Mohon tunggu...
Wayudin
Wayudin Mohon Tunggu... Guru - Pengabdian tiada henti

Seorang guru SMP swasta di kota Medan,tertarik dengan fenomena kehidupan masyarakat dan tak ragu untuk menyuarakan pendapatnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pengemis Digital

21 Mei 2020   13:01 Diperbarui: 21 Mei 2020   13:01 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awalnya fenomena yang saya sebut sebagai pengemis digital hanya dijumpai satu-dua pada bagian kolom komentar yang saya baca di berita-berita dari media daring. Namun kini rasanya fenomena tersebut bak cendawan yang tumbuh subur di musim hujan.

Hampir setiap kolom komentar dari berita yang saya baca, terselip komentar yang bernada meminta pertolongan dari pembaca lainnya.

Saya sebenarnya bukanlah manusia yang tak punya rasa iba. Membaca komentar-komentar seperti itu sebenarnya membuat hati saya tergerak. Apalagi memang di saat sekarang ini, harus diakui bahwa banyak masyarakat yang terdampak baik langsung ataupun tidak.

Namun logika saya melarang untuk melakukan tindakan lebih jauh (baca mengirimkan bantuan ke nomor rekening yang tercantum dalam pesan meminta pertolongan tersebut). Ada beberapa argumen yang disampaikan oleh logika saya, yang menurut saya memang layak untuk dipertimbangkan.

1. Jikalau benar mereka sedang membutuhkan pertolongan, kondisi mereka belum benar-benar terpuruk karena mereka masih memiliki ponsel beserta kuota sehingga bisa mengakses berita dan mencamtumkan komentar.

Langkah-langkah orang yang posisinya terdesak tentu akan segera mencari bantuan ataupun menjual ponsel untuk dijadikan duit daripada sibuk berkomentar dan menunggu belas kasihan masyarakat yang lain.

2.  Fenomena yang ada pada saat ini adalah pengemis kaya raya. Masihkan kompasianer ingat bahwa pernah ditemukan gepeng (gelandangan-pengemis) yang tinggal di kamar hotel di malam hari? Ataukah gepeng yang berkeliaran dengan uang tunai jutaan rupiah? Atau bahkan gepeng yang memiliki kotak butut berisi logam mulia?

Membaca berita-berita seperti itu sungguh membuat hati saya bergetar. Saya yang bekerja mati-matian (maaf, agak lebai) pun tidak pernah hidup senyaman itu.

3. Bisa jadi orang-orang yang memposting komentar meminta dikasihani adalah orang yang oportunis. Memanfaatkan situasi seperti ini hanya untuk keuntungannya sendiri. Bayangkan saja bila ada 10 orang yang tergerak untuk memberikan bantuan senilai Rp 50.000/ orang, maka dalam sekejap Rp 500.000 sudah masuk ke rekeningnya.

Sungguh pekerjaan yang mudah dan cukup menghasilkan bukan? Dia hanya perlu menebar jaring komentar di beberapa berita daring dan tinggal ongkang-ongkang kaki menunggu dana masuk. Artinya dia memiliki passive income. Lagi-lagi jiwa ini memberontak jika memikirkannya.

Katakanlah 3 hal di atas hanyalah pikiran negatif dari logika saya dan ternyata mereka benar-benar dililit kesulitan. Apakah kita layak untuk mengucurkan dana bantuan? TETAP TIDAK! Pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah bahkan pemerintah desa sudah menyiapkan banyak bantalan pengaman sosial.

Hal pertama yang harus mereka lakukan adalah mendatangi Dinas Sosial ataupun melaporkan kondisi mereka ke Kepala Lurah ataupun Camat terdekat sehingga nama mereka bisa dimasukkan dalam daftar penerima bantuan. Jika memang kehilangan pekerjaan maka harus segera mendaftarkan diri dalam Kartu Prakerjanya pemerintah.

Tindakan mereka mengemis secara daring justru hanya memperburuk citra orang-orang yang benar-benar sedang mengalami kesulitan ekonomi akibat pandemi. Lain halnya kisah seorang mas-mas yang menangis di pinggir jalan untuk menjual blender bekas pakainya demi bisa membeli makanan.

Kisah-kisah seperti itu lebih menggugah saya untuk langsung memberikan pertolongan. Pengemis konvensional (pinggir jalan) seringkali dijumpai memiliki koordinator yang bertugas mendistribusikan mereka ke perempatan-perempatan jalan.

Bukan tidak mungkin bahwa pengemis digital juga memiliki koordinator tersediri. Mereka dibekali kalimat-kalimat yang menggugah hati pembaca dan tinggal menentukan, kolom komentar berita apakah yang menjadi sasaran mereka.

Untuk para donatur yang budiman, anda boleh tetap bersikap simpati dan empati terhadap kalangan masyarakat yang nasibnya tidak seberuntung kita. Namun pilihlah jalur yang lebih terpercaya, misalnya menyalurkan langsung ke panti asuhan, panti jompo, pemukiman kumuh alih-alih mengirimkan dana ke pengemis digital yang wujud kemiskinannya pun kita tidak tahu secara pasti.

Tentunya masih ingat dong dengan kisah kakek-kakek yang mengacu memiliki berpenghasilan minim setiap hari tapi memiliki rumah yang bertingkat? Jadi, waspadalah. Bukan hanya kegiatan belajar yang dilakukan secara daring, mengemis juga bisa. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun