Ingatkah anda dengan demam “Baby Shark” sempat melanda sebagian masyarakat Indonesia? Bukan hanya anak-anak, orang dewasa juga turut menggandrungi lagu berirama ceria yang diikuti dengan gerakan yang sederhana dan mengundang senyum tersebut. Adalah Pinkfong yang telah menciptakan lagu yang akhirnya mewarnai dunia anak-anak Indonesia.
Selama ini, anak-anak Indonesia dipaksa untuk dewasa lebih cepat dengan menyanyikan lagu-lagu pop dewasa sebagai akibat dari tidak tersedianya lagu anak-anak dalam blantika musik nasional. Selain Abang Tukang Bakso hingga Menabung yang diciptakan oleh Titiek Puspa, praktis tidak ada lagu anak-anak lain yang dapat dijadikan idola bagi anak-anak.
Pinkfong sendiri merupakan merek global asal Korea Selatan yang terkenal dengan berbagai video dan aplikasi lucu yang bertujuan untuk membantu anak-anak dalam belajar. Secara global, lagu yang bercerita tentang bayi hiu dan keluarganya tersebut sudah ditonton jutaan kali.
Seri aplikasi mobile Pinkfong sendiri termasuk aplikasi yang paling banyak diunduh baik di App Store ataupun Google Play Store. Mewabahnya lagu yang memiliki klip penuh warna khas dunia anak-anak tersebut, diikuti dengan Baby Shark Challenge yang menantang penggemarnya untuk ikut menirukan gerakan tarian sebagaimana yang ada di dalam video klipnya. Selain Baby Shark, Pinkfong juga menawarkan lagu-lagu lainnya yang memang ditujukan khusus untuk putra-putri tercinta.
Sebelum Baby Shark, dunia anak-anak Indonesia dikuasai oleh serial “Upin & Ipin” serta “Pada Zaman Dahulu” di samping beberapa serial anime lain yang rutin ditayangkan di stasiun televisi swasta nasional.
Selain ajang pencarian bakat dewasa yang dimodifikasi dengan kata “junior” sehingga berubah menjadi tayangan anak-anak, beberapa sinetron yang mayoritas dibintangi anak-anak, serta acara petualangan yang dilakukan oleh sekelompok anak-anak, selama ini, dunia hiburan anak-anak Indonesia memang dikuasai acara impor. Beberapa animasi lokal mencoba bangkit dan bersaing, namun sepertinya masih harus banyak belajar agar dapat lebih menarik di mata pemirsanya.
Penulis sendiri meskipun tidak lagi berusia muda namun masih menggemari film animasi anak-anak, terutama kisah mengenai sepasang bocah berkepala plontos yang berasal dari negeri jiran Malaysia. Dari sekian banyak film animasi, dapat dikatakan bahwa Upin & Ipin mengingatkan penulis pada masa kanak-kanak yang penuh keceriaan dan kepolosan yang tidak dibuat-buat. Selain menampilkan keragaman masyarakat Malaysia, Upin & Ipin juga mengajarkan banyak nilai-nilai budi pekerti yang sejatinya sejalan dengan pendidikan karakter yang saat ini sedang digencarkan oleh pemerintah Indonesia.
Jika kita mengesampingkan beberapa setting yang menampilkan ciri khas Malaysia, termasuk penggunaan Bahasa Melayu, maka sebenarnya serial yang diproduksi oleh Les’ Copaque tersebut terasa sangat “Indonesia”. Demikian juga cerita fabel dalam Pada Zaman Dahulu yang dibuat oleh rumah produksi yang sama dengan Upin & Ipin, yang menampilkan Kancil sebagai tokoh utama sebagaimana cerita fabel lokal dan diakhir cerita selalu disisipkan peribahasa yang penuh makna. Sayangnya kini dalam pelajaran Bahasa Indonesia di bangku sekolah, peribahasa sebagai warisan luhur nenek moyang Bangsa Indonesia justru mulai dilupakan dan digantikan dengan materi memahami serta mancari ide pokok dari tiap wacana.
Tayangan ramah anak adalah suatu keharusan karena pada saat ini sebagian besar acara yang ditayangkan tidak cocok untuk dinikmati anak-anak. Anda mungkin pernah merasakan dilema ketika menonton televisi bersama buah hati tercinta. Serial India, kontes dangdut dengan komentar dan candaan berkepanjangan, serta sinetron yang menggambarkan kisah percintaan berikut prahara keluarga dengan tokoh protagonis dan antagonis yang memiliki watak kontras sangat ekstrim(super baik-sabar dan super jahat) menghiasi tayangan sebagian besar stasiun televisi swasta sementara stasiun lainnya menampilkan rangkaian berita ataupun talkshow yang tentunya berat dicerna oleh anak-anak.
Menciptakan tayangan yang tepat untuk anak-anak dapat dikatakan sebagai pekerjaan yang gampang-gampang susah. Mengingat sifat anak-anak yang masih sederhana dan tidak banyak menuntut, tentunya akan mudah dalam menelurkan film bergenre anak-anak. Cukup menjual bentuk tokoh yang unik dan lucu, dipadukan dengan warna yang menarik, dengan suara tokoh dan musik latar yang menggemaskan serta jalan cerita yang kadang di luar akal sehat, maka jadilah sebuah tayangan anak-anak.
Masalah akan menjadi lebih rumit ketika kita bermaksud menanamkan nilai-nilai budi pekerti sehingga film tersebut bukan hanya sekadar dinikmati tapi juga mendidik sehingga tercipta satu generasi yang berakhlak dan berbudi pekerti luhur sebagaimana yang dicita-citakan pendidikan nasional. Dengan demikian, film anak-anak berpotensi untuk disinergikan dengan dunia pendidikan formal dan dapat menjadi salah satu media pembelajaran yang efektif dalam menanamkan nilai-nilai budi pekerti kepada generasi penerus bangsa.
Kepolosan khas anak-anak yang ditampilkan secara wajar sehingga tidak tampak seperti dipaksakan dan diikuti dengan ide cerita yang lekat dengan dunia anak-anak, seperti permainan (tradisional), makanan kesukaan, lingkungan sekitar, dunia sekolah, serta tak lupa disisipi dengan nilai-nilai kearifan lokal seperti halnya peribahasa sehingga nilai-nilai luhur tersebut dapat diwariskan turun temurun, dapat menjadi syarat utama tayangan yang tepat untuk anak-anak.
Hal-hal seperti ini harus benar-benar diperhatikan karena tidak semua film animasi layak ditonton anak-anak. Film yang mengisahkan perseteruan antara seekor kucing dan tikus (Tom & Jerry) seringkali menampilkan adegan kekerasan yang tanpa disadari dapat mengajarkan anak-anak untuk menyakiti orang-orang di sekitarnya. Crayon Shinchan sebagai contoh lainnya juga harus turut diwaspadai karena kenakalan yang melebihi batas wajar anak seusianya dan cenderung “genit”.
Shaun The Sheep yang tayang pada 21 Juli 2017 mendapat teguran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) karena menayangkan adegan ciuman bibir antara pria dan wanita. Sinetron Best Friend Forever bergenre remaja yang tayang di salah satu stasiun televisi swasta juga bernasib sama (ditegur KPI) karena sarat adegan perundungan (bullying). Contoh-contoh tersebut menunjukkan tidak semua tayangan anak-anak ramah untuk disaksikan pemirsanya karena rentan terselip nilai-nilai yang menyimpang yang dapat memengaruhi kondisi psikologis anak-anak.
Serial Adit & Sopo Jarwo yang diproduksi lokal mungkin bisa sedikit melawan hegemoni animasi asing. Akan tetapi penulis menilai Adit & Sopo Jarwo terlalu ideal dalam menggambarkan kehidupan anak-anak Indonesia. Sifat polos dan kadang usil yang merupakan natur anak-anak tidak terlalu terlihat jelas.
Ditambah dengan situasi perkampungan yang “sangat rapi dan teratur” sehingga menimbulkan tanda tanya pada penulis, apakah memang sedemikian teraturkah kondisi perkampungan di Indonesia? Kondisi yang terlalu ideal tersebut menjadikan penulis tidak memiliki perasaan “gue banget” sebagaimana ketika menonton Upin & Ipin sehingga rasanya agak sulit untuk menyatu dengan cerita yang disampaikan.
Indonesia sebenarnya memiliki “Si Unyil” yang telah lama mati suri dan dulu pernah mewarnai masa kecil sebagian masyarakat Indonesia. Zaman-zaman ketika TVRI masih menjadi satu-satunya sumber hiburan di tanah air menjadikan Si Unyil dan kawan-kawannya sangat dinantikan kehadirannya.
Menciptakan tokoh panutan yang baru tentunya bukan perkara mudah. Pinkfong sendiri menciptakan karakter bayi hiu setelah berdiskusi selama berbulan-bulan mengenai karakter favorit anak-anak. Pilihan kemudian jatuh pada karakter hewan dan salah satunya adalah bayi hiu. Diikuti dengan warna yang menarik, syair yang sederhana dengan sedikit variasi dan irama yang berulang, lahirlah lagu Baby Shark yang fenomenal tersebut.
Daripada menciptakan tokoh panutan yang baru bagi anak Indonesia, bukankah akan lebih mudah dan murah jika membangkitkan kembali “roh” Si Unyil? Modifikasi tentu saja dibutuhkan agar tokoh yang telah berusia puluhan tahun tersebut dapat menggambarkan kehidupan sosial budaya anak Indonesia sesuai dengan kondisi saat ini. Figur Unyil yang sejatinya berupa boneka tangan dapat diubah dalam bentuk animasi sehingga akan lebih mudah dalam membuat alur cerita yang sesuai dengan imajinasi anak-anak yang tidak terbatas.
Selain tayangan, lagu anak-anak juga menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi para musisi dan pegiat industri kreatif nasional. Dalam setiap ajang pencarian bakat anak-anak, sebagian besar pesertanya justru membawakan lagu pop dewasa karena terbatasnya persediaan lagu anak-anak yang bermutu. Tidak mengherankan jika ketika muncul lagu seperti Baby Shark, masyarakat merespon dengan sangat antusias.
Apabila tersedia tayangan yang ramah anak, tentunya kita akan terhindar dari dilema yang terus-menerus menghantui seperti saat ini. Acara nonton bersama keluarga pada jam tayang utama (prime time) tentunya tidak akan dihabiskan dengan sibuk gonta-ganti siaran demi mendapatkan tayangan yang sesuai.
Meskipun nantinya lahir suatu tayangan yang ramah anak, pendampingan orang tua tetap merupakan suatu keharusan agar orang tua dapat menjelaskan dan menekankan maksud dan nilai yang terkandung dalam tayangan yang disaksikan oleh putra-putri tercinta. Selamat menonton dan semoga anda dapat menemukan tayangan yang sesuai untuk seluruh anggota keluarga. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H