Mohon tunggu...
Wayan Seriyoga parta
Wayan Seriyoga parta Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar Seni Rupa di UNG/Kurator Seni Rupa/Founder KBGI

Founder Gurat Institute (KBGI), memulai karir seni rupa dari mengelola program di komunitas Klinik Seni Taxu, sejak tahun 2006 menjadi staf pengajar seni rupa di Universitas Negeri Gorontalo. Aktif melakukan penelitian seni rupa dan kebudayaan, tulisannya telah dimuat dalam media massa, jurnal ilmiah, dan beberapa bukunya yang telah diterbitkan antara lain "Arie Smit A Living Legend", "Salvation of the Soul Nyoman Erawan", "Lempad for The World", "Nyoman Erawan: Ermotive Reconstructing Visual Thought", "Seni Rupa Bali sebagai Aset Pustaka Budaya". Saat ini sedang menulis dan meneliti untuk buku biografi seniman-seniman Bali.

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Leang-leang Spirit

12 Juni 2023   13:29 Diperbarui: 12 Juni 2023   23:59 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Mahaji Noesa Konten, telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Inilah Penampakan Seni Instalasi "Leang-leang Spirit" di Fort Rotterdam", 

Melampaui Rupa, Memaknai Nilai Sejarah dengan Inisiatif dan Kesadaran Bersama

I Wayan Seriyoga Parta 

(Dosen Seni Rupa dan Desain UNG)

Detail karya silakan klik di sini

Sebuah benda fenomena visual dimaknai atau dikategori sebagai karya seni (rupa) disebabkan ada sebuah konvensi terhadapnya, konvensi itu menyangkut kondisi-kondisi tertentu. Bahwa benda atau fenomena itu dikondisikan dalam sebuah ruang pameran, ruang itu dapat berupa gedung (bangunan) dan juga ruang terbuka. Selanjutnya ada otoritas yang menyepakatinya sebagai karya seni rupa, otoritas yang pertama ada ditangan seniman, selanjutnya para pelaku dalam medan sosial seni itu sendiri. Pembahasan perihal seputaran otoritas dalam karya seni rupa ini memang selalu akan memunculkan perdebatan, sepertinya akan selalu menjadi problematika pada tubuh seni rupa sendiri. Telah dimulai sejak berabad-abad lalu, ketika Sokrates mulai membahasa perihal keindahan yang kemudian melahirkan filsafat seni (estetika).

Karya seni tidak cukup dilihat sebagai benda jadi yang hadir dengan kualitas estetik dan artistiknya semata, sebuah karya seni lahir dari pergulatan yang panjang sedari proses ide hingga proses perwujudan dari sang perupa. Proses itu sejatinya begitu komplek dan menarik jika dimaknai sebagai bagian dari perjalanan yang menghantarkan kelahiran sebuah karya. Tetapi, umumnya para perupa beranggapan bahwa proses itu adalah bagian dari "rahasia dapur" yang tabu untuk disampaian apalagi dibagikan kepada audiens. Proses juga mensyaratkan terjadinya studi atau riset yang selalu dilalui dalam penciptaan karya seni. 

Konsep inilah yang dijalankan oleh para perupa Makassar yang tergabung dalam wadah Makassar Art Initiative Movement (MAIM). Mereka mendeklarasikan dirinya sebagai sebuah gerakan (movement) perupa, untuk menampilkan wajah baru seni rupa kontemporer Makassar. Sebagaimana dijelaskan dalam mukadimah konsep MAIM, bahwa; "penekanan kata "initiative" menandakan gerakan ini lahir dari kesadaran yang tumbuh dari dalam diri perupa, yang siap untuk bergerak dinamis menumbuhkan gagasan dan gerakan seni rupa secara mandiri. Gerakan ini dilandasi dengan kekuatan spirit "art from the soul", sebagai titik api dari kreativitas  meretas segala stagnasi lahir dan bathin". Tidak salah juga kalau kemudian gerakan ini dapat diproyeksikan sebagai sebuah gerakan yang cukup mutahir bagi kebangkitan seni rupa Indonesia bagian Timur.

Wacana ini mungkin terasa esoterik bagi sebagaian orang namun cukup penting diungkap kembali, karena menimbang ke-Indonesia-an dalam seni rupa selama ini hanya berpusaran pada perkembangan yang terjadi di daerah Jawa dan Bali saja. Hampir tidak pernah tersentuh pembahasan tentang perkembangan yang terjadi di luar itu. Persoalan tersebut menyelimuti seni rupa Indonesia yang daerah begitu luas terdiri dari beribu-ribu pulau yang membentang luas dari Sabang sampai Merauke.

Sangat disayangkan karena lingkup wilayah yang sangat luas itu, namun perkembangan seni rupa modern-kotemporernya hanya terfragmentasi pada beberapa daerah yang kemudian menjelma menjadi pusat-pusat dinamika. Kalaupun ada pembacaan tentang seni rupa daerah, cenderung hanya mengisi pembahasan tentang khasanah kesenian tradisi, atau bahkan seni yang dikategorikan sebagai seni primitif. Semenjak awal abad ke 20, pembahasan seni modern Indonesia nyaris hanya membicarakan dinamika yang terjadi di Jawa dan Bali. Selama puluhan tahun wacana perkembangan seni rupa Indonesia sungguh tidak merata. Padahal potensi daerah sangat beragam[2]. 

Sudah saatnya perupa daerah Timur seperti Makassar mulai secara intensif merancang sebuah gerakan seni rupa dengan dibarengi pengelolaan even yang direncanakan dengan target jangka menengah dan jangka panjang. Seperti gerakan di dalam MAIM memang sedang mengarahkan diri mereka ke tujuan tersebut. Akhir tahun 2018 menjadi tonggak penting pergerakan dan konsulidasi mereka, membangun persamaan persepsi. Dimulai dengan pameran perdana sebagai bagian dari Pre Even MAIM Februari 2019 di Galeri Seni Rupa FSR UNM. Mereka menggelar pameran yang tidak biasa, yaitu seni sebagai proses (the art of process). Menghadirkan presentasi yang tidak biasa dengan membuat display menghadirkan studio masing-masing di dalam ruang pameran, sebagai presentasi pameran itu sendiri.

Mungkin presentasi pameran seperti ini tidak biasa bagi publik Makassar, tapi itulah spirit dari gerakan MAIM memang bertujuan untuk membuka pemahaman 'baru' audien dalam memahami karya seni rupa. Bahwa karya seni rupa bukan hanya sebuah artefak jadi yang hadir secara ferfek di dalam ruang pameran yang tertata seoalah tidak ada cela. Tetapi sebuah pameran dapat juga sebuah proses dimana audien diajak untuk melihat ke dalam ruang privat proses berkarya seorang perupa. Mereka dapat berinteraksi bukan hanya soal makna dari karya, tetapi juga perihal alat, media, teknik dan perihal yang lebih mendalam dari pengalaman perupa di dalam berkarya.

Sebagai komitmen dari sebuah gerakan bersama mereka secara proaktif menggelar serangkaian proyek seni rupa yang nonkonvensional dan digelar pada ruang-ruang alternatif dan areal terbuka. Pada masa awal kehadiran pandemi Covid - 19 mereka menggelar setidaknya tiga proyek seni rupa yang berkelanjutan dimulai dengan  Rally Rupa #1 "Leang -- Leang Art Project" FindArt Makassar tahun 2020. Proyek Art Installation Rally Rupa #2 "ARTMOSPHERE" ARTisan Art Project Makassar tahun 2020. Proyek Rally Rupa # 3"INNER" BANYAKI Art Space Makassar tahun 2020. Ruang-ruang itu merupakan ruang inisiatif yang dijalankan oleh para anggotanya dengan menggabungkan semangat berekspresi seni rupa dan enterpreneurship. Sehingga tercetus konsep artpreneurship yang tidak hanya berhenti menjadi jargonistik, akan tetapi sebagai bagaian dari strategi kebertahanan dan keberlanjutkan dari konsep inisiatif MAIM.

Tahun 2021 menjadi momentum penting, karena konsep ambisius mereka untuk menggelar sebuah pameran menumental, mendapatkan dukungan pembiayaan dari program Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK) Direktorat Jenderal Kebudayaan KemendikbudRistek-RI. Program ini mengangkat tema nilai warisan seni lukis dinding dari Leang-leang yang telah dirilis merupakan lukisan dinding yang paling tua di dunia. Publikasi terakhir tahun 2020 menyatakan lukisan gua di Leang-leang Maros berumur 4.500 tahun, jauh lebih tua dibandingkan dengan dengan Lascaux di Francis dan Altamira di Spanyol. Lukisan dinding gua ini merupakan warisan budaya dunia yang telah diakui Unesko, menunjukkan tingkat peradaban manusia sejak ribuan tahun lalu. Inilah spirit yang diangkat menjadi projek alih kreasi ke dalam bentuk inpretasi karya seni rupa yang memanfaatkan berbagai medium.

Proyek ini mengedepankan prinsip kolaborasi dan melibatkan masyarakat khususnya perempuan dan kaum disablitas. Melalui projek pameran inisiatif dan kreatif di luar ruang medan seni rupa, mereka mencoba memaknai warisan sejarah masa lalu dengan mengangkat spirit dan melibatkan komponen masyarakat terutama perempuan dan disabilitas. Sentuhan tangan-tangan mereka akan berelasi dengan sentuhan cap-cap tangan masyarakat lampau, membangun relasi peradaban melalui seni berbasis pada proses dan partisipatoris. Proyek ini merupakan konsep yang berkelanjutan dimulai dari Rally Rupa #1 "Leang -- Leang Art Project" FindArt Makassar tahun 2020.

Gelaran karya seni instalasi ini sedikit bergeser dari konsep awal, yang direncanakan digelar langsung dalam kawasan situs gua Leang-leang. Pembatasan (PPKM) pandemi Covid-19 di Indonesia membuat lokasi penyelenggaraan dipindahkan ke Benteng Rotterdam Makassar dan sepenuhnya dilaksanakan secara daring. Dengan semangat yang menggelora dan kebersamaan mereka menyiapkan sepuluh set karya instalasi yang gigantik memenuhi areal halaman dalam benteng.  Karakter arsitektur khas Belanda menjadi tantangan tersendiri dari karya-karya ini yang sejak awalnya tidak diniatkan untuk mengisi areal tersebut. Karakter ruang turut berpengaruh dalam kehadiran karya-karya apalagi yang di tempatkan dalam ruang terbuka. Karya seni instalasi berhadapan secara langsung dengan alam (nature), atau landscape dan arsitektur sebagaimana dijelaskan Rosalind Krauss (1979), selain itu  juga tidak dapat dilepaskan dengan socialscape. 

Henri Lefebvre, dalam "The Production of Space" (1974), menyatakan bahwa ruang publik tercipta karena adanya interaksi sosial dari publik, seperti manfaat ruang untuk interaksi sosial. Kehadiran karya instalasi di ruang publik tidak dapat dilepaskan dari aspek fungsi sosial,  karya bukan lagi hanya berposisi secara otonom untuk dirinya sendiri. Kehadiran karya seni rupa khususnya karya seni tiga dimensi, pada ruang publik tidak hanya hadir sebagai fenomena  estetik yang berhubungan dengan nilai keindahan. Karya-karya seni di ruang publik mengandung keindahan yang tidak lagi berjarak antara karya seni dengan masyarakatnya. Kehadiran karya tiga dimensi di ruang publik tidak hanya indah dipandang mata, melainkan indah secara sosial dengan memiliki nilai yang interaktif dengan sosial masyarakat setempat. Interaksi tersebut terjadi dalam pameran Leang-leang Spirit di Benteng Rotterdam, walaupun dalam masa pandemi tetap ada masyarakat
atau pelajar yang berkunjung ke sana dan tanpa sengaja akhir melihat display karya-karya MAIM. 

Masyarakat yang hadir berinteraksi langsung dengan karya-karya yang gigantik dan beragam komposisi serta media. Terjadi persentuhan secara langsung antara karya dengan masyarakat, mereka memegang langsung material karya seperti dakron yang menyerupai awan, ataupun batu yang melayang tertusuk besi dan memasuki untaian atap kain yang transparan. Inilah ruang publik yang tidak lepas dari interaksi antara karya dan masyarakat sosial dan ruang landscape serta arsitektur. Interaksi tersebut membangun makna dan nilai pada karya-karya yang tercipta dari ruang privat perupa, dari imajinasi dan daya kreativitas yang tanpa patas. Inilah spirit dan kekuatan gerakan inisiatif MAIM, dan selayaknya tidak berhenti pada proyek ambisius ini saja,
tetapi terus berlanjut sebagai motivasi mereka untuk berkumpul dan saling
menguatkan satu sama lain.

Tulisan ini merupakan pengantar kuratorial pameran Leang-Leang Spirit 2021 di Benteng Rotterdam Makassar oleh MAIM

[1] Pernyataan ini dikutif dan diredaksikan kembali dari esai penulis pada pengantar pameran Keliling koleksi Galeri Nasional dan perupa Gorontalo "Modulango Lipu" Museum Popaeyato Gorontalo, tahun 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun