Mohon tunggu...
Wawan Kurn
Wawan Kurn Mohon Tunggu... Administrasi - Belajar Menulis, Senang Membaca, Hobi Memancing. Dapat dikunjungi di www.wawankurn.com

Belajar Menulis, Senang Membaca, Hobi Memancing. Dapat dikunjungi di www.wawankurn.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar Mencurigai Diri Sendiri

1 September 2016   14:03 Diperbarui: 1 September 2016   14:17 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mungkin manusia adalah kumpulan kejahatan yang berpura-pura menjadi kebaikan. Ketika kata “pencitraan” sering kita dengar menjelang pemilihan umum, di sana ada banyak yang melepas kedirian mereka yang sesungguhnya. Menjadi apa saja yang menurut orang lain baik hingga berusaha menjadi baik. Semua itu menjadi tujuan utama dalam “pencitraan”.

Ada pula sebagian orang yang dengan gagah berani melontarkan hinaan kepada orang yang melakukan “pencitraan.” Sayangnya, mereka tanpa sadar telah ikut melakukan pencitraan dengan jalan yang berbeda. Setiap orang telah mulai membentuk diri mereka untuk menghadapi lingkungannya. Benar adanya jika ada yang mengatakan hidup hari ini tak lebih daripada sekadar pencitraan.

Lihat saja jejaring sosial dan segala kecanggihan teknologi yang digunakan untuk menggambarkan serta menjelaskan apa yang kita miliki. Tidak banyak orang yang dengan sengaja atau tidak sengaja sibuk memperlihatkan dirinya. Seolah semua hal menjadi perlombaan untuk memperlihatkan siapa yang lebih baik dan siapa yang lebih buruk. Kondisi ini pula yang diam-diam hendak menggiring kita menuju situasi yang lebih daripada sekadar pencitraan.

Jean-Jacques Rousseau pernah menyampaikan pendapatnya bahwa perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan kesenian hanya menghasilkan ketidaksungguhan, kemunafikan, kecongkakan, serta kesombongan bagi umat manusia. Apa yang hendak disampaikan Rousseau dapat menjadi sebuah awal pemikiran yang bisa kita jabarkan bersama nantinya.

Tak jauh berbeda dengan Rousseau, Baltasar Gracian, seorang penulis dan pendeta Jesuit Spanyol, mengatakan manusia terlahir sebagai makhluk barbar. Melalui kultur, ia diangkat naik setingkat lebih tinggi ketimbang hewan buas. Pernyataan itu sepertinya tepat dengan kondisi yang terjadi akhir-akhir ini. Sejumlah kejadian memperlihatkan bahwa manusia kadang tak jauh berbeda dengan hewan, atau lebih kejam dibanding hewan. Penggambaran itulah yang menjadi salah satu pesan dalam buku Animal Farm karya George Orwell. Jika saja kita gemar berbenah, lebih banyak melihat ke dalam diri dibanding ke luar tanpa berlomba dalam melihat dan mengutuk kekurangan orang lain, kehidupan mungkin bisa menjadi lebih baik.  

Lain halnya dengan Philip Zimbardo, seorang tokoh psikologi sosial yang juga pernah menjabat Presiden Asosiasi Psikologi Amerika (American Psychological Association). Ia memiliki temuan yang menarik. Ketika Zimbardo melakukan penelitian yang dikenal dengan nama Stanford prison experiment, ia mencoba melihat peluang orang baik berubah menjadi orang yang berlaku jahat.

Penelitian tersebut tentu saja menyalahi aturan atau kode etik yang berlaku. Zimbardo menuai banyak kritik atas ide itu. Walhasil, melalui percobaan ini, Zimbardo menyimpulkan bahwa orang-orang baik dan sehat secara psikologis dapat melakukan kejahatan jika dihadapkan pada situasi yang memungkinkan mereka untuk melakukannya. Lingkunganlah yang paling berpengaruh dalam terjadinya perubahan yang ada. Seluruh gagasan penelitian itu dijadikan buku yang diberi judul The Lucifer Effect

Kebanggaan menjadi diri sendiri kadang membuat kita lupa akan sejumlah kondisi yang ada di sekitar kita. Kesenangan kita mencurigai orang lain dan memberi komentar negatif atas sejumlah peristiwa bisa menjadi bumerang untuk kita sendiri. Mungkin ketika diserang perasaan tersebut, bukan hal yang mustahil bagi kita untuk berubah menjadi lebih kejam daripada hewan.

Masih ingat dengan  Kasus Angeline? Bocah berusia 8 tahun yang hilang sejak pertengahan Mei 2015, lalu ditemukan tewas terkubur di halaman belakang rumahnya di Jalan Sedap Malam, Denpasar, Bali. Hasil otopsi menyatakan Angeline sudah meninggal tiga minggu sebelum jenazahnya ditemukan. Pada tubuh jenazah anak itu, ditemukan luka-luka akibat tindak kekerasan berupa memar pada wajah, leher, serta anggota gerak tubuh atas dan bawah. Selain itu, ditemukan empat luka lilitan akibat tali plastik. Kasus yang menimpa Angeline merupakan salah satu dari sekian banyak kasus yang membuktikan kemampuan manusia untuk memperlihatkan kekejaman.   

Tidak ada jaminan bahwa pada masa depan kita akan menjadi orang baik atau orang jahat. Yang dapat kita lakukan hanyalah berbuat baik pada masa yang saat ini mungkin kita miliki. Sebab, kita hidup di tengah berbagai kemungkinan. Patutlah kita belajar mencurigai diri sendiri.

Mengendalikan masa depan dengan mengendalikan masa kini merupakan cara terbaik. Jika The Lucifer Effect dari Zimbardo benar adanya, pertanyaan selanjutnya adalah apakah kita telah berada atau membentuk situasi yang lebih baik atau lebih buruk? Mungkin kita memang kumpulan kejahatan yang beruntung berada dalam situasi atau lingkungan yang lebih baik. Mungkin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun