Mohon tunggu...
Yogi Setiawan
Yogi Setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Aku adalah

Pemuda yang penuh semangat, senang berbagi dan pantang menyerah. Mulai menulis karena sadar akan ingatan yang terbatas. Terus menulis karena sadar saya bukan anak raja, peterpan ataupun dewa 19.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar Banyak Hal dari Buku Hidup yang Lebih Berarti

20 Mei 2016   23:59 Diperbarui: 21 Mei 2016   01:23 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada banyak hal yang saya pelajari dari buku Hidup yang Lebih Berarti. Ada banyak cara untuk menjadikan hidup ini lebih berarti. Menjadi berdaya dan berguna bagi masyarakat itu kata kuncinya.

Buku dengan cover orange ini memberikan arti seperti matahari. Memberikan sinar dan energi bagi yang membacanya. Para penulis yang juga kompasiner menurut saya berhasil menemukan dan memberikan sinar dan energi itu kepada pembacanya.

Ada dua puluh cerita tentang orang biasa yang menurut saya luar biasa. Berbagai keterbatasan tak mengahalangi bagi orang-orang inspiratif ini untuk terus berjuang.

Pertama, saya belajar tentang kesetiaan dari Pak Hanggono. Penjual Getuk Marem ini tidak hanya memberikan pekerjaan bagi warga sekitar. Tetapi memberikan saya pelajaran bahwa menjadi “bos” itu tidak hanya memberikan uang kepada pegawainya. Tetapi juga perhatian dan kasih sayang. Hampir 30 tahun sudah Pak Hanggono membangun usahanya. Selama itu pula, tiga karyawan pertamanya, masih bertahan hingga saat ini. Bahkan keluarga karyawan pun diajak pula membantu Pak Hanggono.

Kedua, saya belajar tentang menembus batas dari Bu Milda. Kader Kesehatan ini telah memberikan manfaat yang begitu besar kepada masyarakat sekitar. Setiap hari beliau mendatangi dan didatangi untuk periksa kesehatan, seperti tensi darah. Peran Bu Milda mampu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan. Bu Milda bukan dokter, bukan pula perawat atau ahli farmasi. Beliau hanya lulusan Paket C yang berusaha  untuk memberikan arti kehidupan bagi masyarakat sekitar.

Ketiga, saya belajar kreatif dan inovatif dari Pak Suwono. Pensiunan Dinas Pekerjaan Umum ini mencoba mengisi waktu pensiunnya dengan berwirausaha jasa sedot WC. Kegelisahan akan limbah sedot WC nya yang dibuang ke sungai, mengaktifkan kreativitas Pak Suwono untuk berinovasi. Limbah sedot WC dia ubah jadi pupuk yang menyuburkan sawah dan menghasilkan beras dengan nilai gizi tinggi.

Keempat, saya belajar gigih dari Ibu Anik mantan penjaja warung di tempat lokalisasi. Tidak mudah mengajak mantan “pekerja” lokalisasi untuk mengikuti pelatihan membuat kerajinan tangan. Bahkan dari puluhan yang dia ajak, hanya delapan orang yang sering mengikuti latihan dan bekerja bersamanya memproduksi kerjainan tangan seperti dompet, bros, tas dan keset karakter. Tahun 2012, hasil karya keset karakter mendepatkan penghargaan dalam ajang UKM Kreatif Award Surabaya. Motonya, “Saya meyakini, selama kita mau berusaha, Tuhan akan membukakan jalan.”

Kegigihan ini juga saya pelajari dari Bodro Irawan aka Wawan. Memulai dengan usaha fotokopi, hingga mampu memberikan manfaat kepada sekitar dengan membuka Kursus Komputer Gratis. Bekal utamanya adalah ketekunan, kedisiplinan dan keberanian mengambil keputusan.

Ada pula Supriyanto, pengusaha Batik Kayu yang pernah berada di posisi terendah karena produknya gagal ekspor ke Amerika Serikat, sehingga dirinya rugi besar. Pelatihan wirausaha program Daya dari BTPN membuatnya bangkit mengembangkan usahanya. Sekarang produknya sudah bisa dibeli secara online di bukalapak.

Kelima, saya belajar melestarikan budaya dari Bu Dian. Putri pewaris keterampilan membatik dari kakek buyutnya dan orang tuanya. Dia berhasil melestarikan batik Cirebon dengan berbagai motif. Bahkan karya batiknya sudah diekspor ke berbagai negara seperti Thailand dan Brunei Darussalam.

Keenam, saya belajar mandiri dari Bu Siti Rochanah. Sejak suaminya meninggal, ibu yang dijuluki “nenek mandiri” ini berhasil membuktikan bahwa kesulitan yang datang harus kita hadapi. Katanya “The show must go on.” Tak ayal Iwak Nyuzz, produk dagangnya sekarang menjadi penganan kebanggaan Semarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun