Mohon tunggu...
Wayudin
Wayudin Mohon Tunggu... Guru - Pengabdian tiada henti

Seorang guru SMP swasta di kota Medan,tertarik dengan fenomena kehidupan masyarakat dan tak ragu untuk menyuarakan pendapatnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

LGBT, Benarkah Produk Asing?

21 Mei 2020   19:14 Diperbarui: 21 Mei 2020   19:08 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lain lagi kisah Reog Ponorogo yang merupakan tarian khas dari daerah Jawa Timur. Topeng Reog yang beratnya mencapai 50 kg diangkat oleh seorang warok yang dianggap sebagai orang yang sakti hanya dengan menggunakan giginya. Untuk memelihara kesaktian warok, warok dilarang untuk berhubungan dengan wanita, sekalipun dengan istrinya sendiri. 

Oleh karena itu, warok biasanya ‘ditemani’ oleh gemblak, seorang remaja pria berusia antara 12 -16 tahun yang berwajah tampan dan berkulit bersih. Tak jarang terjadi adu kesaktian antar warok untuk memperebutkan gemblak idaman ataupun adanya praktik pinjam-meminjam gemblak diantara sesama warok.

Beralih ke masyarakat Bugis di Sulawesi, suku Bugis bahkan mengenal adanya lebih dari dua jenis kelamin, selain pria dan wanita, ada juga calalai alias perempuan maskulin dan calabai atau laki-laki feminim. 

Bahkan pemimpin kepercayaan tradisional Bugis sendiri merupakan kombinasi dari keempat gender tersebut. Dalam kenyataannya, praktik hubungan seksual bahkan memiliki istilah dalam bahasa Jawa di masa lampau seperti jinambu sebagai pihak yang pasif dan anjambu sebagai pihak yang pasif.

Beberapa contoh tersebut cukup membuktikan bahwa LGBT telah ada di bumi nusantara sejak lama, bahkan mungkin sebelum Indonesia terkontaminasi dengan asimilasi budaya-budaya yang dianggap berasal dari pihak asing. 

Perbedaan yang nampak jelas adalah masyarakat dulu dapat menerima keberadaan kaum minoritas tersebut di tengah-tengah mereka, bahkan warok merupakan tokoh yang disegani masyarakat karena kesaktiannya, berbeda dengan masyarakat sekarang yang seolah-olah ingin menghapuskan LGBT karena dianggap bertentangan dengan budaya bangsa. Bukankah dengan sikap masyarakat yang konfrontatif terhadap kehadiran LGBT justru membuat kita mundur ke jaman yang lebih primitif?

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengajak masyarakat agar melegalkan ataupun membenarkan adanya praktik-praktik LGBT dalam kehidupan sehari-hari, namun lebih kepada untuk membuka wawasan kita bahwa LGBT justru erat kaitannya dengan budaya bangsa Indonesia. Jikalau muncul seruan untuk menghentikan promosi praktik LGBT di Indonesia, apakah hal ini berarti kisah Cebolang dalam Serat Centhini harus dihapus, pertunjukkan Reog Ponorogo harus diboikot, dan masyarakat Bugis harus mengusir calalai dan calabai?  

Tentu bukan itu yang kita inginkan, karena selain kisah Cebolang, masih banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari Serat Centhini, praktik gemblak dalam Reog saat ini sudah jarang ditemui serta calalai dan calabai juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Bugis. Hal-hal tersebut malah memperkaya khasanah budaya nasional yang menjadi aset kebangggan bangsa Indonesia.  

Hal yang utama adalah bagaimana kita menyikapi kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat. Satu hal yang harus kita setujui bersama, yang kita perangi adalah praktik-praktik LGBT di masyarakat, bukan manusianya. Bagaimanapun mereka adalah warga negara yang dijamin hak-hak dasarnya oleh negara. 

Pelarangan siaran yang berbau LGBT oleh KPI mungkin bisa menjadi salah satu solusi. Namun lagi-lagi hal ini berada dalam area abu-abu. Bagaimana dengan penampilan Bunda Dorce yang notabene merupakan seorang transgender? Apakah penampilannya di televisi akan ikut diboikot karena dianggap mempromosikan LGBT?

Sebagai penutup, hendaklah kita bertindak sesuai peribahasa “manis jangan lekas ditelan, pahit jangan lekas dimuntahkan”. Terlalu naif jika menyalahkan pihak asing sebagai penyebar praktik LGBT di Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun