Tak banyak diketahui oleh orang banyak bahwa pada tanggal 27 Oktober 1945 Mallaby menulis surat kepada istrinya. "Panglima di Jakarta merusakkan segalanya dengan menyebarkan pamflet berisi ultimatum dari pesawat yang tinggal landas dari Batavia tanpa memberitahukan isinya lebih dulu kepadaku. Pamflet ini adalah tamparan yang sangat memalukan bagiku sebagai perwira tinggi."
Akhir dari tragedi ini telah kita ketahui bersama. Pada tanggal 28 Oktober 1945 jam 5 sore pecah perang antara rakyat di Surabaya melawan tentara Mallaby setelah sebelumnya sempat terjadi insiden tembak-menembak secara sporadis di penjuru kota. Alhasil kekuatan Mallaby yang terpecah-pecah dipenjuru kota dengan mudah dilibas oleh kekuatan rakyat di Surabaya. Beberapa sumber menuliskan bahwa tentara elit Inggris tersebut disapu bersih oleh pemuda Surabaya meskipun jatuh korban di pihak Republik sangat banyak. Meskipun sebagian besar pemuda di Surabaya pada saat itu masih banyak yang belum tahu cara memegang senjata dan belum tahu cara melempar granat.
Di saat-saat kritis, Mallaby meminta bantuan hingga Letjen Sir Philip Christinson Panglima Pasukan Sekutu Asia Tenggara yang bertempat di Singapura segera memberi perintah "Ajak Soekarno dan Hatta ke Surabaya. Lewat bantuan mereka, minta pasukan Republik untuk melakukan gencatan senjata.
Tanggal 29 Oktober 1945 jam 11 siang, Soekarno, Hatta dan Menteri Amir Sjarifudin mendarat di Morokrembangan atas permintaan Letjen Sir Philip Christinson menggunakan pesawat RAF (Royal Air Force). Sore hari di Gubernuran tampak raut wajah Mallaby sangat gelisah. Hingga disepakati gencatan senjata sore itu juga. Pembicaraan gencatan senjata sore itu kemudian berlanjut esoknya antara pimpinan Republik dengan Mayor Jendral DC Hawtorn baru tiba di Surabaya pagi 30 Oktober 1945.
Kesepakatan antara Bung Karno dengan Mayjen DC Hawtorn telah tercapai. Perundingan selesai pada 30 Oktober 1945 jam 13.00. Untuk menyebarkan hasil kesepakatan tersebut keseluruh penjuru kota, dibentuklah anggota Biro yang terdiri dari pihak Inggris dan Republik. Berdasarkan kesepakatan, anggota Biro Kontak beriring-iringan dalam 8 mobil menuju tempat ptertempuran yang masih terjadi dengan tujuan menghentikan tembak menembak.
Mobil pertama berisi polisi dengan bendera Merah putih, mobil kedua berisi Residen Soedirman dan Mallaby, Mobil ketiga berisi Roeslan Abdulgani, Mohammad dan dua perwira Inggris dan disusul anggota-anggota Biro Kontak lainnya.
Lindeteves Jalan Pahlawan (Bank Mandiri sekarang)
Gedung Internatio Jembatan Merah
Sesampai di Lindeteves jalan Pahlawan ternyata tembak menembak sudah mereda. Konvoi Biro Kontak melanjutkan perjalanan ke Gedung Internatio. Sesampai di depan Gedung Internatio sekitar jam 17.15 keadaan sudah remang-remang karena asap mesiu dan matahari yang mulai jatuh ke ufuk Barat. Beberapa letusan senjata masih terdengar. Rakyat beramai-ramai mengerumuni mobil rombongan Biro Kontak dan meminta mereka pasukan Inggris yang berada di Gedung Internatio untuk menyerah. Menghadapi tersebut Residen Soedirman, Soengkono dan Doel Arnowo secara bergantian menjelaskan bahwa tuntutan tersebut sulit dipenuhi karena kedua pihak telah terikat dengan perjanjian Soekarno-Hawtorn.