Mohon tunggu...
Wayudin
Wayudin Mohon Tunggu... Guru - Pengabdian tiada henti

Seorang guru SMP swasta di kota Medan,tertarik dengan fenomena kehidupan masyarakat dan tak ragu untuk menyuarakan pendapatnya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru (Juga) Korban dalam Pendidikan Daring

23 Juli 2020   20:51 Diperbarui: 23 Juli 2020   20:43 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pendidikan daring (kabar-banten.com) 

Sore tadi, sambil menunggu redanya hujan yang mengguyur Medan, saya menghabiskan waktu dengan membaca beberapa berita. Tanpa sengaja, saya membaca sebuah tulisan yang dibuat oleh sesama Kompasianer, yakni Syarifah Lestari yang berjudul "Adakah Wali MUrid Lain yang Sama Menderitanya Denganku?" Tulisan itu tentu saja berisi keluh kesahnya sebagai seorang wali murid yang kelimpungan dalam menghadapi pembelajaran daring di tahun jaran yang baru ini.

Jika beliau berkeluh kesah dalam sudut pandang sebagai seorang wali murid, maka izinkan saya melalui tulisan ini untuk berkeluh kesah pula dalam sudut pandang sebagai seorang guru. 

Dalam pendidikan daring ini sebenarnya saya "sangat kecewa" karena banyaknya anggapan masyarakat di luar sana yang iri pada kami sebagai seorang guru.Profesi kami dianggap "kebal corona" karena meskipun dalam situasi seperti ini (pendidikan daring) gaji guru tetap berjalan sebagaimana biasanya. 

Bahkan memasuki tahun ajaran baru yang penuh keprihatinan inipun, wali murid masih dibebani dengan sejumlah pengeluaran yang berkaitan dengan pendidikan buah hatinya di luar pengeluaran untuk kuota internet serta waktu yang harus disisihkan untuk bisa menemani pembelajaran daring dari si buah hati.

Yang bisa saya katakan adalah, anggapan masyarakat tersebut hanyalah "kulit luar" dari kehidupan kami sebagai seorang guru. Di luar, kami nampak hanya bersantai ria dan dengan mudahnya mengirimkan tugas-tugas serta video pembelajaran kepada siswa melalui grup wa dan kemudian tinggal menunggu umpan balik (pengumpulan tugas) dari siswa tanpa diketahui apakah tugas tersebut akan dinilai atau tidak. 

Jikalau dibentuk grup wa yang jumlahnya seabreg, guru juga jarang memberikan respon alias slow respon. Namun, apakah masyarakat tahu bagaimana perjuangan seorang guru dalam mempersiapkan tugas dan materi yang akan dikirimkan kepada seorang siswa? 

Bagaimana perjuangan seorang guru dalam menciptakan video pembelajaran yang menarik agar anak-anak didiknya tidak membanding-bandingkan mereka dengan aplikasi belajar online seperti "Ruang Guru" dan sejenisnya yang kini tengah gencar berpromosi?

Saya dapat dengan yakin mengatakan "TIDAK". Masyarakat pastinya tidak tahu dan mungkin tidak mau tahu karena menganggap bahwa itu semua sudah menjadi kewajiban dari seorang guru. 

Sebagian besar guru-guru di Indonesia tidak memiliki pengalaman mengajar dalam situasi seperti saat ini, bahkan sebagian besar guru sangat jarang bersentuhan dengan hal-hal berbau teknologi sebelumnya. 

Hal ini bukan dikarenakan guru tersebut malas, melainkan banyak hal-hal administratif yang harus dipersiapkan oleh seorang guru sebelum mengajar di satu kelas, sebut saja RPP, Prota, Prosem, alat peraga, belum lagi instrumen penilaian. INGAT!! RPP satu lembar baru berlaku sejak era Nadiem sebagai Mendikbud.

Untuk menghasilkan sebuah video pembelajaran, guru-guru mau tidak mau harus menguasai aplikasi pengedit video seperti Kinemaster ataupun Filmora, serta aplikasi-aplikasi lain seperti powerpoint, zoom, google classroom yang bisa dikatakan sangat jarang digunakan dalam dunia pendidikan dalam kondisi normal. 

Lantas dalam melaksanakan pembelajaran daring, apakah hanya siswa yang menghabiskan kuota internet sedangkan guru tidak? Perlu untuk diketahui bersama bahwa tidak semua sekolah sudah menyediakan fasilitas wifi termasuk untuk gurunya sendiri sehingga dalam pembelajaran daring, guru-guru mau tidak mau harus menggunakan kuota pribadinya sendiri, sementara tidak ada subsidi kuota dari sekolah untuk guru, bahkan beberapa sekolah turut memotong tunjangan transportasi guru-gurunya ketika bekerja dari rumah.

Memasuki tahun ajaran baru, guru-guru kembali tak kalah disibukkan dengan berbagai pelatihan agar dapat melakukan pembelajaran daring secara lebih maksimal dan untuk sekarang ini, meskipun siswa masih belajar dari rumah, namun sebagian guru-guru di Medan telah bekerja dari sekolah. 

Apakah masih layak dikatakan bahwa kehidupan seorang guru di masa pandemi ini sangat menyenangkan? JIka wali murid mengeluhkan sulitnya mendampingi anak ketika pembelajaran daring, pembelajaran daring tidak efektif dan boros biaya, pembelajaran daring membuat anak-anak tidak lepas dari gawai, lantas apakah guru tidak mengalami semua hal tersebut? 

Bahkan bisa dikatakan bahwa dengan adanya pembelajaran daring, jam kerja guru menjadi tidak menentu bahkan bisa mencapai tengah malam karena harus mengabsen siswa tiap jam pelajaran, memberikan tugas, mempersiapkan materi dan video pembelajaran, dan melayani pertanyaan baik dari murid maupun walinya bahkan hingga malam menjelang. Apakah dengan kesibukan seperti itu, seorang guru TIDAK PANTAS diberikan honor secara normal?

Yang lebih saya anggap sebagai pelecehan terhadap profesi guru di masa pandemi ini adalah beredarnya meme yang mengisahkan orang tua murid yang membayar SPP dengan cara mengambil foto uangnya dan kemudian mengirimkannya melalui whatsapp kepada gurunya dengan alasan semua materi dan tugas juga dikirimkan melalui whatsapp. 

Bila masyarakat merasa keberatan membayar SPP ketika pembelajaran berlangsung  dengan metode seperti itu (hanya mengirimkan  bahan belajar melalui whatsapp) dan mereka juga dapat menjadi guru bagi anak-anak tercintanya, maka saya dengan senang hati mempersilakan mereka untuk mendidik anak-anak mereka sendiri sehingga mereka juga mendapatkan pengalaman sesungguhnya bagaimana menjadi seorang guru.

Dalam situasi seperti ini, yang menjadi korban bukan hanya wali murid dengan berbagai kendalanya, tetapi juga guru itu sendiri. Lantas bagaimana dengan guru yang juga memiliki anak yang masih bersekolah, bukankah mereka juga harus menjalani pembelajaran daring bersamaan dengan kesibukannya dalam mempersiapkan materi pembelajaran untuk anak didiknya sendiri dan kemudian disibukkan dengan menjawab pertanyaan wali murid yang seringkali mempertanyakan hal yang sama berulang-ulang padahal sudah ditanggapi pada percakapan sebelumnya?Jadi, melalui tulisan ini, saya juga ingin bertanya " Adakah Guru Lain yang Sama Menderitanya Denganku dalam Pembelajaran Daring Ini?" Salam.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun