Mohon tunggu...
Wayudin
Wayudin Mohon Tunggu... Guru - Pengabdian tiada henti

Seorang guru SMP swasta di kota Medan,tertarik dengan fenomena kehidupan masyarakat dan tak ragu untuk menyuarakan pendapatnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

LGBT, Benarkah Produk Asing?

21 Mei 2020   19:14 Diperbarui: 21 Mei 2020   19:08 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : gilangnews.com

Tidak dapat disangkal bahwa LGBT menjadi topik yang selalu hangat dibicarakan di tengah masyarakat. Namun seringkali isu LGBT ini disangkutpautkan  sebagai agenda tersembunyi pihak asing yang ingin melihat Indonesia terkotak-kotak. Benarkah demikian?

Pendapat bahwa LGBT merupakan salah satu produk pihak asing ataupun pihak barat bukanlah jargon baru. Namun, sebelum berpolemik lebih jauh, maka ada baiknya kita  menelusuri kembali jejak LGBT dalam sejarah budaya bangsa Indonesia sendiri. 

LGBT sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam masyarakat nusantara. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa budaya bangsa kita yang menunjukkan eksistensi LGBT sejak jaman kerajaan-kerajaan dulu. 

Sebagai contoh, mungkin sebagian masyarakat pernah mendengar mengenai Serat Centhini yang disebut juga Suluk Tambanglaras yang dianggap sebagai salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru namun tidak mengetahui secara rinci apa isi dari suluk yang digubah atas kehendak Sunan Pakubuwana V tersebut. 

Suluk yang memiliki dua belas jilid tersebut berisi kisah perjalanan putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran Pekik dari Surabaya. Serat Centhini dapat dikatakan sebagai kamus lengkap budaya Jawa karena berisikan pemikiran masyarakat Jawa, adat istiadat, primbon, agama, hingga menyangkut hubungan suami istri. 

Pada jilid V dikisahkan perjalanan Cebolang bersama empat orang sahabatnya. Petualangan Cebolang bukanlah petualangan biasa, namun diwarnai dengan eksplorasi seksual baik dengan wanita ataupun dengan laki-laki yang dijumpainya. 

Hal ini dikarenakan Cebolang memiliki wajah yang rupawan sehingga menarik oarang-orang untuk mendekatinya. Salah satu kisah yang menarik untuk disimak adalah ketika Cebolang bersama sahabat-sahabatnya menemui Adipati Daha yang kemudian meminta mereka untuk mengadakan pertunjukan kesenian. 

Sang Adipati ternyata tertarik dengan Nurwitri, salah satu sahabat Cebolang yang memiliki perawakan fisik mirip perempuan dengan gerakan yang gemulai. Usai pertunjukan, Nurwitri diminta untuk menghabiskan malam bersama Sang Adipati. 

Beberapa hari kemudian, Sang Adipati beralih pada Cebolang yang rupawan namun lebih maskulin dibandingkan Nurwitri dan dianggap lebih berpengalaman dalam permainan cinta. 

Hingga suatu malam Sang Adipati bertanya pada Cebolang, “ Mana yang lebih nikmat, ditunggangi atau menunggangi. Bagaimana perbedaannya?” Jawaban Cebolang yang menyatakan bahwa ditunggangi lebih nikmat membuat Sang Adipati rela “bertukar posisi” dan beliau merasakan sakit yang luar biasa hingga tidak bisa duduk keesokan harinya.

Lain lagi kisah Reog Ponorogo yang merupakan tarian khas dari daerah Jawa Timur. Topeng Reog yang beratnya mencapai 50 kg diangkat oleh seorang warok yang dianggap sebagai orang yang sakti hanya dengan menggunakan giginya. Untuk memelihara kesaktian warok, warok dilarang untuk berhubungan dengan wanita, sekalipun dengan istrinya sendiri. 

Oleh karena itu, warok biasanya ‘ditemani’ oleh gemblak, seorang remaja pria berusia antara 12 -16 tahun yang berwajah tampan dan berkulit bersih. Tak jarang terjadi adu kesaktian antar warok untuk memperebutkan gemblak idaman ataupun adanya praktik pinjam-meminjam gemblak diantara sesama warok.

Beralih ke masyarakat Bugis di Sulawesi, suku Bugis bahkan mengenal adanya lebih dari dua jenis kelamin, selain pria dan wanita, ada juga calalai alias perempuan maskulin dan calabai atau laki-laki feminim. 

Bahkan pemimpin kepercayaan tradisional Bugis sendiri merupakan kombinasi dari keempat gender tersebut. Dalam kenyataannya, praktik hubungan seksual bahkan memiliki istilah dalam bahasa Jawa di masa lampau seperti jinambu sebagai pihak yang pasif dan anjambu sebagai pihak yang pasif.

Beberapa contoh tersebut cukup membuktikan bahwa LGBT telah ada di bumi nusantara sejak lama, bahkan mungkin sebelum Indonesia terkontaminasi dengan asimilasi budaya-budaya yang dianggap berasal dari pihak asing. 

Perbedaan yang nampak jelas adalah masyarakat dulu dapat menerima keberadaan kaum minoritas tersebut di tengah-tengah mereka, bahkan warok merupakan tokoh yang disegani masyarakat karena kesaktiannya, berbeda dengan masyarakat sekarang yang seolah-olah ingin menghapuskan LGBT karena dianggap bertentangan dengan budaya bangsa. Bukankah dengan sikap masyarakat yang konfrontatif terhadap kehadiran LGBT justru membuat kita mundur ke jaman yang lebih primitif?

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengajak masyarakat agar melegalkan ataupun membenarkan adanya praktik-praktik LGBT dalam kehidupan sehari-hari, namun lebih kepada untuk membuka wawasan kita bahwa LGBT justru erat kaitannya dengan budaya bangsa Indonesia. Jikalau muncul seruan untuk menghentikan promosi praktik LGBT di Indonesia, apakah hal ini berarti kisah Cebolang dalam Serat Centhini harus dihapus, pertunjukkan Reog Ponorogo harus diboikot, dan masyarakat Bugis harus mengusir calalai dan calabai?  

Tentu bukan itu yang kita inginkan, karena selain kisah Cebolang, masih banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari Serat Centhini, praktik gemblak dalam Reog saat ini sudah jarang ditemui serta calalai dan calabai juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Bugis. Hal-hal tersebut malah memperkaya khasanah budaya nasional yang menjadi aset kebangggan bangsa Indonesia.  

Hal yang utama adalah bagaimana kita menyikapi kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat. Satu hal yang harus kita setujui bersama, yang kita perangi adalah praktik-praktik LGBT di masyarakat, bukan manusianya. Bagaimanapun mereka adalah warga negara yang dijamin hak-hak dasarnya oleh negara. 

Pelarangan siaran yang berbau LGBT oleh KPI mungkin bisa menjadi salah satu solusi. Namun lagi-lagi hal ini berada dalam area abu-abu. Bagaimana dengan penampilan Bunda Dorce yang notabene merupakan seorang transgender? Apakah penampilannya di televisi akan ikut diboikot karena dianggap mempromosikan LGBT?

Sebagai penutup, hendaklah kita bertindak sesuai peribahasa “manis jangan lekas ditelan, pahit jangan lekas dimuntahkan”. Terlalu naif jika menyalahkan pihak asing sebagai penyebar praktik LGBT di Indonesia. 

Bukan pihak asing yang ingin membuat bangsa kita terkotak-kotak, tapi kita sendirilah yang melakukannnya. Tanpa disadari kita membuat kelompok-kelompok dalam masyarakat, kelompok normal ataukah LGBT. Apakah di balik isu LGBTini terdapat agenda tersembunyi dari pihak asing, atau malah dari pihak bangsa kita sendiri, misalnya untuk mengalihkan perhatian dari isu korupsi dan isu-su lainnya? Hanya waktulah yang bisa menjawabnya. Salam.     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun