Nama Wawonii
Pulau Wawonii, bisa jadi masih sangat asing didengar. Pulau Wawonii, jika dilihat pada Peta Sulawesi Tenggara sangat mudah untuk ditemukan karena bentuknya yang sedikit mirip dengan bentuk hati.
Beberapa artikel yang beredar di internet menuliskan kata Wawonii bermakna DI ATAS KELAPA. Dengan persepsi bahwa sudah sewajarnya diartikan sedemikian sebab Pulau Wawonii terdapat banyak pohon kelapa. Menurut saya, ini adalah pernyataan yang rancu, mengingat pohon kelapa di Pulau Wawonii dulunya tidak sebanyak seperti seratus tahun yang lalu. Terlebih jika diceritakan tentang orang dari seberang pulau yang katanya melihat pulau ini dari atas pohon kelapa lalu menyebut pulau ini dengan nama wawonii. Jika demikian maka bukan hanya pulau ini saja yang akan disebut wawonii, sebab pohon kelapa sudah pasti menjadi buah khas pesisir pantai.
Dalam Bahasa Wawonii "WAWO" artinya "atas" atau "tempat yang tinggi/yang dianggap tinggi". Sedangkan "NII" artinya "Kelapa".
"WAWONII" adalah Nama Raja I di Tangkombuno yang berpusat di Wilayah Timur Pulau Wawonii. Sangat sulit untuk menemukan bukti dari sisa-sisa kerajaan tersebut. Tidak sedikit turis & ahli sejarah yang datang ke Pulau Wawonii untuk mencari bukti dari kerajaan tersebut, tapi hasilnya nihil. Beberapa Masyarakat yang awalnya sudah pernah berkunjung atau sekedar melewati area perkampungan tersebut, sempat tidak menemukan kembali lokasinya saat mereka kemudian berupaya untuk mengantar orang lain (tamu) untuk melihatnya. Salah satu keluarga saya mengatakan "Sekuat apapun usaha orang mencari tempat yang ingin dia cari, jika tidak ada izin dan tidak bersama orang yang tepat maka perjalanannya akan sia-sia" .
Pemukiman Kuno Orang Wawonii
Beberapa artikel menyebutkan bahwa penduduk asli Pulau Wawonii adalah Suku Torete. Tapi apakah benar demikian? Sejarah Kerajaan yang diceritakan oleh Almarhumah Wahinda (Cucu dari Raja Mbeoga) menyebutkan bahwa memang benar bahwa selain orang Tangkombuno, ada juga orang-orang yang tinggal di Gunung Waworete yang dikenal dengan sebutan orang torete. Dalam bahasa Wawonii "TO" bermakna "orang/masyarakat" sedangkan "RETE" bermakna "Rata/Sama". Sedangkan menurut Pak Supian Bin H. Muh. Mahdy (Turunan Wawonii, Rahimahullah) menyebutkan bahwa makna dari "TORETE" adalah orang-orang yang disamakan kedudukannya. Setelah Raja Wawonii digantikan oleh anaknya Mokole Sangia Lungku (seorang putri) pada masa itulah penduduk asli Pulau Wawonii terbagi menjadi 2, yakni orang-orang yang tinggal di pemukiman kuno Watuntinapi dan orang-orang yang tinggal di gunung waworete yang sampai saat ini kita kenal dengan orang-orang torete. Jadi tidaklah benar bahwa hanya orang-orang torete saja penduduk asli Pulau Wawonii yaa!
