Usai menjalankan sholat Isya', rehat sejenak, dan mampir ke facebook. Mengutip status facebook seorang kawan " how do friendly peace-loving nations fight terrorism? military alliance? it has proven to be doomed...why do it again? this is not fighting terrorism, this is fighting rivalries...." Saya pun memberikan tanda jempol, dan klik! Kembali ke Kompasiana. Bukan untuk menanggapi status kawan tersebut melainkan lebih kepada melengkapi dan sedikit menguatkan berbagai sudut pandang pemberitaan di media massa maupun media sosial tentang dinamika konflik di Suriah, serta bagaimana saya sebagai warga negara Indonesia bersikap. Situasi di Suriah harus disikapi lebih berhati-hati dalam memberikan sudut pandang, kepedulian, dan solidaritas bagi masyarakat lemah.Â
Suriah, sejak Perang Dunia II, telah memilih beraliansi ke blok Timur dalam rangka mengimbangi pengaruh Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) I GNB di Beograd, Yugoslavia, 1-6 September 1961. Suriah hadir dalam KTT I GNB ditemani 25 negara yakni Afghanistan, Algeria, Yeman, Myanmar, Cambodia, Srilanka, Congo, Cuba, Cyprus, Mesir, Ethiopia, Ghana, Guinea, India, Indonesia, Iraq, Lebanon, Mali, Morocco, Nepal, Arab Saudi, Somalia, Sudan, dan Tunisia. Tampak sebagian peserta KTT I GNB ini masuk dalam anggota koalisi militer Islam. Sementara itu, pasca Perang Dunia II, Turki, Arab Saudi, dan Iran berada di blok barat-Amerika Serikat (Iran akhirnya mengundurkan diri dari keanggotaan blok barat-Amerika Serikat setelah Revolusi Islam yang dikomandani Ayatollah Khomenei tahun 1979).Â
Suriah, menjadi salah satu kekuatan militer terbesar di kawasan Timur Tengah dukungan Uni Sovyet (red, Rusia). Hubungan Suriah-Uni Sovyet menurun drastis setelah Mikhail Gorbachev secara terbuka mengumumkan era keterbukaan glasnot dan perestroika. Uni Sovyet bubar di tahun 1991 dan dan berdiri sejumlah negara merdeka bergabung dalam Commonwealth of Independent States (CIS). Situasi berubah, dan Suriah berupaya mendekati barat-Amerika Serikat. Namun, kurang berhasil dikarenakan karena Suriah lebih menunjukkan dukungannya kepada kelompok Hamas dan Hezbollah. Dalam menjaga kepentingan strategis kawasan, Suriah menjalin kedekatan dengan negeri Persa, Iran. Sedangkan, Amerika Serikat menjalin kepentingan strategis kawasan dengan Suriah, untuk menjaga dan memelihara perdamaian Suriah dengan negara Zionis Yahudi.Â
Dari sinilah, kita dapat memahami bahwa Suriah yang dipimpin Bashar al-Assad anak Hafez al-Assad akan tetap berusaha eksis berkuasa. Apalagi didukung penuh Uni Sovyet (red, Rusia). Dalam hal ini, Amerika Serikat berusaha berhati-hati dalam melakukan tekanan apalagi menggunakan operasi militer untuk menjatuhkan Assad. Pada akhirnya, politik adalah masalah perhitungan kekuatan. Dan, benar! Apa yang dikatakan kawan saya di facebook, "this is not fighting terrorism, this is fighting rivalries."Â
Meski Suriah adalah anggota gerakan non-blok, namun arah politiknya jelas, Partai Sosialis Baath. Suriah akan tetap memastikan dukungan penuh kepada Rusia. Sementara, Amerika Serikat secara strategis menghindari wilayah konflik baru yang akan memakan sumber daya yang cukup lumayan besar, karena Rusia secara tegas mendukung Assad.
Selanjutnya, kepentingan Barat atas nama hak asasi manusia bukan skala utama dibandingkan kepentingan stabilitas strategis kawasan yakni mengamankan posisi  'saudara kandungnya' negara Zionis Yahudi. Tampak kasat mata, dengan strategi politik Amerika Serikat yang mendekat dengan Iran, Arab Saudi bersama Turki merasa kecewa. Meskipun, negara Zionis Yahudi juga merasa tidak nyaman dengan kedekatan Amerika Serikat-Iran. Namun, negara Zionis Yahudi itu melihat indikasi Iran sebagai kekuatan regional dapat dicegah untuk tidak memproduksi nuklir.
Opsinya, adalah memberikan kontributif bagi perlawanan di dalam negeri Suriah seperti halnya dilakukan kepada Afghanistan saat melawan pendudukan Uni Sovyet.Â
Jadi, (sejauh pengamatan saya pribadi) sementara cukup jelas bukan, Indonesia tidak perlu tergesa-gesa mendukung proses reformasi Assad dan mendorong berakhirnya kekuasaan Assad. Sebab, perihal ini sangat kompleks dan harus mengimplikasi kalkulasi power aliansi Damaskus-Moskow-Teheran. Sedangkan ciri khas pendekatan konflik Indonesia adalah tata perilaku atau code of conduct, penghentian konflik dan mengawali pembicaraan proses damai, dan tidak langsung membahas isu pergantian sebuah rezim.Â
Â