Mohon tunggu...
Wawan Pkb
Wawan Pkb Mohon Tunggu... Administrasi - Staf karyawan

https://www.kompasiana.com/wawanpkb7432

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Ujung Nafas Terakhir

26 Juni 2024   11:41 Diperbarui: 26 Juni 2024   22:10 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit senja berubah menjadi jingga yang muram saat Genta berjalan pelan menuju rumah sakit tua di pinggiran kota. Ia baru saja mendapat kabar bahwa ibunya, wanita yang telah merawatnya dengan cinta dan kesabaran sepanjang hidupnya, kini berada di ujung napas terakhir. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi kenangan masa lalu---tawa, tangis, dan pelajaran hidup yang diberikannya.

Sesampainya di rumah sakit, Genta melihat ruangan ICU yang suram dan penuh dengan mesin-mesin yang berdengung monoton. Di sana, di salah satu ranjang, terbaringlah sosok yang sangat ia cintai. Ibu tampak rapuh dan kecil, jauh berbeda dari sosok kuat yang dulu mengajarinya segala hal. Napasnya terdengar berat, teratur namun jelas berjuang.

"Maaf, Bu, aku terlambat," bisik Genta sambil menggenggam tangan ibunya yang lemah. Air matanya mulai mengalir, tak terbendung lagi.

Ibu membuka mata perlahan, berusaha tersenyum walau terlihat sangat lelah. "Genta, kamu datang," suaranya hampir tak terdengar, hanya desahan pelan yang menembus kesunyian ruangan itu.

"Aku di sini, Bu. Aku di sini," jawab Genta dengan suara bergetar. Ia merasakan genggaman tangan ibunya yang lemah namun penuh cinta, seolah-olah seluruh hidupnya terfokus pada momen ini.

Di luar, senja semakin gelap. Bayangan malam mulai merambat masuk, menyelimuti rumah sakit dengan kegelapan yang tenang. Genta mengingat betapa seringnya ia dan ibunya duduk di beranda rumah, memandangi senja yang perlahan-lahan berubah menjadi malam. Senja selalu menjadi waktu favorit mereka, saat di mana mereka berbagi cerita dan mimpi.

"Ibu, ingat tidak waktu kita duduk di beranda rumah, memandangi senja?" tanya Genta, mencoba membawa kembali kenangan manis itu.

Ibu mengangguk pelan, senyumnya semakin lemah namun penuh makna. "Tentu, Genta. Senja selalu indah, seperti perjalanan hidup yang penuh warna."

Genta merasakan hatinya tersayat, menyadari bahwa senja ini mungkin adalah yang terakhir bagi ibunya. "Bu, terima kasih untuk semuanya. Terima kasih telah menjadi ibu yang luar biasa. Aku sangat mencintaimu."

Ibu tersenyum lagi, lebih lebar kali ini, seolah-olah ia mendengar segala cinta yang dipancarkan Genta. "Aku juga mencintaimu, nak. Jadilah orang baik. Itu saja yang ibu harapkan."

Napasnya semakin berat, namun ia masih berusaha untuk tetap bersama anaknya. Genta merasakan perubahan dalam genggaman tangan ibunya, semakin lemah, semakin jauh. Air mata tak henti-hentinya mengalir, ia tahu bahwa saat-saat terakhir ini sangat berharga.

Dalam keheningan itu, tiba-tiba Genta merasakan sebuah kekuatan dalam dirinya. Ia tidak ingin saat-saat terakhir ini dihabiskan dalam kesedihan. "Bu, bagaimana kalau kita berpura-pura berada di beranda rumah kita lagi? Memandangi senja, berbicara tentang apa saja."

Ibu tampak setuju, dan Genta mulai menceritakan semua kenangan indah mereka. Tentang pertama kali ia belajar naik sepeda, tentang malam-malam mereka bermain petak umpet, tentang semua momen yang membuat hidup mereka penuh makna.

"Malam itu, Bu, ingat tidak ketika kita membuat tenda dari selimut di ruang tamu? Kita berpura-pura sedang berkemah di hutan. Itu salah satu malam terindah dalam hidupku," cerita Genta dengan senyum di wajahnya, meski air mata tetap mengalir.

Ibu mengangguk lemah, air mata juga mengalir di sudut matanya. "Ibu ingat. Itu malam yang luar biasa. Kamu selalu membuat hidup ibu penuh kebahagiaan, Genta."

Senja telah berubah menjadi malam sepenuhnya. Ruangan ICU kini hanya diterangi oleh cahaya redup dari lampu di sudut. Genta merasakan waktu semakin cepat berlalu, setiap detiknya sangat berarti. Ia tahu bahwa sebentar lagi, ia harus melepaskan ibunya.

"Genta, ibu lelah," bisik ibu. "Tapi ibu bahagia karena kamu ada di sini. Ibu tidak takut, karena tahu kamu akan baik-baik saja."

Genta menahan tangisnya, mencoba tersenyum meski hatinya hancur. "Aku janji, Bu. Aku akan menjaga diri dan menjadi orang baik, seperti yang ibu inginkan."

Ibu menutup matanya perlahan, senyum masih tersungging di bibirnya. Napasnya semakin pelan, semakin jarang, hingga akhirnya berhenti. Genta masih menggenggam tangan ibunya, merasakan kehangatan yang perlahan menghilang.

Ia duduk di sana, dalam kesunyian malam, merasakan kesedihan yang dalam namun juga kelegaan. Ia tahu bahwa ibunya kini telah tenang, telah menemukan kedamaian di ujung napas terakhirnya. Genta mengusap air mata, mengingat semua yang ibunya ajarkan, semua cinta yang diberikan.

Di luar, bintang-bintang mulai bermunculan, mengisi langit malam dengan cahaya kecil yang menenangkan. Genta merasa bahwa ibunya kini menjadi salah satu bintang itu, selalu mengawasinya dari kejauhan, memberi cahaya dan harapan.

Dengan langkah berat namun penuh tekad, Genta meninggalkan rumah sakit. Ia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi, namun ia juga tahu bahwa ibunya selalu bersamanya, dalam setiap langkah, dalam setiap senja yang indah.

Di ujung napas terakhir, cinta seorang ibu tidak pernah pudar. Itulah warisan terbesarnya, yang akan selalu mengiringi Genta dalam perjalanan hidupnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun