Namun karena Akbar merasakan cinta orang tua yang lebih besar, maka pesan-pesan dari orang tuanya lah yang lebih didahulukan. Ia tidak jadi pergi ke Suriah dan kemudian pulang ke Indonesia. Keputusan itu memang keputusan terbaik yang diambil oleh Akbar.
Kemudian sahabat tersebut pulang dan menangis di pangukan ibunya. Ia pun mengadu kepada Ibunya bahwa Ia dilarang oleh Rasulullah untuk pergi berperang. Ibunya pun menenangkan, "Kamu harus tekun belajar membaca dan menulis -sebuah kegiatan yang jarang dilakukan pada masa itu- serta menghafal surat-surat Al-Qur'an dengan baik! Setelah itu, mari kita berangkat menghadap Rasulullah saw untuk mengetahui, bagaimana cara menggunakan potensi dan kemampuan yang kita miliki untuk berkhidmat kepada Islam dan kaum muslimin."
Pesan sang Ibu selain menenangkan, juga memotivasi Zaid untuk bisa melakukan kebaikan-kebaikan yang lain, sesuai potensinya. Dengan cepat Ia memiliki kemampuan menulis, bahkan saat perang badar usai, Ia telah mampu menghafal 17 surat dalam Al-Quran.
Saat kembali menemui Rasulullah, Ia pun diberikan tugas penting, seperti mempelajari bahasa Ibrani, Suryani dan berbagai bahasa lainnya. Sehingga dengan kemampuan bahasanya yang tinggi, Ia ditugaskan untuk melakukan diplomasi oleh bangsa-bangsa lain. Bahkan Ia ditugaskan untuk memimpin penulisan dan pengumpulan ayat-ayat Al-Quran hingga menjadi sebuah kitab.
Oleh karena itu, orang tua harus menjadi orang yang dicintai oleh anaknya. Ketika orang tua memberikan pesan kepada anaknya -walaupun mereka saling terpisah jauh- maka pesan orang tua yang akan diingat oleh sang anak dan menjadi penunjuk jalan mereka. Nak belajarlah yang rajin dan jangan jadi teroris!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H