Mohon tunggu...
Wawan W Efendi
Wawan W Efendi Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Buku dan Inventor Paten

Wawan W. Efendi lahir di Lamongan Jawa Timur. Ia tercatat sebagai mahasiswa Magister Teknologi Pendidikan (S2) Universitas PGRI Adi Buana Surabaya. Ia telah menerbitkan beberapa buku skala nasional dan saat ini tenggah menggeluti bidang Hak Kekayaan Intelektual sehinggah telah mendaftarkan 3 paten.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kurikulum Pendidikan Nasional, Antara Amanat UU dan Degradasi Moral di Era Disrupsi

27 Juni 2022   09:34 Diperbarui: 28 Juni 2022   10:12 1224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pendidikan Indonesia. Sumber: Antara Foto/Novrian Arbi via Kompas.com

Pendidikan merupakan fondasi utama dari kebudayaan dan peradaban suatu bangsa. Kesadaran akan pentingnya pendidikan sejatinya dapat menjadi tolak ukur dari kualitas sumber daya manusianya. 

Negara-negara yang saat ini sudah mencapai tingkat kemajuan peradaban dan teknologi, telah terbukti dapat menghadirkan pendidikan yang berkualitas bagi setiap warganya. Oleh karena itu, kualitas pendidikan akan senantiasa berbanding lurus dengan kualitas sumber daya manusia suatu bangsa.

Indonesia sebagai negara yang mengamanahkan pendidikan dalam pembukaan undang-undang 1945 sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, sudah seharus menempatkan pendidikan pada urutan pertama yang harus menjadi prioritas nasional. Namun sayangnya pendidikan Indonesia masih banyak menyisakan problematika yang butuh penyelesaian serius. 

Jika menilik pada Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi di Indonesia, maka akan didapati angka yang masih sangat rendah. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2022), APK Perguruan Tinggi di Indonesia dalam 3 tahun terakhir hanya berada dikisaran angka 30 - 31% saja. Dimana pada tahun 2019 sebesar 30,28%, tahun 2020 sebesar 30,85%, dan tahun 2021 sebesar 31,19%.

Data APK Perguruan Tinggi Indonesia (BPS, 2022)
Data APK Perguruan Tinggi Indonesia (BPS, 2022)

Data tersebut di atas menunjukkan bahwa masih belum banyak masyarakat Indonesia yang melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Oleh karena itu, jika Negara ingin meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, maka sudah seharusnya permasalahan APK perguruan tinggi tersebut harus segera diselasaikan dengan cara yang tepat guna dan tentu perlu percepatan. 

Terlebih lagi, Indonesia telah mencanangkan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang merupakan manifestasi dari mutu serta jati diri bangsa Indonesia. 

Kurikulum Pendidikan Nasional Jauh dari Amanat Undang-Undang?

Berbicara tentang pendidikan nasional, tidak akan dapat terpisahkan dengan kurikulum. Karena sebagaimana tertuang dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Kurikulum sejatinya merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. 

Masykur dalam bukunya yang berjudul Teori dan Telaah Pengembangan Kurikulum 2019, menjelaskan bahwa kurikulum memiliki peranan yang sangat strategis dalam proses pendidikan guna mengembangkan peserta didik baik secara jasmani maupun rohani. Bahkan dalam tingkatan lebih luas, kurikulum dipandang dapat menjadi tolak ukur kemajuan pendidikan suatu bangsa.

Sejak ditetapkannya UU No. 20 tahun 2003 tersebut, pendidikan nasional telah mengalami berbagai perubahan kurikulum. Seperti pada tahun 2004 dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), tahun 2006 dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kemudian pada tahun 2013 diperkenalkan kurikulum 2013 (K-13), dan yang terbaru dikenalkan kurikulum merdeka yang diproyeksikan akan menjadi kurikulum nasional pada tahun 2024.

Masing-masing kurikulum yang telah diimplementasikan di Indonesia memang memiliki kelebihan dan kerungannya sendiri-sendiri. Namun terlepas dari itu, sejatinya kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perkembangan. Bahkan pada kurikulum merdeka yang teranyar mengusung paradigma baru dimana pembelajaran haruslah menggunakan pendekatan berpusat pada peserta didik. Sehingga diharapkan potensi atau bakat setiap peserta didik akan berkembang dengan baik.

Lantas pertanyaan besarnya, benarkah kurikulum Pendidikan Nasional sudah ideal ?

Ukuran dari bentuk ideal dari kurikulum pendidikan bagi setiap orang atau pihak sejatinya bisa saja berbeda-beda. Ada yang mungkin mengambil barometer dari luar negeri serta modernisasi. Tetapi ada pula yang mungkin mengedepankan kearifan lokal yang ada. Namun alangkah lebih bijaksananya jika ukuran ideal tersebut dikembalikan pada UU No. 20 tahun 2003, bahwa

tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Jika dilakukan komparasi antara amanah Undang-Undang tersebut dan pelaksanaan kurikulum Pendidikan Nasional, seringkali didapati adanya kesenjangan. Dimana banyak pelaksanaan pendidikan yang hanya bertolak ukur dari keahlian peserta didik untuk mendukung pekerjaan atau profesi kedepannya. Sehingga tujuan agar beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa seringkali terabaikan bagitu saja. 

Hal itu juga terbukti dengan mata pelajaran yang berdiri sendiri-sendiri. Misalnya mata pelajaran biologi, hanya dipelajari sebagai ilmu pengetahuan biologi saja, tanpa ada integrasi dengan agama. Sehingga praktis urusan iman dan takwa itu hanya diserahkan pada mata pelajaran agama saja. Padahal, jika keduanya diintegrasikan akan menghasilkan keimanan yang kuat. Karena ilmu pengetahuan yang dipelajari digunakan sebagai pembuktian terhadap apa yang diimaninya.

Kondisi tersebut sejatinya tidak serta merta dapat disimpulkan bahwa kurikulum Pendidikan Nasional telah melenceng jauh dari amanah Undang-Undang. Tetapi hanya saja belum sepenuhnya sesuai dengan tujuan utama dari Pendidikan Nasional yang diamanahkan dalam UU No. 20 tahun 2003.

Kurikulum Pendidikan Nasional Tidak Mampu Menyelamatkan Degradasi Moral di Era Disrupsi?

Perkembangan internet dan teknologi dalam satu dekade terakhir ini telah menghadirkan berbagai perubahan dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi ini disebut sebagai era disrupsi. Era ini ditandai dengan berkembangnya teknologi digital atau robot yang menggantikan dan mengubah peranan serta pekerjaan manusia. 

Kehadiran teknologi digital ini tidak hanya mengubah pada tingkatan individu, tetapi juga pada sistem negara hingga dunia. Konsekuensi dari kemunculan era disrupsi ini telah mendorong manusia untuk melakukan aktivitas yang selalu mengarah pada teknologi digital, dan mayoritas masyarakat menikmatinya. Maka tidak heran jika dunia saat ini telah didominasi dengan teknologi digital.

Selain tentang mengantikan peran manusia, rupanya era disrupsi teknologi ini telah mampu memanipulasi dan mendikte mayoritas manusia. Dan dahsyatnya dapat membuat kita tidak sadar akan hal itu. 

Seolah kehidupan ketergantugan dengan teknologi digital itu adalah sebuah kelumrahan. Tidak sedikit pula orang yang merasa lebih bergairah hidup dalam dunia digital ketimbang dalam kehidupan nyata. Bahkan ironisnya, hal itu telah berhasil mendobrak norma-norma budaya hingga nilai-nilai agama. Sehingga menyebabkan degradasi moral semakin besar.

Degradasi moral sendiri telah menjadi isu yang cukup memprihatinkan belakangan ini. Salah satu contoh dari degradasi moral ini adalah pergaulan bebas yang terjadi dikalangan remaja. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2017, terdapat 8% laki-laki dan 2% persen wanita umur 15 sampai 24 tahun yang telah melakukan hubungan seksual, dimana 11% darinya hamil diluar nikah.

Angka tersebut kemudian meningkat pada tahun 2019, berdasarkan data dari Reckitt Benckiser Indonesia menjadi 33% remaja Indonesia telah melakukan hubungan seksual. Belum lagi jika kita perhatikan kasus satu persatu yang diberitakan oleh berbagai media masa telah membuat kita terenyuh melihatnya. Mulai dari kasus pemerkosaan, asusila hingga prostitusi online yang hampir tiap hari seolah tiada hentinya.

Contoh lain dari degradasi moral ini adalah fenomena tawuran pelajar yang kian hari kian meningkat. Bahkan belakangan ini begitu banyak podcast di cannel youtube yang membahas fenomena tawuran pelajar. Bahkan banyak yang menghadirkan secara langsung mantan pelaku tawuran pelajar tersebut. Ironisnya seiring dengan kencangnya podcast tersebut, fenomena tawuran, begal hingga klitih makin bermunculan pula di beberapa daerah yang semula belum pernah terdengar fenomena itu.

Tentu contoh degradasi moral lainnya masih sangatlah banyak. Tetapi dari fenomena tersebut sepertinya sudah cukup mengambarkan meningkatnya degradasi moral di Indonesia. Fenomena degradasi moral tersebut juga secara tidak langsung telah menunjukkan pada kita bahwa pendidikan nasional sejatinya belum bisa mencegah laju degradasi moral generasi muda Indonesia. 

Padahal jika merujuk pada tujuan Pendidikan Nasional yang tertuang pada UU No. 20 tahun 2003, maka sejatinya pendidikan nasional belumlah sepenuhnya mampu menghasilkan peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.

Lantas, Kurikulum Merdeka yang teranyar apakah dapat menjawab amanah UU No. 20 tahun 2003 sekaligus menangkal degradasi moral di era disrupsi?

Kurikulum Merdeka memang saat ini belum ditetapkan sebagai kurikulum nasional, namun baru akan ditetapkan pada tahun 2024. Meskipun demikian, pergerakannya sudah sangat meluas di berbagai daerah di Indonesia. Karenanya mari bersama-sama berdoa semoga dapat menghasilkan generasi muda yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia serta berkualitas. 

Selain itu, mari bersama-sama mengawal pelaksanaannya agar tidak hanya bagus dalam tingkatan kurikulum saja, tetapi pelaksanaannya dilapangan bisa sesuai dengan tujuan Pendidikan Nasional seperti yang dicita-citakan bersama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun