Wong cilik, orang kecil, mereka yang berada pada strata bawah, adalah pihak yang kehidupannya sangat tergantung pada kondisi lingkungan. Jika untuk makan saja tidak cukup, lantas bagaimana mereka bisa membeli pakaian yang lebih layak, bisa memperbaiki tempat tinggal yang rusak, bisa untuk membiayai pendidikan yang lebih tinggi.
Maka, kerusakan alam akan berpengaruh secara nyata terhadap kehidupan kelompok marjinal ini. Beruntung jika mereka tinggal di daerah yang aman dari beragam gangguan, tinggal didekat sekolah-sekolah yang murah, tinggal didekat puskesmas.
Bisa dibayangkan, ada satu keluarga miskin. Hidupnya hanya dari satu kontrakan ke kontrakan yang lain. Mereka sadar, butuh tempat menetap. Kemudian menabung, sedikit demi sedikit.Â
Setelah uang terkumpul, mereka membeli sepetak tanah. Tentu mereka tak mungkin membeli petak tanah di tempat yang strategis. Dengan dana yang terbatas, mereka hanya mampu membeli tanah yang tidak laku dan dijual dengan harga murah. Sebut saja, petak tanah kecil di tepi sungai, yang akses jalannya sempit dan berputar-putar.
Mereka kemudian membangun rumah. Karena anggaran terbatas, tak mungkin mereka membangun talud di tepi sungai. Tepian sungai di kapling mereka didiamkan apa adanya, alami. Fondasi rumah juga ala kadarnya, tak mungkin dengan model "cakar ayam." Tembok rumah yang permanen mungkin hanya setengah saja, setengah lainnya tidak permanen.
Di tahun-tahun awal, mungkin kondisi rumah baik-baik saja. Namun seiring usia pakai, kayu-kayu murah yang ala kadarnya, mulai rapuh. Kondisi tanah yang tidak stabil, dengan fondasi dan tembok permanen yang  ala kadarnya, membuat bangunan cepat retak. Dan anggaran rehab rumah yang mungkin tidak tersedia.
Dalam kondisi seperti itu, iklim berubah dengan cepat. Dari panas dan kering berbulan-bulan, menjadi hujan deras dalam hitungan hari. Kayu dan bangunan permanen yang kualitasnya buruk, akan cepat rusak.
Dalam kondisi seperti ini, Menteri Lingkungan Hidup dan Kependudukan, Siti Nurbaya Bakar, membuat pernyataan: "Oleh karena itu, pembangunan yang sedang berlangsung secara besar-besaran era Presiden Jokowi, tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestrasi. Menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation sama dengan melawan mandat UUD 1945 untuk values dan goal establishment, membangun sasaran nasional untuk kesejahteraan rakyat secara sosial dan ekonomi."
Memang benar bahwa sasaran pembangunan sosial adalah kesejahteraan rakyat. Namun kadang apa yang dikatakan oleh pejabat itu hanya manis dibibir, tapi pahit di lapangan.Â
Tanpa pernyataan seperti itu pun pembalakan liar tetap terjadi. Sungai-sungai tercemar meski ada papan ancaman hukuman bagi pembuang limbah di sungai.Â
Padahal papan ancaman hukuman bagi pembuang limbah tersebut jelas: barang siapa membuang limbah padat atau cair ke sungai, akan dikenai ancaman hukuman ...Â
Jadi, warga yang membuang seember daun ke sungai saja, bisa dikenai hukuman. Namun jika ada perusahaan yang membuang limbah berbau, berwarna dan beracun ke sungai, para aparat butuh didemonstrasi warga agar mereka bersedia meninjau, hanya untuk sekedar meninjau, ke TKP.
Lalu, bagaimana dengan pernyataan sang menteri, yang kira-kira berbunyi: perusahaan boleh merusak alam, asal mendukung pembangunan. Lalu, ketika hutan digunduli oleh perusahaan, pihak perusahaan berdalih: kami sudah membayar pajak, kami sudah membayar kontraktor untuk proses reboisasi.
Perkara pajak dikorupsi atau reboisasi di mark up, bahkan fiktif, itu bukan urusan perusahaan.
Maka orang-orang marjinal, seperti yang diilustrasikan di atas, akan terancam. Hujan deras mengguyur lereng gunung yang gundul. Air dengan debit yang laur biasa, berserta batu-batu menyusuri sungai dengan kekuatan raksasa. Talud permanen dan jembatan pun bisa rusak, apa lagi tepian sungai yang hanya berupa tanah.
Dan rumah wong cilik dalam ilustrasi di atas akan terancam. Mereka tak bisa pindah, karena tak punya rumah. Mungkin mereka hanya misa menatap tanahnya di tepian sungai mulai terkikis, satu jengkal demi satu jengkal.
Dan suatu ketika, sungai akan menelan rumah mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H