Gerakan Pita Maha dan Young Artist tetap dicatat dalam sejarah seni rupa Bali dan hingga kini menjadi bahan pembicaraan dan klangenan. Sayangnya, setelah dua gerakan berpengaruh itu, hingga kini nyaris tak ada gerakan seni rupa yang bisa diperhitungkan di Ubud dan sekitarnya.
Memasuki era 1990-an, artshop dan galeri seni makin ramai bermunculan di Ubud. Promosi dan pencitraan pariwisata yang begitu masif membuat Ubud seperti gula yang dikerubungi semut. Seniman dari berbagai penjuru Indonesia, bahkan dunia, seolah tak lengkap menjadi seniman bila belum mereguk inspirasi dari Ubud. Seperti yang sering didengungkan brosur-brosur pariwisata, Ubud adalah ubad atau obat, penyembuh dan pelipur lara serta sumber inspirasi.
Apa yang dilakukan Putrayasa lewat karya instalasinya merupakan suatu sindiran terhadap Ubud dalam konteks seni rupa. Sebab pada kenyataannya memang karya-karya unggul yang pernah dilahirkan seniman-seniman Ubud seolah membeku dalam kelompok Pita Maha. Setelah itu nyaris belum ada gebrakan berarti yang dilakukan seniman-seniman Ubud. Sebagian besar masih nyaman dalam repetisi teknik dan tematik. Belum tampak upaya-upaya untuk membebaskan diri dari zona nyaman dan aman.
Seni instalasi "Ubud is Winter - 10 Degree Celcius" bisa juga ditafsirkan sebagai kebekuan berbagai lini kehidupan akibat pandemi Covid yang berkepanjangan. Pariwisata membeku, perekonomian membeku, kreativitas juga ikut membeku. Namun, tentu saja, kita semua berharap agar kebekuan segera mencair dan berbagai lini kehidupan kembali berjalan normal.
Ketut Putrayasa termasuk sosok seniman yang kritis mencermati situasi dan kondisi zaman. Ia sering melontarkan kritik lewat karya-karyanya yang menggelitik pemikiran kritis kita. Perupa kelahiran Canggu, Bali, 15 Mei 1981 ini telah menekuni seni patung sejak lama. Ia menempuh pendidikan seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar hingga Program Pascasarjana Penciptaan Seni. Ia meraih karya Tugas Akhir (TA) Terbaik dari ISI Denpasar tahun 2014.
Karya-karya Putrayasa sering tampil dalam pameran bersama, antara lain pameran patung kelompok "BIASA" di Museum Pendet, Ubud (2004), "Sign of Art" di Belgia (2008), "Kuta Art Chromatic" di Kuta (2003), "Articulation" di Kuta (2014), "Chronotope" di Rich Stone Bali (2015), trienale patung "Skala" di Galeri Nasional Jakarta (2017), "Art Unlimited" di gedung Gas Negara Bandung (2018), "Bali Megarupa" di Bentara Budaya Bali (2019), dan sebagainya.
Pada tahun 2019, dalam rangka "Berawa Beach Arts Festival", ia menghebohkan Pantai Berawa dengan karya instalasinya berupa gurita raksasa yang dibuat dari bambu. Dalam acara bertajuk "Deep Blue Spirit" itu, puluhan seniman dari lintas seni merespon gurita raksasa itu dengan pertunjukan musik, tari, puisi, video art.Â
Masih pada tahun 2019, Putrayasa diundang oleh Company Arsitektur and Interior Design menggarap Project Comision Artwork di Paris, Perancis. Pada akhir tahun 2020, ia membuat gebrakan dengan menampilkan karya instalasi "Pandora Paradise" di titik Nol Kilometer Kota Denpasar, sebuah metafora yang menggambarkan kekacauan dunia.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H