"Bak, bak", teriak adik laki-lakiku dari dalam kamar.
Tidak  begiti ku hiraukan. Mata yang sudah tak tahan dengan kantuk tak kuasa untuk menggubrisnya.
Tiba-tiba kedua kalinya, "bak gempa, bak gempa".
Kantuk yang tadinya menggerogoti menjadi sekumpulan tenaga yang bersatu dan merespon teriakan ke dua kalinya.
"Ah, masak", aku masih tak percaya.
 Tetiba ubin yang ku buat alas untuk tidur serasa bergetar ke arah barat dan timur, begitupun pintu sedikit bergoyang. Seperti tertiup angin.Â
Barulah aku percaya.
Kejadian tersebut terjadi sekitar pukul 11 lebih, tepatnya sebelum shalat Jum'at dimulai.
Masih di tempat yang sama. Di ruang tengah. Megang HP--main game, hiburan setelah masak nasi, shalat, dan ngaji.
Tam ada angin, tapi pintu buka tutup. Suara atap yang berasal dr seng. Saling bersahutan. Air di aquarium kuga nak ombak di pantai.
Langsung pak suami menggandeng tangan kami---aku dan anak semata wayangku, keluar rumah. Benar saja. "Ini gempa", aku masih tak percaya. Melihat pohon-pohon besar di depan rumah bergoyang hebat, tiang listik yang selalu tegar berdiri juga serasa ditarik oleh kabel-kabel yang mengelilinginya. Bukan angin, bukan hujan, tapi nyata benar-benar gempa.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H