Sehari Bersamamu
Pukul 06.30, Â Desember 2002
Bagi sebagian warga Bandung, Ibu kota Jakarta merupakan destinasi paling terdekat yang menawarkan berbagai fasilitas, aneka ragam menu wisata tersaji lengkap, baik wisata bisnis maupun wisata rekreasi. Sebagian penduduk Bandung biasanya berkunjung ke Ibu kota melakukan berbagai urusan, baik urusan bisnis atau hanya berakhir pekan saja. Seperti yang aku lakukan kali ini, mengurus bisnis ritaelku, sekaligus untuk berakhir pekan juga.
Tujuan dari Bandung ke Jakarta, dapat di tempuh dengan perjalanan jalur darat atau jalur udara, jalur darat bisa menggunakan mobil atau kereta api, pada perjalanan kali ini, aku menggunakan kereta api, bagiku menggunakan kereta api membuat kenyamanan tersendiri diperjalanan, jika menggunakan kereta api, jarak tempuhnya kurang lebih sekitar 3-3.5 jam.
Sedangkan tiket untuk rute Bandung- Jakarta itu, bagi orang yang sibuk sebenarnya, dapat dibeli dilayanan online, baik di traveloka atau yang menyediakan jasa yang sama. Tetapi bisa juga dibeli langsung di loket Stasiun. Sebenarnya tiket kereta api ini di tawarkan begitu murah, mulai dari Rp.80.000 hingga 110.000 untuk per-orangnya.
Seperti pada hari itu, saat aku sedikit tergesa-gesa, munuju Stasiun Bandung, untuk melanjutkan perjalananku ke ibu kota, melalui jalur darat menggunakan layanan kereta api Eksekutif Argo Parahyangan, dimana waktu keberangkatannya sekitar 06:30, tiba di Stasiun aku langsung menuju loket, membeli tiket tujuan, agak tergopoh-gopoh, karena efek  kesiangan, takut ketinggalan pemberangkatan. Karena aku tak sempat memesan tiket online.
Kemudian aku masuk ke gerbong, ketika tiket sudah di genggam, mencari tempat duduk, setelah ketemu, lalu aku duduk di nomor yang sesuai dengan tiket, posisinya sebelah pojok kanan, paling belakang, sejajar dengan toilet. Sesuai jadwal yang telah ditentukan, tak  lama setelah aku duduk, kereta perlahan meninggalkan kota kembang.
Sisa begadang semalam, terbawa juga ke perjalanan ini, mataku tak kuat aku tahan lagi, kantuk tidak bisa di tawar, kelopak mataku langsung menutup, aku terlelap tidur, pulas. Sementara sinar mentari pagi menerobos sela-sela jendela kaca, cahayanya tepat menimpa wajahku, namun sebagian mukaku tertutup masker yang sengaja aku pakai. Bukan karena anjuran pemerintah sebagai mana hari ini, karena wabah corona. Waktu itu, sebelum ada wabah corona pun, sudah jadi kebiasaan ketika bepegian kemana-mana, apalagi ketempat ramai banyak orang, pasti aku menggunakan masker.
 "Mas, Mas, permisi tiketnya..! Entah, sudah sampai mana..? aku tak tahu, aku terbangun dari lelapnya tidur, oleh kondektur untuk memeriksa tiket yang aku bawa, perlahan aku membuka mata, sedikit kesal, mengganggu tidur, pikirku.
"Ini pak", kataku singkat, kemudian ia periksa "iya, makasih ya mas", katanya. Aku tak menjawab, "lanjutkan mas" sahutnya. Beres tiket nya di periksa, Aku langsung tidur kembali. Tak peduli dengan orang yang ada di sampingku.
Pukul 08.00, Desember 2002
Aku terbangun kembali, kali ini oleh suara bising telepon dipinggirku, awalnya aku tak peduli, lama-lama, ini orang suaranya makin kencang aja, bisikku. Aku sedikit kesal, mau mendambrat orang itu, tapi ku tahan, sudah gak sopan menggangu kebebasan orang lain aja, gerutuku, Aku masih diamkan, selintas aku mencoba menoleh ke arahnya, namun terhalang oleh masker yang menutupi sebagian wajahnya itu, aku jadi menerka-nerka, ni orang, siapa ya...?, perasaan aku kenal, pernah ketemu, dimana ya..? jadi sedikit penasaran, pikirku. Udah ah, aku gak peduli, pikiranku meracau.
Selain terganggu suara telepon tadi, sebenarnya perut ku juga memanggil-manggil untuk di isi. tak tahan dengan kondisi ini, aku memesan makanan pada pelayan, segalas coffe dan juga roti. Tak lama sudah diantar tepat dimeja dihadapanku, Aku mulai membuka maskerku untuk menikmati secangkir coffe yang masih mengepul itu.
Orang yang disampingku, membuka maskernya juga, untuk meneguk air mineral yang dibawanya, seolah ada yang menyuruh, aku jadi menoleh untuk kali kedua, pas melihat wajahnya, betapa terperanjatnya aku, sedikit melongo, tak percaya, bibirku refleks, sul...suliiis kan...? Aku agak ragu, apalagi yang ditanya seakan mengujiku, tak menjawab..! sambil mengerutkan dahinya.
Namun, kontak retina tak terelakan, sedikit keheranan, dia pun menyimpan kagetnya bukan main, eh, kamu, kamu Raehan kan..? balik bertanya. Meyakinkannya, Sulis adalah teman sekolahku waktu SD, sekaligus tetanggaku dulu, hanya terhalang 5 rumah dari rumahku, namun semenjak neneknya wafat, sulis dan keluarganya pindah ke daerah Garut, waktu itu, aku dan Sulis baru kelas 5 SD. Kini setelah 12 tahun, waktu mempertemukan aku lagi, dimana aku baru saja menamatkan S 1 di Jurusan Teknik Bangunan.
Bisa ketemu disini ya...?, bisa bareng dan tepat ada disampingku. Â Entahlah, sungguh aku tak tahu, tak direncanakan, penuh misteri, tak bisa kita prediksi, dan ini jarang terjadi. Ungkapku.
 Pukul 09.30, Desember 2002
Selama di kereta, aku ngobrol ngalor ngidul bersama Sulis, tak terasa sampai juga di stasiun Gambir, "Re, kalau kita sudah beres dengan urusan masing-masing, kita jalan dulu yu", ajak Sulis, "Ya, boleh" "hanya untuk melepas kangen juga berakhir pekan, aja Re". Sulis seolah tak yakin Raehan akan datang. Menegaskan untuk kali kedua, "Re, kalau sudah beres dari urusanmu, kita keliling ya dan terakhir di Le Bridge Ancol, untuk menikmati desiran ombak juga sunset", untuk meyakinkan, Raehan hanya mengangguk setuju.
Bergegas dari kereta, aku tak membuang waktu, melanjutkan perjalanan menepati janji, menemui rekan-rekan bisnisku di lobi hotel, dua jam, aku baru kelar dari segala urusanku itu. Beres dari kegiatan itu, aku langsung menemui Sulis ditempat yang telah dijanjikan.
Re, "lo kemana, rusuh amat"..tanya Tio padaku, "ia nih biasanya juga kongkow dulu", sahut Arman, "gak, gak ada apa-apa, aku ada urusan dulu bentar", jawabku, "tumben" Tio seolah tak yakin, bener nih, lanjut Fadlan. "Ia aku serius", timpal ku. Oke ya, aku cabut dulu nih, sambungku, iya-iya jawab semua. Dengan tatapan sedikit sangsi dan penuh heran. Â
Pukul 14.20, Desember 2002
Mengitari Kota Tua, dan destinasi lainnya, kemudian mencicipi kerak telor juga gado-gado Mpok Atun, bersamamu, membuat aku lupa segala urusan yang menyita pikiranku. Padahal aku baru hari ini ketemu Sulis lagi, tapi kenapa serasa udah sering, seakrab, sedekat ini, Seperti kedekatan dan kebersamaan kita dengan Tuhan, yang tidak bisa terpisahkan.
Aku sengaja pilih Le Bridge Ancol ini, karena ini tempat paling romantis menurutku, selain itu, untuk menikamti desiran ombak dan wisata baharinya, melepas penat, bercengkrama  denganmu sambil menikmati sunset. Menjadikan tempat ini hangout terfavorite di ibu kota.
Atau hanya untuk berjalan-jalan sore hari, sambil menikmati segarnya angin laut, seperti aku dan sulis. Melewatkan sore itu, diantara gemerlap lampu diresto Le Bridge sambil ditemani temaram cahaya lampu dermaga, berbagai hidangan menu bernuansa khas Eropa menambah kelengkapan, juga semakin memperindah momen ekslusif ini, hingga kini, sejuta kenangan romantis di Le Bridge saat bersamamu masih tersimpan di lubuk hatiku.
Pukul  19.30, Desember 2002
Sehari bersamamu, menjadi sangat singkat bagiku, secepat kilat waktu berlalu, tak terasa, bagaikan satu jam, begitupun kehidupan kita, akan terus cepat berlalu, tidak bisa di ulangi dan apalagi di putar kembali. Lantas apa yang telah kita persiapkan untuk hari esok itu...?
Dan momen-momen itu, saat-saat bersama-mu, apa mungkin terulang kembali...? Aku tak tahu..!, kenapa aku sangat merindukan momen itu dan dirimu..?, seolah ada sebagian yang hilang dariku, padahal aku baru ketemu lagi denganmu, kapan kita bisa bersama lagi....?, anganku penuh harap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H