Mohon tunggu...
Wawan Kurn
Wawan Kurn Mohon Tunggu... Administrasi - Belajar Menulis, Senang Membaca, Hobi Memancing. Dapat dikunjungi di www.wawankurn.com

Belajar Menulis, Senang Membaca, Hobi Memancing. Dapat dikunjungi di www.wawankurn.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Kami Menghitung Senyuman?

6 Oktober 2016   23:40 Diperbarui: 6 Oktober 2016   23:49 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber dok pribadi. Galang yang memegang piala.

Di ruang kecil yang kira-kira berukuran ± 42 m2, kami terkadang berbahagia dan bersedih dalam waktu yang bersamaan. Tahun kemarin, tepatnya 10 April 2015 kami menyulap ruangan itu menjadi ruang baca sederhana. Di tempat itu, setiap hari Sabtu menjadi tempat bermain dan belajar bagi anak-anak di daerah Mawang Asri, Kabupaten Gowa. Lalu, mengapa kami menghitung senyuman?

Seperti ruang baca, Rumah Literasi di Kabupaten Soppeng yang kami dirikan di tahun 2014, kami pun kembali fokus pada anak-anak. Kohlberg, seorang peneliti psikologi moral percaya bahwa anak-anak adalah filsuf yang tak tersentuh. Dua ruang baca yang kami hadirkan perlahan mendukung apa yang disampaikan Kohlberg. Setiap kami berkunjung dan mendengar celoteh mereka satu per satu, kami akan tersenyum dan bertanya dalam hati. Mengapa mereka menjelma seperti ini? Pasalnya, apa yang mereka katakana bukanlah sesuatu hal yang semestinya diungkapkan anak seusia mereka. Begitu mudahnya mereka memaki satu sama lain dan berteriak-teriak di dalam ruangan. 

Membaca jelas bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan dalam ruangan yang dipenuhi keributan adik-adik Bolpart. Setiap Sabtu, kami menemukan hal yang serupa. Adik-adik tiba di dalam ruangan dengan kebahagiaan yang sulit dijelaskan. Kadang di antara mereka, ada yang masuk dengan membawa snack jajan, minuman, atau mungkin buah seperti mangga, rambutan, dan jambu. Parahnya, terkadang ada yang masuk dengan kaki yang berdebu dan membuat kami harus menguras energi tambahan untuk menegur lalu kemudian membersihkannya. Sehabis menikmati jajanannya atau kulit buah, mereka dengan enteng membuang bungkusan di dalam ruangan. Dan percayalah, menghadapi sejumlah anak dengan watak demikian terkadang membuat kita akan merasa tak berdaya sama sekali.  

Jika melihat lingkungan sekitar, pada dasarnya tingkah yang mereka perlihatkan adalah kumpulan dari pengalaman sehari-hari. Baik di dalam keluarga, sekolah maupun di tempat bermain mereka. Jika adik-adik di Bolpart saling memaki saat berselisih, atau saling pukul saat tak lagi mampu mengendalikan diri, kami menduga bahwa semua itu barangkali adalah sesuatu yang mudah ditemukan di sekitarnya. Mungkin tetangga, atau bisa jadi ayah dan ibunya adalah guru yang tidak secara langsung mengajarkan semua perilaku itu. Tingkat pendidikan dan ekonomi yang masih tergolong rendah juga menjadi faktor dari semua itu.    

Kadang kala, tenaga kami lebih banyak terkuras bukan karena menemani mereka belajar dan bermain, akan tetapi terkuras karena lelah menegur mereka satu per satu. Kami anggap saja semua ini adalah bagian dari belajar dan bermain, hingga pada akhirnya nanti, tak ada yang perlu disesali. Hingga beberapa bulan kami mulai menemukan pola kecil dari tingkah adik-adik yang rutin berkunjung di setiap Sabtu. Melihat tingkah laku mereka yang sulit dimengerti, membuat saya mengingat film Ron Clark Story. Sebuah film yang sebenarnya diangkat dari kisah nyata seorang guru yang harus menghadapi murid-muridnya yang nakal. 

Saat tiba di sekolah barunya di New York, ia memutuskan untuk memilih kelas yang nilainya paling rendah. Kelas yang telah membuat beberapa guru menyerah dan memutuskan keluar dari sekolah itu. Kelas yang murid-muridnya bangga jika berhasil melihat wajah putus asa sang guru. Kelas yang hampir seluruh siswanya sulit untuk tersenyum bahagia menerima pelajaran, hanya tersenyum jikalau berhasil mencaci gurunya. Ron Clark membuat sejumlah aturan di kelas, aturan pertama “we are a family” namun ada masa ia merasa ingin berhenti dari kelas itu. Terlebih aturan-aturan yang ia pinta hanya diabaikan begitu saja. Kelas dihancurkan meski telah didekorasi semenarik mungkin oleh sang guru. Hingga salah seorang teman dekatnya, mengajaknya untuk kembali menguatkan tekad dan terus berjuang. Apa yang dilakukan sang guru untuk menaklukan tantangan itu?

Di pertemuan pertama, Ron Clark mengajak siswanya untuk bermimpi besar dan berani mengambil risiko. Semua itu kembali menjadi sumber kekuatan untuk dirinya agar kembali ke kelas. Berbagai inovasi ia lakukan di dalam kelas, dengan game, pelajaran menghafal sejarah presiden Amerika Serikat disulap menjadi lagu hip hop. Satu per satu rumah siswanya ia kunjungi, alhasil ia berhasil menciptakan kelas dengan siswa yang semangat untuk terus belajar. Saat ujian nasional, kelas yang dulunya memiliki predikat nilai terendah, berubah menjadi nilai tertinggi.

Meski adik-adik di ruang baca Bolpart tidak sepenuhnya mirip dengan siswa di kelas Ron Clark, namun saya belajar beberapa hal dari apa yang telah dilakukan sang guru. Mengubah perilaku bukanlah hal yang sederhana, bahkan bagi seorang psikolog pun apalagi saya yang masih lulusan S1 Psikologi. Melewati akhir pekan di Bolpart, saya ditemani beberapa teman yang masih sibuk dengan tugas kampus dan menyusun skripsi demi melahirkan senyum di wajah orang tua mereka masing-masing. Sebisa mungkin, kami mencari waktu serta solusi untuk sedikit mengubah kebiasan mereka. Hidup bersih dan belajar untuk berdamai dengan sesama, mengurangi kata-kata yang tak semestinya diucapkan, menghilangkan kekerasan, dan mengajak mereka untuk lebih banyak tersenyum. 



Kami sepakat menciptakan “papan bintang” yang ditempel di dinding. Cara kerjanya sederhana, bagi adik-adik yang bertingkah laku baik dan membaca buku mereka kami akan berikan hadiah bintang hijau di papan. Dan yang bertingkah tidak sepantasnya, kami berikan bintang merah. Bagi yang mendapat bintang hijau terbanyak akan kami hadiahkan piala. Perlahan, kami lebih banyak melihat senyum dan mereka mulai peduli dengan sampah, dan buku-buku yang dijaga dengan rapi. Mereka mengatur dan membersihkan buku-buku di rak setelah kelas berakhir. Menyapu kelas, pulang dengan bersalaman terlebih dahulu. Semua itu mereka lakukan demi mengharapkan hadiah bintang hijau. Meskipun ada juga yang tetap bandel dan sulit diajak kerjasama. Namun lama kelamaan, ia akan belajar dari temannya yang lain. Galang, anak usia dua belas tahun menjadi orang pertama yang kami hadiahkan piala atas keberhasilannya membaca dua puluh buku anak-anak dalam dua bulan dan bersikap baik dengan sesama.

sumber dok pribadi. Galang yang memegang piala.
sumber dok pribadi. Galang yang memegang piala.

Dua bulan berjalan, “papan bintang” itu membuat kami belajar. “Papan Bintang” itu sebenarnya adalah ide setelah saya membaca The Power of Habit karya Charles Duhigg. Bahwa kebiasaan adalah sebuah rutinitas dengan memperhatikan tiga hal. Pertama, ada reminder bintang-bintang berwarna hijau atau merah akan menjadi pengingat bagi adik-adik Bolpart. Dengan mudah mereka melihat pencapaian yang telah dilalui setiap pecan. Hal kedua adalah routine, pada tahap ini kita munculkanlah apa kebiasaan yang diharapkan. Seperti rajin membaca, perilaku bersih, saling menghargai, menghormati, dan lebih banyak tersenyum. Dan hal ketiga adalah reward, melalui pemasangan bintang setiap kelas berakhir, itu menjadi hadiah yang membuat mereka akan selalu ingin mengulang perilaku itu. Pengulangan itu akan menjadi habit baru dari adik-adik Bolpart. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun