Pemenuhan kebutuhan manusia, menurut Abraham Maslow, mengikuti suatu pola urutan tertentu. Kebutuhan yang paling mendasar adalah kebutuhan fisiologis, yaitu semua kebutuhan fisik yang diperlukan agar orang bisa bertahan hidup.Â
Yang kedua adalah kebutuhan rasa aman, yaitu kebutuhan untuk menghindari semua ancaman yang mengganggu kelangsungan hidupnya.Â
Meliputi keamanan personal, keamanan dari kejahatan, kestabilan ekonomi, kesehatan dan keamanan dari kecelakaan. Yang ketiga adalah kebutuhan cinta dan penerimaan.Â
Meliputi keintiman, pertemanan dan hubungan keluarga. Yang keempat adalah kebutuhan untuk dihargai. Dan yang paling tinggi adalah kebutuhan aktualisasi diri.
Dalam teori ini lompatan pemenuhan kebutuhan adalah mustahil. Pada masa lalu, orang akan enggan aktif bermasyarakat (kebutuhan cinta dan penerimaan), jika untuk makan saja masih sulit (kebutuhan fisiologis). Ini terjadi karena kehidupan bisa diprediksi. Dari pada menghabiskan waktu untuk aktif bermasyarakat, lebih baik bekerja untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Tapi lihatlah sekarang, urutan hirarki ini tidaklah pakem. Sekarang, kebutuhan para remaja dan kaum muda adalah penampilan, antara lain pakaian dan kendaraan. Setelah itu gadget. Hal ini sudah terjadi sebelum pandemi kovid. Tidak permaksud apatis, tapi ada gambaran bahwa di pelosok pedesaan, orang tua bekerja keras di kebun, mengumpulkan kayu atau daun, kemudian dibawa ke pasar dan di jual.Â
Uangnya diberikan kepada anak. Uang tersebut tidak untuk membeli buku yang mendukung pendidikan, tapi untuk membeli pulsa. Pulsa tersebut digunakan untuk mengakses media sosial.
Saat ini, kebutuhan untuk tampil di media sosial, menjadi suatu daya tarik yang luar biasa. Apakah bermedia sosial ini masuk kategori kebutuhan akan cinta dan penerimaan? Bisa demikian, bisa juga tidak.Â
Karena pertemanan di media sosial adalah sesuatu yang sangat rapuh. Pertemanan yang kuat melibatkan jiwa dan raga, melibatkan fisik, pikiran dan perasaan. Apakah pertemanan sebatas gambar di layar, suara dan tulisan, bisa disebut sebagai persahabatan.Â
Apakah pertemanan di media sosial bisa disebut relasi ataukah hanya koneksi. (Relasi bermakna lebih kuat, bisa dimaknai sebagai punya kepentingan. Meski waktu berlalu, relasi tetap tercatat dalam ingatan pihak-pihak yang mengetahui hubungan tersebut. Berbeda dengan koneksi, sambungan, yang bisa terputus dan terhubung.)
Bermedia sosial juga bisa dikategorikan sebagai kebutuhan akan aktualisasi diri. Ini terjadi ketika orang tersebut menggunakan media sosial sebagai sarana untuk menyatakan perasaan atau gagasan yang ia miliki.Â
Misalnya vlog tentang modifikasi kendaraan. Bisa jadi yang membuat vlog ini tak punya motor. Tapi ia tinggal dekat dengan bengkel modifikasi, atau banyak teman sedusunnya yang hobi memodifikasi motor. Tingkat ekonomi orang tersebut mungkin buruk, namun ia bisa mengaktualisasi dirinya sebagai komentator modifikasi motor.
Dalam kehidupan yang cair, hal ini sangat mungkin untuk terjadi. Orang sudah bisa memenuhi tingkat kebutuhan tertentu, tetapi ada tingkatan kebutuhan dibawahnya yang sama sekali belum dipenuhi. Orang menjadi bebas untuk memilih, kebutuhan mana yang ingin ia penuhi terlebih dahulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H