[caption caption="Catatan: peta ini disusun oleh Letnan-Kolonel Ralph Peters. Dipublikasikan dalam Armed Forces Journal Juni 2006. Peters adalah purnawirawan kolonel US National War Academy. (Hak cipta peta Letnan-Kolonel Ralph Peters 2006)"][/caption]
Bukanlah sesuatu yang mengejutkan bagi siapa pun yang telah mengikuti dan mempelajari kawasan Timur Tengah, bahwa kawasan ini tengah berhadapan dengan suatu kesulitan besar. Semakin jelas terlihat bagaimana kawasan ini memiliki hubungan dengan kehancuran peradaban yang disebabkan oleh keyakinan seorang Theodore Herzl, bahwa wilayah Negara Yahudi membentang: “Dari Sungai Mesir hingga Eufrat.” Keyakinan seperti ini memang tidak perlu dibantah. Yang hendak dikatakan adalah untuk mengingatkan adanya pernyataan paling eksplisit, rinci, dan jelas sampai hari ini perihal strategi Zionis di Timur Tengah. Bahkan, menjadi representasi akurat “visi” rezim Zionis Begin, Sharon, dan Eitan. Adalah skenario Yinon yang dianggap sebagai The Zionist Plan for the Middle East, also known as the Yinon Plan, is an Israeli strategic plan to ensure Israeli regional superiority. It insists and stipulates that Israel must reconfigure its geo-political environment through the balkanization of the surrounding Arab states into smaller and weaker states.
Sejak konflik Yaman semakin meningkat. Laporan kantor berita Perancis yang mengklaim sebagai yang tertua ketiga dan terbesar di dunia setelah Reuters dan Associated Press—Agence France Presse, atau AFP—mengungkapkan enam negara anggota Dewan Kerjasama Teluk (GCC) bertemu di Riyadh, Arab Saudi, 5 Mei 2015. Pertemuan tersebut dihadiri Presiden Prancis Francois Hollande. Pria yang dibesarkan dalam lingkungan Partai Sosialis ini, tiba di Riyadh dari Qatar usai menandatangani MoU senilai 6,3 miliar euro antara perusahaan kedirgantaraan Prancis, Dassault dan pejabat-pejabat pertahanan Qatar. Dalam MoU tersebut termasuk pemesan 24 jet tempur Rafale dari Prancis. Sehari kemudian, 6 Mei, seperti diberitakan IB Times, Angkatan Udara Kerajaan Saudi Arabia, didominasi pesawat tempur buatan Inggris. 50 jet tempur, diantaranya, jenis Eurofighter Typhoons dan Tornado GR 4 buatan Negeri Ratu Elizabeth tersebut. Pagelaran pesawat tempur canggih ini, menghiasi langit bumi Syam. Dalam beberapa hari terakhir, negara-negara Teluk yang dipimpin Arab Saudi melakukan invansi militer ke Yaman karena konflik berkepanjangan di negeri para nabi itu.
Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia Mustafa Ibrahim Al-Mubarak mengatakan, invansi yang disebutnya dengan 'Decisive Storm' itu bukan tanpa alasan. Tercatat, sejak pemberontak Houthi yang berhaluan Syiah, tanggal 21 September 2014, menduduk ibu kota Yaman, Shan’a. Bulan Februari 201, Presiden Yaman, Abd Rabbuh Mansour Hadi melarikan diri ke Aden dari ibukota Sanaa. Dan pada Maret 2015, Presiden Mansour Hadi mengumumkan pemindahan ibukota dan menjadikan kota Aden sebagai ibukota negaranya. Dia juga menyatakan bahwa ibukota Sanaa telah menjadi “kota yang diduduki” oleh pemberontak Syiah Houthi. Karena desakan pemberontak Syiah Houthi yang kian kuat, akhirnya beliau mengirim surat ke beberapa negara teluk. Surat yang sangat menyentuh. Presiden Manshur Hadi menceritakan kondisi Yaman yang sudah berada di ambang kehancuran, sehingga membutuhkan pertolongan dari “para saudaranya”. Presiden menuliskan suratnya dengan sapaan “al-Akh” (saudara) bagi para pemimpin negara teluk.
Surat itu ditujukan kepada para pemimpin negara teluk, Arab Saudi, Uni Emirat, Bahrain, Oman, Kuwait, dan Qatar. Presiden Mansour mengungkapkan, beliau menulis surat itu dengan penuh kesedihan atas nasib yang menimpa negaranya. Beliau mengutip piagam PBB tentang hak pembelaan diri setiap bangsa, dari gangguan yang mengancam keselamatan negara, dan kesepakatan antar-negara teluk untuk bersama-sama saling melindungi. Atas dasar ini, beliau mempersilahkan para pemimpin negara teluk untuk segara mengatasi pemberontak Syiah Houthi di Yaman dengan kafah wasail (sarana yang memadai). Hingga kini, konflik Yaman belum juga usai.
Konflik Yaman tidak berdiri sendiri. Sekisar delapan tahun lalu, The Armed Forces Journal merilis sebuah peta negeri-negeri muslim. Negeri-negeri di Timur Tengah dibagi berdasarkan etnis dan aliran kepercayaan. Angkatan bersenjata Amerika Serikat dan sekutunya berperan dalam pembentukannya. Persis seperti agenda Kelompok Neo Conservative. Laporan The Armed Journal didasari artikel Ralph Peter—pensiunan letnan kolonel di Dinas Intelijen Angkatan Darat Amerika Serikat—memaparkan rencana perubahan peta dunia Islam. Dalam artikel bertajuk Blood Borders; How a Better Middle East Would Look itu, Peters menggambarkan negara-negara Islam yang terbentang dari Timur Tengah hingga Asia Selatan itu menjadi negara-negara baru. Pensiunan militer yang memiliki nama pena Owen Parry ini menegaskan tujuan sebenarnya dari keberadaan pasukan Amerika Serikat di Timur Tengah, menguasai sumber-sumber minyak, “Meanwhile, our men and women in uniform will continue to fight for security from terrorism, for the prospect of democracy and for access to oil supplies in a region that is destined to fight itself.”
Jika ditelisik lebih lanjut, skenario perubahan peta negara-negara Muslim Timur Tengah ini sejalan dengan laporan yang dimuat majalah Kivunim edisi 14 Februari 1982 yang dikutip koran Mesir al-Ahram al-Iqtishadi skenario persis sebagaimana yang terjadi di Irak saat ini dan diberlakukan terhadap Suriah sejak saat itu. Sebagian besar rencana yang dimuat di dalamnya telah terwujud di Irak dan Sudan, Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah. Hingga hari ini, negeri-negeri tersebut masih dilanda konflik. Masih dalam laporan Kivunim ditulis, Suriah secara mendasar tidak berbeda jauh dengan Libanon yang terdiri dari faksi-faksi yang berbeda, kecuali dari segi pemerintahan junta militer yang berkuasa. Tapi konflik vertikal antara mayoritas Sunni dengan minoritas Syiah-Nushairiyah yang berkuasa mengindikasikan potensi konflik yang rumit. Memecah Suriah dan Irak berdasar kelompok ras atau agama menjadi negara-negara kecil yang indipenden di masa depan di kawasan Timur. Suriah kelak akan menjadi negara-negara kecil sesuai dengan komponen ras dan sekte di dalamnya.
Yang jelas. Skenario Yinon sedang berjalan sesuai dokumen kebijakan yang ditulis pada 1996 oleh Richard Perle dan Kelompok Studi mengenai “Strategi Baru Israel Menuju Tahun 2000” untuk Benjamin Netanyahu, perdana menteri Israel waktu itu, bernama dokumen “Clean Break”.
Seperti yang telah diungkapkan diatas, artikel yang bertajuk Peters’ “Blood borders” map dan dimuat dalam laman The Armed Forces Journal membuktikan skenario Yinon dan dokumen Clean Break juga menguatkan pergerakan ISIS hingga saat ini.
Analisa Sultana Afroz, seorang penulis yang mengajar di University of the West Indies, Mona Campus, Jamaica mengungkapkan,
"Live messages and pictures of Sunni ISIS fighters dressed in Islamic attire circulated through social media network such as You Tube ostensibly authenticate the hostile agenda of the ISIS fighters to dismember Iraq by carving out a Sunni Islamic Caliphate stretching from Syria to the western Sunni heartlands in Anbar Province in Iraq. The usage of the state seal of the Prophet Muhammad (SAW) on the ISIS flag as well for its Coat of Arms seemingly validates that ISIS are Sunni fighters."
"The present ISIS lightning war in Iraq is the creation of an illusion to initiate the fulfillment of a pre-planned agenda of the West in close alliance with Israel to redraw the map of the entire region as the “New Middle East.” This is the Yinon Plan at work, which aims at the balkanisation of the Middle East and North Africa (MENA) Region into smaller and weaker entities"
"The chaos, destruction and devastation caused by the ISIS in its process of establishing the Sunni Islamic Caliphate in Iraqi and Syrian territories is the realisation of the intended policy of the US and the West to change public perception that the “War on Terror” was never a war waged by the West against Islam but a “war within Islam” along religious, ethnic and sectarian lines in the Islamic world"
"The division of Iraq into three separate entities had also been strongly advocated by US Vice-President Joe Biden. Biden’s heritage and an analysis of his electoral constituents will help understand better his support for the fragmentation of Iraq under the Yinon Plan"
Di pusaran perkara Yinon bisa kita tangkap bahwa musuh sesungguhnya bukanlah individu maupun kelompok yang terpengaruhi untuk melakukan tindakan teror, melainkan the puppet master yang bergerak di belakangnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H