Sayangnya, orang-orang torete tidak mampu bertahan di pemukimannya, mereka kemudian tersebar ke berbagai daerah karena terserang wabah penyakit kulit yang disebabkan oleh munculnya serangan siput putih (wiwia bula) dan serangan ikan bermulut runcing (ikan sori). Ceritanya memang sulit dipercaya, Tapi seperti itulah sejarah dari nenek moyang to wawonii yang menetap di wilayah Tangkombuno (Laa Wawonii). Dikisahkan bahwa orang-orang torete awalnya bermukim di Watuntinapi, namun karena satu alasan akhirnya mereka diperintahkan oleh Mokole Sangia Lungku untuk bermukim di gunung Waworete dengan pernyataan Mokole bahwa orang-orang yang tinggal di gunung waworete tidaklah lebih tinggi kedudukannya dengan orang-orang yang tinggal di tangkombuno/watuntinapi. Jadi dapat dikatakan bahwa orang torete adalah orang yang sama derajatnya dengan orang tangkombuno (sama-sama mokole).
Bismillahi, satu cerita dari salah satu teman bapak saya saat bertugas di Konawe Utara, Bapak Syukur menceritakan bahwa neneknya adalah keturunan torete di Pulau Wawonii. Neneknya juga bercerita terkait nenek moyangnya di Gunung waworete yang terkena serangan ikan sori dan wiwia bula. Saking takutnya mereka mendapati bencana itu, sampai-sampai mereka lari meninggalkan Pulau Wawonii. Wallahua'lam.
Beberapa tahun lalu, Saya dan ibu saya pun sempat berbincang-bincang dengan seorang ibu yang katanya tinggal di desa Dimba (entah itu Dimba, Mata Dimba atau Puurau). Ibu tersebut awalnya bercerita tentang kemenakannya yang pandai berbahasa inggris dan sedang bersama para turis di kapal ferry yang sama-sama kami tumpangi kala itu. Kata si ibu, mereka akan pergi ke gunung waworete untuk memotret burung. Beliau dengan tegasnya mengatakan bahwa nenek moyangnya adalah orang torete, dan itu sudah aslinya penduduk Wawonii. Mereka punya perkampungan di gunung waworete dan menurut keyakinannya hanya keturunan torete saja yang bisa menemukan perkampungan tersebut. Selain itu, beliau sempat menyebutkan bahwa dulunya mereka dipimpin oleh seorang putri. Namun saat saya mempertanyakan siapa nama raja/pemimpinnya, beliau sama sekali tidak mengetahui nama seorang putri yang menjadi raja mereka.
Jejak Adat dan Budaya Asli Wawonii
Salah satu adat kerajaan Wawonii yang masih dapat dilihat sampai saat ini adalah KALAPAEYA.
Kalapaeya hanya dipersembahkan untuk turunan mokole Wawonii atau untuk keluarga kerajaan saja dengan tingkatan tangga yang berbeda-beda. Sebenarnya penggunaan Kalapaeya sangatlah sakral. Tapi tidak sedikit dari masyarakat Pulau Wawonii yang mengerti betul bagaimana pembuatan dan penggunaannya dengan tepat. Tiga hal yang kebanyakan orang tidak lagi ketahui dalam persembahan adat kalapaeya, pertama; sebelum meletakkan hasil-hasil bumi di atas Kalapaeya, terlebih dahulu dinaikkan seorang anak bangsawan perempuan di atasnya. Kedua, kamu tidak perlu protes saat orang yang membuat Kalapaeya memilih untuk tidak menutup kaki/tangga kalapaeya, bahkan itu lebih baik dibanding menutupnya, sebab tangga itulah tanda kedudukan/strata seseorang keturunan mokole. Ketiga, dulunya kalapaeya tidak hanya digunakan untuk sarana sedekah bagi orang yang telah meninggal dunia, tetapi juga digunakan untuk membagikan hasil panen kepada masyarakat.
Sekitar abad ke-16, di masa pemerintahan Raja Mbeoga, Keluarga mokole juga telah mengenal tulisan buri Laembo (huruf/ejaan laembo). Sayangnya tulisan ini tidak hanya dibatasi pada masyarakat luas tetapi juga terbatas pada beberapa keturunan Mokole saja. Jadi sangat sulit untuk mendapatkan informasi mengenai hal tersebut.
