Mohon tunggu...
Wawan Susetya
Wawan Susetya Mohon Tunggu... -

saya,wawan susetya, mencurahkan perhatian secara penuh ke dalam penulisan buku. alhamdulillah sampai sekarang sudah 65-an buku saya, dengan genre agama (islam), budaya, dan novel terutama berbasis sejarah atau cerita rakyat dan pewayangan. pernah sih menjadi wartawan di kota malang selama 4 tahun dan dosen di univeristas muhammadiyah malang (umm) dan stikma internasional malang serta pernah pula terjun ke dunia politik (pkb) di zaman gus dur dan bergabung dengan komunitas cak nun & kiai kanjeng (cnkk). setelah itu pyur hanya menulis buku. mau berkunjung? silahkan kunjungi kami di www.wawansusetya.blogspot.com atau di face book; Wawan Susetya

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sunan Kalijaga dalam Novel

1 Mei 2012   13:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:52 802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sunan Kalijaga, Sang Maestro Teladan Tiga Zaman!

APA jadinya jika seseorang mengatakan dalam urusan agama, tetapi ia sendiri tidak melakukannya?!

Apa jadinya jika seseorang berdakwah, tetapi jauh dari nilai-nilai kesejatian?!

Apa jadinya jika seseorang menjalankan syi’ar agama, lalu dia malah membelakangi apa yang disampaikannya?!

Apa jadinya jika seseorang menyuarakan agama, tetapi untuk mendapatkan kepentingan duniawi?!

Apa jadinya jika seseorang mengajarkan ajaran agama, tetapi hanya untuk mencari popularitas?!

Apa jadinya jika seseorang menerangkan suatu ilmu (agama), tetapi tidak diimbangi dengan laku keprihatinan?!

Dan apa jadinya jika seseorang menjalankan tabligh agama, tetapi tidak diikuti dengan tauladan yang baik?!

Fenomena seperti itu, barangkali, sangat banyak terjadi di pergumulan modern dewasa ini, tetapi tidak berlaku bagi Sunan Kalijaga. Pertanyaan-pertanyaan di atas mengisyaratkan adanya suatu pamrih individu maupun golongan yang menyebabkan ‘mandul’-nya suatu ‘out put’ (produk) religiusitas atau spiritualitas di dalam diri. Atau dalam ungkapan Jawa disebut ‘ora mandi’ (tidak berpengaruh, tidak terasuk ke dalam hati) ibaratnya seperti masuk telinga kanan dan keluar ke telinga kiri!

Anehnya lagi, para Ulama pun sering terjebak ke dalam pragmatisme agama sehingga yang difatwakan hanya berkisar seputar “halal” atau “haram” saja! Tak ayal, budayawan Gus Mus—panggilan akrab KH Mustofa Bisri—dan Emha Ainun Nadjib mengkritik habis-habis tentang hal ini bahwa seolah-olah urusan agama itu hanya soal “halal” dan “haram” saja! Padahal, bukankah cakupan keagamaan sangatlah luas dan kompleks dalam kehidupan di masyarakat?

Di sinilah perlunya napak tilas atau menelusuri jejak langkah para Wali Sanga terutama Sunan Kalijaga dalam menjalankan syi’ar dakwah Agama Islam terutama pada masa awal berdirinya Demak Bintoro pada  tahun 1403 Tahun Saka (1481 M) yang menggunakan dua model pendekatan; yakni pendekatan struktural (kekuasaan) dan pendekatan kultural (budaya).

Pertama, menggunakan pendekatan struktural (kekuasaan) karena Wali Sanga khususnya Sunan Kalijaga memiliki legitimasi kekuasaan agama yang sangat kuat dalam peranannya di Kraton Demak Bintoro yang berpusat di Masjid Agung.

Kedua, menggunakan pendekatan kultural (budaya) karena para Wali Sanga terutama Sunan Kalijaga bahu-membahu menjalankan syi’ar keagamaan kepada masyarakat lapisan bawah (grass root) secara lentur dan moderat. Yakni dengan menggunakan media kesenian, seperti mementaskan pagelaran wayang kulit yang sudah digubah, tembang, seni ukir, baju takwa, menggunakan kenthongan dan bedhug di masjid, dan seterusnya.

Sebagai penasihat Kraton Demak, Sunan Kalijaga menanamkan ajaran ‘Sabda brahmana raja’ dan ‘sabda pandhita ratu sepisan dadi tan kena wola-wali’ kepada Raden Patah yang bergelar Sultan Syah Alam Akbar I beserta penerusnya Sultan Pati Unus, Sultan Trenggana dan Sultan Prawata. Esensi wulang-wuruk yang ditanamkan, yakni meliputi ngelmu kesampurnan, material spiritual lahir-batin. Dalam konteks brahmana, yakni dimaksudkan mencetak kepribadian yang berkualitas, ‘kebak ngelmu sipating kawruh’ dan ‘putus ing reh saniskara’ yang bersumber pada prinsip kebajikan. Juga menanamkan mengenai tugas Raja, yakni hamangku, hemengku, dan hamengkoni terhadap jagad sakalir! Maknanya yaitu hangayomi (melindungi) para kawula dasih (rakyat)-nya dengan cinta-kasih.

Selain itu, Sunan Kalijaga dalam kapasitasnya ahli strategi politik dan pemerintahan, Sunan Kalijaga juga merancang tata letak istana (pendapa) Kraton sebagai pilar eksekutif yang di depannya terdapat dua pohon waringin dengan menghadap ke alun-alun. Sedang, di sebelah barat alun-alun dibangun Masjid Agung sebagai simbol pilar agama, di sebelah timur alun-alun penjara yang melambangkan pilar hukum, di sebelah selatan pasar sebagai pilar ekonomi, dan seterusnya.

Ciri khas menonjol dalam pemerintahan Demak Bintoro di bawah kepemimpinan Raden Patah dengan Dewan Wali Sanga, yakni penerapan syariat Islam. Pada zaman Demak, Dewan para Wali Sanga merupakan legitimasi keputusan tertinggi dalam persoalan keagamaan di Tanah Jawa dengan metoda pendekatan struktural maupun kultural!

Dalam hal ini, ada perbedaan yang cukup signifikan dengan kebijakan di zaman Pajang di bawah kepemimpinan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) dan Mataram dengan kepemimpinan Danang Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senapati Ing Ngalaga! Pergesertan Kraton Jawa dari Demak ke Pajang dan Mataram sudah tidak lagi menempatkan Dewan Wali Sanga sebagai legitimasi kekuasaan tertinggi Kraton dalam urusan keagamaan. Keberadaan Dewan Wali Sanga pun semakin pudar. Bahkan, Sunan Giri, Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus pun hanya sebagai guru spiritual secara informal saja. Di Pajang dan Mataram, selain lebih kental dengan ajaran ‘Manunggaling kawula-Gusti’, juga terkesan dengan nuansa mitologi, karena menjalin hubungan dengan Nyi Ratu Rara Kidul (penguasa Pantai Selatan)!

Meski demikian, baik Sunan Giri, Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus tetap memiliki peran yang cukup strategis, walaupun secara informal, karena mereka dapat menegur atau mengingatkan para Raja Jawa yang dianggap menyimpang atau tidak menepati janji.

Sunan Kalijaga tidak kurang akal! Ia berusaha ngipuk-ngipuk atau mengelus-elus seorang seorang jago, yaitu Pangeran Benawa (putra Sultan Hadiwijaya) yang lebih memilih menjadi seorang Ulama daripada menjadi Raja! Sejak itulah, Pangeran Benawa menumbuh-suburkan kehidupan pondok-pesantren di Tanah Jawa, sehingga dia dijuluki sebagai ‘bapak pesantren’ Jawa!

Produk dari syi’ar penyebaran Agama Islam tersebut kemudian menyebar ke seluruh Tanah Jawa, sehingga seperti yang dapat terlihat dewasa ini bahwa mayoritas penduduk Jawa beragama Islam. Demikianlah kenyataannya bahwa keberhasilan syi’ar dakwah Agama Islam di Tanah Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya karena besarnya pengaruh para Wali Sanga khususnya Sunan Kalijaga!

Jasa-jasa mereka masih terasa membekas sampai sekarang. Tetapi ada sementara pakar yang berpendapat bahwa tugas syi’ar dakwah Wali Sanga masih belum selesai! Masih dibutuhkan generasi-generasi penerus untuk melanjutkan perjuangan Wali Sanga, khususnya Sunan Kalijaga, terutama untuk memurnikan Aqidah Islamiyah dengan syariat Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh Baginda Rasulullah Saw.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun