Belakangan ini mata telinga emosi tercurah melihat permainan saham divestasi Freeport. Mantan anggota Tim Anti Mafia Migas dan ekonom Gajah Mada, Fahmi Radhy mengungkapkan dalam kolom Tempo, 8 Desember 2015 terkuaknya skandal persekongkolan perpanjangan kontrak karya (KK) Freeport semakin menorehkan noda kelam dalam perjalanan panjang KK Freeport di Indonesia. Menurut hasil rekaman percakapan—yang diduga dilakukan antara Ketua DPR Setya Novanto, pengusaha Muhammad Riza Chalid, dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PT FI) Maroef Sjamsoeddin—terungkap bahwa skandal persekongkolan perpanjangan KK Freeport dilakukan dengan mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden untuk mendapatkan saham Freeport.Â
Sejak semula dia memang seekor ayam, yang ditetaskan oleh induk ayam hasil persetubuhan dari ayam jantan dan betina. Ia bermula dari bukan apa apa pun, berubah jadi telur dan menetas jadilah ia memiliki hidup individu sebagai seekor anak ayam. Ia menetas dalam komunitas ayam. Hidup memberinya kaki yang mampu berjalan dan menjelajah bumi mencari makan, tetapi juga memberikan pengetahuan pengetahuan baru tentang segala sesuatu yang berbeda dan maha luas seperti tak berbatas.
Ayam itu bernama Multinasional!
Ia menyeberangi tepi batas disiplin ilmu semudah menyeberangi tapal batas kandang (baca: nasional). Setiap usaha serius untuk memahami apa yang ia lakukan atau memahami makna dari apa yang ia sedang lakukan mencakup penjelajahan dalam ilmu politik, sosiologi, dan psikologi selain ilmu ekonomi. Sebab ia berani, kuat, dan baru, maka ia memperoleh aneka-ragam tanggapan yang keras, dan ia menjadi kontroversial!
Ah, sudahlah..persoalan yang sesungguhnya bahwa orang-orang yang mengelola Multinasional (global corporations) adalah orang pertama dalam sejarah yang memiliki organisasi, teknologi, uang, dan ideologi untuk mencoba mengelola dunia sebagai satu kesatuan terpadu. Orang yang bermimpi menguasai jagad pada masa sebelumnya hanyalah penipu diri atau ahli mistik. Saat Iskandar Agung menangis di tepi sungai sebab tak ada lagi daerah untuk ditaklukkan, kesedihannya tak lebih dari kebodohan pembuat petanya.
Saat batas-batas dunia yang dikenal semakin luas, maka deretan raja, presiden, jenderal, dan macam-macam orang kuat berusaha mendirikan imperium dengan skala yang semakin besar, akan tetapi tidak ada yang berhasil mewujudkan fantasi pribadi itu menjadi realitas publik lestari. Sistem Napoleonik, Kekuasaan Seribu Tahun Hitler, Kemaharajaan Inggris, dan Pax Americana memang meninggalkan jejak, namun tak satu pun berhasil menciptakan sesuatu yang menyerupai organisasi Multinasional untuk mengatur planet ini, yang dapat bertahan selama satu generasi sekalipun. Dunia ini kelihatannya tidak dapat dijalankan dengan pendudukan militer, meskipun impian semacam itu masih hidup!
Para manajer Multinasional memproklamirkan keyakinan diri bahwa dimana penaklukkan gagal, bisnis dapat berhasil. Seorang organisator Club of Rome dan salah satu direktur Fiat mengatakan, "Multinasional adalah agen paling kuat bagi internasionalisasi masyarakat manusia."
Lahirnya Multinasional melahirkan revolusi organisasi yang implikasinya bagi manusia modern sedalam revolusi industri dan akhirnya negara-kebangsaan (nation-state) itu sendiri. Satu kata kunci semangat kaum globalis dalam menyanyikan kidung pemujaan terhadap Multinasional sebagai 'alat pembangunan dunia', 'kekuatan tunggal bagi perdamaian', 'wakil terkuat untuk internasionalisasi masyarakat manusia', atau 'prolog sebuah simponi dunia yang baru' sudah tentu berkaitan dengan kelemahan tradisional para pedagang untuk melebih-lebihkan. Saya pun turut mengkritik atas soal tersebut, apakah perekonomian dunia yang rasional terpadu yang mereka gembor-gemborkan adalah 'resep kuliner' bagi suatu politik otoriter tahap baru, suatu perang kelas internasional yang luas, dan yang pada akhirnya, merupakan tindakan bunuh-diri secara ekologis?
Rupanya perang telah menyisakan biji bijian yang terabaikan, hingga tumbuh menjadi monumen pengingat bahwa di pematang ladang itu cinta pernah lahir prematur dan kemudian mati suri. Kita pernah membangun mimpi di rumah kayu di kota itu, yang kemudian hancur menjadi beling beling tajam yang mejauhkan dari rabaan tangan.
Cukup sudah untuk perpanjangan kontrak freeport!
Â
Keterangan foto:Â
Penandatanganan bertempat di Departemen Pertambangan, dengan Pemerintah Indonesia diwakili oleh Menteri Pertambangan Ir. Slamet Bratanata dan Freeport oleh Robert C. Hills, Presiden Freeport Shulpur dan Forbes K. Wilson, Presiden Freeport Indonesia, anak perusahan yang dibuat untuPenandatanganan bertempat di Departemen Pertambangan, dengan Pemerintah Indonesia diwakili oleh Menteri Pertambangan Ir. Slamet Bratanata dan Freeport oleh Robert C. Hills, Presiden Freeport Shulpur dan Forbes K. Wilson, Presiden Freeport Indonesia. Disaksikan pula oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Marshall Green. (11 April 1966) (sumber:Â The Netherlands National News Agency (ANP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H