Dalam adat pernikahan, Mahar yang diberikan mempelai pria kepada mempelai wanita bukanlah berupa uang melainkan berupa Pohon Kelapa. Semakin tinggi derajat seorang wanita maka semakin banyak pula pohon kelapa yang disebutkan sebagai mahar perkawinan. Tapi sebenarnya, sebelum pohon kelapa menjadi mahar utama bagi orang wawonii, syarat laki-laki untuk bisa meminang seorang perempuan adalah berupa emas, tempat tinggal dan kewajiban bagi pihak laki-laki untuk memberi makan seluruh keluarga dan undangan yang hadir di pesta perkawinan. Maka jangan heran di masa yang lampau kita masih menemukan sebuah pesta pernikahan yang dimana meskipun pestanya di kampung mempelai perempuan, tapi pihak laki-laki juga turut mengurus/menyediakan makanan di tempat pesta. Yaah, kalau sekarang sebahagian orang tinggal cari gampangnya saja, lelaki bawa uang pesta, sisanya pihak perempuan yang mengatur pestanya.
Setelah berakhirnya sistem kerajaan, beberapa orang memutuskan untuk menyetarakan nilai mahar perkawinan dengan alasan kemanusiaan. Dijaman sekarang ini kedudukan strata berdasarkan silsilah ke-mokole-an tidak lagi menjadi patokan utama pihak mempelai wanita dalam meminta jumlah pohon kelapa sebagai mahar. Meskipun demikian sebagian masyarakat adat masih memegang teguh ketentuan pada nilai mahar yang sudah ditentukan sesuai penyetaraan. Entah pada tahun1964 atau tahun 1974, H. Bustamin Sanggiri dan Nuhun (kepala distrik Wawonii tahun 1950-1962) bersama-sama datang ke kediaman H. Muh. Mahdy bin H. Muh. Ghazali untuk memperoleh persetujuan dalam penyetaraan mahar adat perkawinan. Dari pertemuan tersebut disepakati tidak ada lagi istilah mahar ‘golongan ata’. Mahar sesuai kesepakatan adalah 30 pohon kelapa untuk keturunan bangsawan dan 20 pohon kelapa untuk masyarakat umum. Terlepas dari kesepakatan tersebut, sampai saat ini pun tidak ada larangan bagi siapa saja yang tidak mau mengikuti kesepakatan tersebut, namun tidak sedikit pula yang masih memegang teguh adat yang sudah disepakati.
Yang paling banyak tidak diketahui dalam adat perkawinan adalah perihal kain kaci. Kain kaci adalah symbol penyetaraan kedudukan laki-laki terhadap kemokolean perempuan.
"Seharusnya, dalam perkawinan sesama keturunan bangsawan, jika seorang perempuan lebih kurang darah kemokoleannya dibanding mempelai laki-laki maka tidak boleh meminta kain kaci. Sebaliknya, jika kedudukan perempuan dalam silsilah bangsawan lebih tinggi maka mempelai wanita berhak meminta kain kaci dalam prosesi adat pelamaran". (Pirkan, komunikasi pribadi, 2019)
Dijaman dahulu, saat seorang bangsawan wanita menikah dengan keturunan yang jauh dibawahnya maka seseorang atau beberapa budak harus dibunuh. Namun seiring pemahaman syariat islam yang berkembang, penyetaraan kedudukan melalui pengorbanan nyawa seorang ata tidak lagi dilakukan sehingga digantilah dengan kain kaci sebagai symbol pengganti nyawa dan sekarang ini lebih kepada tanda penghargaan untuk kedudukan bangsawan perempuan yang lebih tinggi dari kedudukan bangsawan laki-laki.
Demikian sedikit pengetahuan yang dapat saya bagi. Beda suku, beda pula adat dan budayanya.
Sobat Kompasiana, apa bahasa daerah “kelapa” di daerah kalian? Jangan lupa komen ya!
Salam Bhineka Tunggal Ika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H