Mohon tunggu...
Wawan Periawantoro
Wawan Periawantoro Mohon Tunggu... Wiraswasta - Punya usaha kecil-kecilan

Seorang ayah sederhana yang terus berusaha membuat keluarga bahagia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Monopoli Regulator di Pusaran Bisnis

24 Agustus 2022   16:33 Diperbarui: 24 Agustus 2022   16:35 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi bermain monopoli. Sumber: pexels.com

Bermain monopoli, siapa tidak suka? Kamu salah satunya, bukan? Di dalam board game ini, kamu akan diajarkan bagaimana cara mengambil langkah yang tepat serta strategis. Selain itu, pemain juga diajarkan untuk mengambil risiko di kehidupan nyata. Pertimbangan yang matang dan manajemen risiko yang baik akan membawa pemain pada kondisi keuangan yang lebih stabil dan sukses. Ya, kamu bisa 'get rich' di dalam permainan monopoli.

Namun, apa jadinya jika di dalam permainan monopoli tersebut, ada seseorang yang sengaja 'memonopoli' permainan? Bukannya sukses dan memiliki kondisi uang stabil, seorang pemain malah terperosok ke dalam kerugian, sebaik apapun usaha yang mereka lakukan. 

Mungkin itulah gambaran yang terjadi pada kondisi pebisnis dengan regulator. Relasi antara pebisnis dengan regulator diharapkan harmonis dan baik, selayaknya bermain monopoli; meraup stabilitas kondisi keuangan dan kesuksesan. Namun permainan akan terhambat dan stuck membosankan ketika ada regulator yang 'memonopoli' permainan alias curang!

Saya menemukan sebuah pernyataan dari Mohamad Khusaini dalam buku Ekonomi Publik (2019:17), bahwa dalam dunia bisnis terdapat tiga peran regulator di perekonomian suatu negara, salah satunya adalah peran stabilisasi.

Peran stabilisasi dipegang oleh regulator untuk menciptakan kestabilan di bidang ekonomi, sosial politik, hukum, pertahanan, dan keamanan. Sebagai regulator, suatu entitas, baik lembaga, kelompok, atau negara berperan penting dalam mengatur dan mengontrol kegiatan ekonomi yang bermuara pada perumusan kebijakan ekonomi. 

Serangkaian hal tersebut akan memunculkan sinergisme yang bermuara pada kesuksesan bersama. Dari kacamata pebisnis, keberlangsungan usaha adalah prioritas. Sedangkan regulator berpacu pada pendapatan untuk memajukan negara. Apalagi jika regulator mendapatkan investasi dari pebisnis dalam bentuk penanaman modal asing. 

Dilansir laman The Balance, terdapat tiga manfaat dari investasi asing, (1) pertumbuhan ekonomi, negara yang mendapatkan investasi asing akan mengalami pertumbuhan ekonomi dengan terbukanya pasar global, hal ini banyak terjadi di negara berkembang, (2) terbukanya lapangan kerja, sebagian besar investasi asing dirancang untuk menciptakan perusahaan baru di sebuah negara yang otomatis menciptakan lapangan pekerjaan baru dengan upah tinggi, dan (3) transfer teknologi, investasi asing sering kali membawa teknologi dan keahlian mutakhir di negara-negara berkembang tempat investasi asing ditanamkan. 

Sudah tahu dari sinergi tersebut menguntungkan satu sama lain, sayangnya, di lapangan tak semudah khayalan tersebut. Kadang, ada pihak yang membagongkan alias bikin nganga gegara sikapnya yang labil. Padahal, mereka sedang tidak bermain monopoli, lho!

Sikap labil tersebut tidak menguntungkan berbagai pihak yang terlibat bisnis. Mulai dari regulator, pebisnis hingga pekerja yang bercokol di perusahaan tersebut. Jangan sampai hubungan labil dalam berbisnis ini bikin pengusaha harus berobat ke psikiater setiap minggunya dan bertanya-tanya dalam terapi, "apakah bisnis saya baik-baik saja? Apakah berbisnis di negara tersebut adalah keputusan yang tepat? Bulan depan ada regulasi baru tidak, ya? Saya bangkrut nggak, sih, kalau ambil langkah tersebut? Apakah saya salah melakukan bisnis selama ini?" dan berbagai racauan yang bikin pebisnis resah. 

Saya khawatir, lama-kelamaan jika pebisnis mengalami keraguan dalam berbisnis atau menginvestasikan dananya ke negara dengan kelabilan regulator, nantinya mereka berujung menginap di asylum.

Daripada mengorbankan dengan menjebloskan diri ke asylum, tentu pebisnis akan memilih untuk meninggalkan negara regulator dan memilih tempat lainnya dalam berbisnis. Jika hal ini terjadi, tentu akan jadi model buruk bagi suatu negara karena sukses mengusir investor atau pebisnis, saat negara lain, mungkin, sedang 'berikhtiar' agar investor bercokol di negaranya. 

Kembali lagi, berbisnis dengan segala tetek bengeknya, bukanlah permainan monopoli. Berbagai lapisan memiliki tujuan dan kepentingan bersama, mulai dari regulator, pebisnis, dengan pekerja dari perusahaan tersebut; menuju sukses. Namun, untuk menuju sukses tersebut, dibutuhkan implementasi berbisnis yang adil bagi semua pihak, kan? Bukannya 'memonopoli' pusaran bisnis yang hanya menguntungkan salah satu pihak saja, lho. Nggak adil, dong. Kalau begitu, latihan berbisnis lewat board game monopoli saja dulu, deh. Kamu tertarik nggak main monopoli sama saya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun