Mohon tunggu...
wawan perdana
wawan perdana Mohon Tunggu... -

Belajar

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Nak, Boleh Main Asal Pakai Masker

1 Oktober 2015   10:24 Diperbarui: 1 Oktober 2015   10:24 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu bermainnya kini dirampas oleh pembakar lahan dan hutan di Sumatera Selatan (Sumsel). Sejak asap pekat bercampur debu menyelimuti Kota Palembang, sudah jarang terdengar teriakan anak-anak kecil sambil berlari menyusuri jalan sepanjang 50 meter di depan rumah.

Setiap pagi tangannya memegang erat terlalis pintu. Sesekali bola matanya mengikuti arah langkah kaki setiap orang dewasa yang melintas di depan rumahnya. Sudah satu minggu ini si kecil saya larang bermain di luar rumah pada pagi hari.

Saya khawatir, asap pekat bercampur debu yang menyelimuti kota pempek bakal merusak kesehatannya. Lebih parah lagi, menganggu pertumbuhan fisik dan kecerdasannya. Usianya baru 1,5 tahun. Tetapi anak yang aktif, lincah, dan periang itu tak bisa menikmati penuh masa-masa pengenalan lingkungan sekitar.

Berlari-lari dari ruang tamu ke dapur, bolak balik. Lalu singgah ke kamar menjadi rutinitasnya di pagi hari beberapa hari ini. Jika bosan, saya mengajaknya nonton televisi atau membuka youtube (kalau ada sisa paket). Sekedar mendengarkan lagu anak-anak untuk membujuknya tidak main di luar rumah.

Beberapa upaya itu terkadang efektif meredam agresifitasnya untuk bermain di luar rumah. Tetapi jika sudah bosan dengan semua itu, si kecil tetap menginginkan main di luar rumah.

Tangisan menjadi senjata ampuhnya untuk minta dibukakan pintu. Beberapa kali tak saya hiraukan, tetapi tidak jarang saya terenyuh melihat matanya yang berharap banyak diajak main di luar rumah.

Kalau sudah begitu, saya sulit menahannya. Saya memberikan syarat, boleh keluar asalkan memakai masker. "Nak, boleh keluas asal pakai masker," pinta ku kepada si kecil. Ia mengangguk, tanda merelakan mau memakai masker.

Saya ambil satu masker tipis yang dibeli Oom-nya sekotak Rp 50 ribu dari atas lemari es. Talinya yang panjang saya ikat pendek, supaya pas mengapit didua telinga. Meski sudah diikat, tidak bisa dibohongi masker itu tampak kebesaran. Hampir menutupi setengah wajahnya.

Saya tak tahu apakah ia bisa bernafas dengan leluasa atau tidak. Yang terpenting bisa mengatisipasi dahsyatnya serangan asap bercampur debu sisa pembakaran lahan. Hanya bertahan tidak sampai 60 menit, masker itu sudah dilepaskan.

Apakah ia risih atau sulit bernafas, aku tahu paham. Ia hanya menggelengkan kepala saat masker mau dipasangkan lagi. Jika sudah demikian, terpaksa aku ajak kembali masuk rumah. Tak ku hiraukan lagi tangisan, karena kesehatan jauh lebih penting untuk saat ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun