Suara tangis anak bayi itu terus menggema di telinga. Meski sudah di susui Ibunya tetap saja dia merenggek meminta asupannya lagi. Meski terlihat lelah si Ibu masih tetap berusaha memberikan tetesan ASI yang memang masih keluar sedikit.
Maklum baru beberapa hari pulang ke rumah setelah pulang dari rumah bersalin. Kolosrum masih keluar dalam beberapa hari. Sisanya kita harus bersabar dalam menghadapi tangis bayi yang terkadang bisa membuat stress.
Hidup dan kehidupan manusia memang bervariasi ada yang tahan terhadap tangisan bayi, ada pula memaklumi akan keadaan bahkan sisanya tak akan pernah tahan akan suara berisik yang dikeluarkan oleh bayi. Jika Sang Ibu tahan terhadap keadaan ini tapi mungkin suami tak tahan uji dalam hal ini. Atau bahkan sebaliknya. Lebih terpaksa lagi jika masih tinggal di lingkungan keluarga. Nyap-nyap komentar tentang tangis akan terus berkumandang dalam keseharian itu.
Sisi seorang Suami mulai terusik terhadap kelelahan dan kantuk tak bisa dibendung setelah siang mesti bekerja dan malam mesti bergantian menggantikan popok jabang bayi. Namanya juga baru punya anak ya pak? , jadi memang harus benar-benar tahan uji. Keduanya memang harus bekerja sama demi terciptanya hidup sehat untuk bayi.
Lah wong kalian berdua juga toh yang menginginkan buah hati? ya kudu sabar dalam beberapa minggu ini. Kurang-kurang tidur sedikit tidak apa-apa ya demi masa depan anak.
Jika sudah tak tahan, maka susu formula pun jadi penambah asupan si bayi. Mungkin untuk sementara tidak perlu memikirkan berapa biayanya yang penting tangisan bayi tertambal oleh susu. Banyak memang kasus seperti ini hanya karena bayi menangis tak berujung tanpa henti.
Mereka berfikir bahwa ASI dalam diri Ibu kurang hingga itu terus menerus meminta. Kedua tak tahan dengan keadaan akibatnya lelah dan kurang tidur. Dua dari sekian alasan tidak sabar dan bertahan untuk memberikan ASI secara eksklusif. Enam bulan pertama telah gagal.
Kali ini mencari refrensi susu formula, mungkin dalam benaknya semakin mahal harganya maka akan semakin baik pula untuk pertumbuhan sang bayi. Rupanya bangsa kita ini memang sudah terlalu konsumtif ya hingga harus mencekoki bayi dengan barang mahal.
Padahal jika terus menggali informasi soal susu buatan tersebut tak ada sama sekali bagusnya susu bubuk itu. Menurut sebuah riset ASI vs Susu Formula di negara maju bahwa susu buatan tersebut dianggap "rubbish product" terlalu banyak dalam proses pembuatannya hingga terjadilah proses kimiawi dan tetekbengeknya.
Hilangnya nutrisi dalam pembuatan susu tersebut membuat ahli pabrik menambahkan asupan-asupan lain seperti AA, DHA, kolin dan macam istilah lain di masukkan jadi satu. Di proses kembali secara kimiawi. Jadilah merk susu ternama dengan harga melambung tercantum istilah-istilah dalam susu formula.
Setelahnya ia bangga akan susu mahal dan membandingkan dengan anaknya bahkan penghasilannya tanpa melihat sisi hati anak. Sungguh ironis. Jika mau menggali lagi dalam sebuah riset tentang wabah bakteri yang terkandung dalam susu mahal tersebut tak pernah dipublikasikan, inilah-alasan-riset-susu-formula-tidak-dipublikasikan.
Dengan kebanggannya tersebut ia tak sempat berfikir bahwa ASI lah memegang kedudukan tertinggi di banding susu buatan berolah bubuk. Terkadang proses menyusui itu harus tahan terhadap ocehan mulut-mulut di sekitarnya. Agar berhasil bersikaplah cuek dan tak peduli dengan mulut lain.
Pak-Pak tolong berfikirlah sebelum memberikan yang tak baik untuk generasi. Karena ASI bukan buatan manusia. Dan jangan pernah mengeluh dan menyesal jika susu formula mahal akan sulit di dapat hingga harus merogoh kantong terdalam. Dengan alasan uang habis untuk susu rasanya tak sportif. Dari awal bukankan atas kemauannya, bukan bayi lho yah karena ia tak pernah meminta susu formula.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H