebu. Lewat serambi pintu kamar yang kebetulan terletak bersebelahan dngan kamarku, kucoba mengintip. barangkali asal suara itu dari kamar putraku, Seno.

Ya Tuhan! Khusyuk nian putraku, begitu gumamku dalam hati. Tubuhnya tertutup baju koko dan berkopiah hitam. Matanya tertunduk diam dengan tangan terlipta di atas perut, berdiri tegak di atas tikar merah bergambar masjid. Melihat pemandangan indah seperti itu, hati seorang ibu mana yang tak terusik oleh siraman rohani terasa sejuk bagai siraman air hujan. Terima kasih, Ya Tuhan! Anakku membawa surga.

Seno, putraku satu-satunya, sejak berumur 10 tahun, segalanya dilakukannya sendiri, tanpa meminta bantuan orang lain, termasuk aku, ibunya. Huruf Arab dipelajarinya dari guru agama di sekolahnya tanpa sengaja. Jika ada pelajaran agama Islam di kelas, ia tak mau keluar kelas. Meski sering dibujuk teman-teman sekolahnya, Seno tak pernah peduli. 

Mungkin boleh dibilang aku bukan orang tua yang baik. Aku sibuk dengan usahaku, perhotelan. Otakku kupakai untuk menghitung keuntungan semata dari hari ke hari. Kemana nuraniku selama ini? Aku tergugah seakan baru terbangun dari tidur yang panjang. Kasihan Seno, ia tak pernah mengenal ayahnya semasa hidup. Ia lahir di dunia tanpa ciuman seorang ayah. Mungkin keprihatinan hidupnyalah yang mengantarnya menuju hidayah.

Sering aku mencoba mengusik kisah lama, saat Seno masih dalam kandungan, hingga usia Seno empat bulan dalam perut aku tak pernah merasakan hamil. Jangankan muntah-muntah yang dinamakan ngidam, terasa pun tidak bahwa saat itu aku sedang hamil. Mungkin karena aku asyik menikmati duniaku sendiri dengan hotel-hotel yang kubangun. Aku tak pernah menghiraukan apakah aku datang bulan atau tidak. Kupikir kala itu, seandainya tidak menstruasi, malah enak tak mengganggu kesibukanku bekerja mencari laba. Hingga masuk bulan kelima barulah terasa bahwa aku sedang mengandung. Lucu, memang, tapi begitulah kenyataan yang kualami ketika itu.

Suami yang sibuk dengan pabriknya, tak jauh berbeda denganku. Mungkin karena aku lahir di lingkungan pengusaha, kebiasaan itu terus menerus lekat sampai aku berkeluarga. Beruntunglah suamiku cukup bijaksana hingga mau memahami siapa aku dan apa keinginanku. Sayang, karena kami berdua sangat sibuk, pertemuanku dengannya sangatlah terbatas. Setelah pulang dari kantor, kami sama-sama lelah akhirnya tertidur pulas.

Meski tampak kurang sehat kehidupan rumah tanggaku, hasil kerja keras kami sungguh diberikan bagi kebutuhan kami semua. Selama pernikahan kami yang sudah 15 tahun, cuma bisa dihitung sekali dua kali kami bertengkar. Ia sangat penyabar dan welas asih kepada orang-orang yang lemah. Air mukanya tampak cerah ketika kusampaikan berita gembira bahwa aku sedang hamil. Ia berpesan agar hati-hati menjaga si jabang bayi. Ah, tidak pernah terbayang dalam ingatanku, ucapan itu sekaligus sebagai tanda perpisahan. Suamiku meninggal dunia, ketika usia kehamilanku baru menginjak bulan kelima. Seminggu setelah kematian suamiku, aku bekerja seperti biasa. Sampai pada suatu malam, aku bermimpi bertemu dengan suamiku dan berpesan, agar jika anakku lahir, ia diberi nama Seno. Aku sedih sekali mendengarnya. Firasat apa gerangan yang akan terjadi pada anakku yang akan lahir kelak? 

Akhirnya, saat bahagia pun tiba. Anakku lahir laki-laki, dan langsung kuberi nama Seno, sesuai dengan pesan suamiku. 

Ternyata, 10 tahun kemudian, nama itulah yang menjungkirbalikkan hatiku ke jalan hidayah karena kelahiran anakku, Seno. 

"Ibu..," suara Seno perlahan membubarkan lamunanku tentang kisah lama.

Aku peluk Seno, sampai menangis aku berterima kasih kepada Tuhan, Seno yang telah berhasil menggugah hatiku menuju hidayah.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun