Mohon tunggu...
Wawan Hermawan
Wawan Hermawan Mohon Tunggu... Guru - Guru, Penulis, Blogger

Hobi jalan-jalan, membaca, menulis dan membahagiakan orang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Benih Itu Masih Ada!

25 Februari 2024   13:48 Diperbarui: 25 Februari 2024   13:50 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Benih itu masih ada!

 

"Nun, mau kemana?", Tanyaku pada Nuni, ia hanya memicingkan matanya, "ah, kamu kepo", jawabnya ketus, "oh, ko begitu sih", jawabku sambil tersenyum, lalu Nuni menimpali, "nanti aku kasih tahu ya" katanya sambil berlalu dan sedikit berlari agak tergesa-gesa seolah ada yang hendak di selesaikannya, "Ok" jawabku singkat, "kamu pulangnya gak bareng aku", "enggak" singkat, "aku ada yang jemput", katanya. Aku dan Nuni sudah lama berkawan semenjak perkenalan pada acara OSPEK Mahasiswa baru di kampus.

Sejak kejadian itu, kurang lebih sudah 3 hari ini aku tak ketemu dengannya, tiga hari bagiku waktu itu serasa tiga bulan, "kemana ia ya?", tanya dalam benakku, lamunanku melayang ke angkasa, "kenapa aku harus secemas ini?" aku coba buang jauh rasa itu.

Kuliah tak masuk, ia menghilang entah kemana, Hand Phone-nya tak aktif, aku susul ke kostan-nya tidak ada, aku tanya keteman-temannya enggak satupun yang tahu keberadaannya, aku menjadi khawatir dibuatnya gundah dan semakin tak tenang, perasaanku menerka-nerka apa sebenar yang terjadi?. "Ah, sudahlah" bisik hatiku, lagian dia bukan siapa-siapanya aku, ngapain aku harus cemas dan khawatir, ia hanya teman tak lebih "hanya teman" aku berusaha menegaskan kesekian kalinya dan berusaha menekan untuk menetralkan hati.

Bagaimana aku tak cemas, aku sudah tiga tahun berkawan, "sangat dekat dengannya namun tak pernah ada kesepakatan atau kata cinta yang terucap, seolah hubungan tanpa status, status tanpa hubungan, teman tapi mesra", begitu kira-kira. Suka duka di bagi bersama, berangkat kekampus bareng, pulangpun demikian, kadang aku harus mengunggu sampai ia beres kuliahnya. Ya kadang aku jail padanya, Nuni juga kadang jail padaku, ketika aku berada dalam kesusahan Nuni yang mampu memberikan solusi atas masalah yang dihadapi, maka ketika Nuni menghilang kenangan itu muncul menghiasi lamunan panjangku dan aku rindukan itu semua.

Ditengah hati yang terus bertanya-tanya, aku ketemu Nuni dalam keadaan lusuh, muka pucat, bibir kering, entah apa yang telah terjadi padanya, aku tak banyak bertanya, hanya diam membisu, tak ada sepatah katapun, apalagi obrolan yang seperti biasa ketika bertemu yang ada saja bahasannya, aku larut dalam keadaaan itu, terdiam.

Tanpa kata Nuni merangkulku dan menangis sejadi-jadinya, seolah memberitahu dan ingin menumpahkan segala keluh kesah yang dialaminya sekarang ini, aku semakin bingung, "ada apa?" tanya dalam hati. Aku diamkan saja ia nangis dipundakku, agar segala bebannya terurai bersama menetesnya air mata yang terus membanjiri pundakku, "biarlah aku jadi sandaran saat ia berada dikubangan masalah". gumamku .

Nuni sampai sekarang masih saja bungkam soal masalah yang dialaminya, aku tentu tak berhak masuk ke ranah priviasi apalagi memaksanya untuk berterus terang menceritakan semua, karena aku juga tahu diri.

Seiring berjalannya waktu, informasi aku dapatkan dari temen dekatnya itupun sedikit aku paksa untuk berterus terang, "Gea" seakan ragu untuk menyampaikan itu padaku, namun ia mulai menceritakan semua bahwa orangtuanya melarang Nuni berdekatan dengan diriku, tentu tanpa penjelasan yang rincipun aku sudah dapat menebak kearah mana tujuan tersebut. Aku sudah dapat tafsirkan sendiri. "Makasih ge, ucapku singkat pada Gea.

@@@

Kadang kita tak mampu meninggalkan untuk menunggalkan, mengubah status aku dan kamu menjadi kita, karena terkadang kita terlalu matematis dan realistis padahal kehidupan sendiri penuh misteri tak dapat kita tebak.

Lagi pula aku juga bukanlah sultan yang segalanya ada "harta apalagi takhta", aku hanya punya cinta tulus sekalipun belum aku ucapkan tapi gerak dan perhatianku selama ini kiranya sudah mewakili rasa yang menggebu dalam dada dan siap berjibaku mewujudkan semua yang kita impikan, "hanya itu".

Kita memang berbeda kasta, aku sangat menyadari soal itu, semuanya sulit untuk dicarikan titik temu dan tak mungkin dapat dipaksakan, kekhawatiran orang-orang sekeliling kita akan hal yang belum terjadi sudah meracuni semua alam pikiranmu dan mereka terlalu matematis dalam menyikapi tentang kehidupan ini, seolah Tuhan ini tiada. Ketakutan pada kekayaan dan kesenangan semata, hanya itu yang mereka takutkan, soal perut, kedudukan dan kekayaan.

@@@

Perjalanan panjang mengantarkan aku untuk terus mengarungi kehidupan, pahit, getir dan jenuh telah menemani sepenggal jalan ini, namun seutas senyum mampu memberikan keteguhan serta efek positif agar aku mampu bertahan dari segala badai yang menghampiri. "Ya hanya senyummu", senyuman yang seolah mengandung alkohol karena mampu membuat aku jadi mabuk kepayang.

"Kenapa rasa ini sulit aku buang jauh dalam hati?, gumamku, padahal aku tahu, kamu bukanlah siapa-siapanya aku, "duuh, aku menarik nafas agak panjang, seolah ingin melepas beban rindu yang kian membeku. Aku sadar rasa ini terlalu liar berada dalam khayalku, tak mungkin akan ada rasa yang sama dan sejalan dengan gundahnya rasaku. Aku yang terlalu ke-PD-an dalam menafsirkan senyumanmu itu.

Tersiksa rasa seperti ini sungguh sangat tak mengenakan, aku terus saja dibayangi rasa rindu akut tingkat dewa namun apa daya, rindu yang berbalas, mungkinkah?, aku jadi bertanya-tanya dalam hati, salahkah bila rindu itu semakin bersemanyam dalam dadaku, aku terus bertanya dalam lorong bantinku sendiri.

Rasa itu masih ada dan bersemayam di lubuk paling dalam dipalung hatiku hingga saat ini dan untuk selamanya benih itu masih akan tetap ada dan akan terus disiram agar tetap mekar, sekalipun bibirku masih saja bungkam soal rasa, biarlah itu ada walau hanya sebatas angan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun