Mohon tunggu...
Muhamad Budi Hermawan
Muhamad Budi Hermawan Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nasional Angkatan 2018
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Universitas Nasional Cabang Jakarta Selatan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penegakan dan Perlindungan Hukum bagi Warga Negara di Bidang Publik

3 Mei 2020   00:21 Diperbarui: 3 Mei 2020   01:09 8152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

By Muhamad Budi Hermawan

Pada saat sekarang maupun pada zaman dulu secara sadar atau tidak sadar warga Negara pada umumnya selalu berhubungan dengan aktifitas birokrasi pemerintahan. Tidak henti-hentinya orang harus berurusan dengan birokrasi, sejak berada dalam kandungan sampai meninggal dunia. Setidaknya pada masa dalam kandungan kita sudah diperiksa ke Puskesmas yang tentunya memperoleh subsidi pemerintah, baik di swasta maupun pemerintahan. Disamping itu pada saat kita dilahirkan juga berurusan dengan pemerintahan pemerintahan, contohnya pada saat membuat akta kelahiran. Dan contoh pada saat meninggal dunia membuat akta kematian yang dibuat oleh pemerintahan, yaitu dalam hal ini sama-sama di catat oleh pihak pencacatan sipil. Beranjak dari situ setelah dewasa orang akan membutuhkan KTP yang di keluarkan oleh aparatur pemerintahan dan banyak lainnya yang urusannya juga berurusan dengan pemerintahan. Begitu luas ruang lingkup jasa pelayanan umum yang diselenggarakan oleh pemerintah sehingga semua orang mau tidak mau harus menerima bahwa intervensi birokrasi melalui pelayanan umum, itu absah adanya. Akan tetapi pertanyaan-pertanyaan etis akan muncul sehubungan dengan kurangnya perhatian para aparatur birokrasi terhadap kebutuhan warga Negara pada umumnya. Untuk memperoleh pelayanan yang sederhana saja, pengguna jasa sering dihadapkan pada kesulitan-kesulitan yang terkadang mengada-ada.
Kita sering melihat antrian panjang orang-orang yang akan membayar rekening listrik PLN, pada saat membayar pajak, urusan-urusan STNK dan SIM di Bank, di kantor-kantor pemerintah daerah atau di rumah sakit. Di samping itu juga sering terjadi diskriminasi terhadap pelayanan publik, padahal aparatur pemerintah mempunyai misi untuk melayani masyarakat dengan baik. Para pegawai tidak lagi merasa terpanggil untuk meningkatkan efesiensi dan memperbaiki prosedur kerja tetapi malahan lebih sering menolak adanya perubahan.
Etos kerja yang cenderung mempertahankan Status Quo ini telah menumbuhkan persepsi maysarakat bahwa berhubungan dengan birokrasi berarti berhadapan dengan berbagai prosedur yang berbelit-belit, makan waktu lama dan menyebalkan. Sebagian masyarakat yang menginginkan proses yang cepat, tidak lama (dalam hal ini masalah urusan administrasi) misalnya mengurus Akte Tanah di kantor Badan Pertahan Nasional, maka masyarakat atau orang tersebut akan mencari berbagai cara sehingga Akta Tanahnya cepat selesai. Contohnya dengan memeberikan sejumlah uang kepada seorang pegawai di Badan Pertahan agar Akte Tanahnya cepat selesai. Di sini jelas terjadi diskriminasi dalam pelayan publik dan telah salah menggunakan kewenangan yang telah di berikan.. Padahal pegawai tersebut sebagai aparatur yang di mata masyarakat adalah orang yang melakukan penegakkan hukum, tapi malahan yang terjadi sebaliknya. Walaupun demikian ada juga aparatur yang salah menjalankan aturan yang telah ada sehingga terjadi pelanggaran, baik itu karena kesilapan atau memang kekurangan disiplin ilmu yang dimiliki sehingga salah mengaplikasikannya.
Ini semua seperti yang dijelaskan diatas memang realitas terjadi dalam praktek pemerintahan di masa sekarang. Maka untuk itu perlu adanya penegakan hukum dan pengawasan yang efektif. Agar hal-hal seperti itu dapat diantisipasi dan tidak terjadi lagi. Penegakan hukum secara konkret adalah berlakunya hukum positif dalam praktik sebagaimana seharusnya patut ditaati. 

Menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum adalah usaha untuk mewujudkan ide-ide atau konsep-konsep (keadilan, kebenaran dan kemanfaatan) yang abstrak menjadi kenyataan Oleh karena hakikat penegakan hukum itu adalah mewujudkan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang memuat keadilan dan kebenaran, maka penegakan hukum bukan hanya menjadi tugas dari pada penegak hukum yang sudah dikenal secara konvensional. Akan tetapi menjadi tugas setiap orang. Dalam kaitannya dengan hukum publik, J.B. ten Merge mengatakan bahwa pihak pemerintahlah yang paling bertanggung jawab melakukan penegakan hukum.Subjek hukum selaku pemikul hak-hak dan kewajiban-kewajiban, dapat melakukan tindakan-tindakan hukum berdasarkan kemampuan atau kewenangan yang dimilikinya. Dalam pergaulan di tengah masyarakat, banyak terjadi hubungan hukum yang muncul sebagai akibat adanya tindakan-tindakan hukum dari subjek hukum itu, yakni interaksi antarsubjek hukum yang memiliki relevansi hukum atau mempunyai akibat-akibat hukum. agar hubungan hukum antarsubjek hukum itu berjalan secara harmonis, seimbang, dan adil atau dalam arti lain setiap objek hukum mendapatkan apa yang menjadi haknya dan menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya, maka hukum tampil sebagai aturan main dalam mengatur hubungan hukum tersebut.

Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban subjek hukum. Selain itu hukum berfungsi sebagai instrumen perlindungan bagi subjek hukum. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum terjadi ketika subjek hukum tertentu tidak menjalankan kewajiban yang seharusnya dijalankan atau karena melanggar hak-hak subjek hukum lain. Subjek hukum yang dilanggar hak-haknya harus mendapatkan perlindungan hukum. Hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara adalah Hukum Administrasi Negara atau hukum perdata, tergantung dari sifat dan kedudukan pemerintah dalam melakukan tindakan hukum tersebut. Ketika pemerintah melakukan tindakan hukum dalam kapasitasnya sebagai wakil dari badan hukum, maka tindakan tersebut diatur dan tunduk pada ketentuan hukum keperdataan, sedangkan ketika pemerintah bertindak sebagai pejabat, maka tindakan itu diatur dan tunduk pada Hukum Administrasi Negara. Tindakan hukum pemerintah dapat menjadi peluang munculnya perbuatan yang bertentangan dengan hukum, yang melanggar hak-hak warga negara. Oleh karena itu, hukum harus memberikan perlindungan hukum bagi warga negara. Perlindungan hukum bagi rakyat merupakan konsep universal, dalam arti dianut dan diterapkan oleh setiap negara yang mengedepankan diri sebagai negara hukum, namun seperti yang disebutkan Paulus E. Lotulung, masing-masing negara mempunyai cara dan mekanismenya sendiri tentang bagaimana mewujudkan perlindungan hukum tersebut, dan juga sampai seberapa jauh perlindungan hukum itu diberikan. Perlindungan hukum yang dimaksudkan ini lebih ditekankan pada perlindungan hukum terhadap sikap tindak atau perbuatan hukum pemerintah berdasarkan hukum positif di Indonesia. Menurut ten Berge, instrumen penegakan hukum administrasi negara meliputi pengawasan dan penegakan sanksi. Pengawasan merupakan langkah preventif untuk memaksakan kepatuhan, sedangkan penerapan sanksi merupakan langkah represif untuk memaksakan kepatuhan. 

Menurut Paulus E. Lotulung, pengawasan dalam Hukum Administrasi Negara ada beberapa macam, yaitu jika ditinjau dari segi kedudukan badan/organ yang mengadakan kontrol itu terhadap badan/organ yang dikontrol, ada kontrol intern dan kontrol ekstern. Kontrol intern berarti bahwa pengawasan itu dilakukan oleh badan yang secara struktural masih termasuk dalam lingkungan pemerintah sendiri. Sedangkan kontrol ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh organ  atau lembaga-lembaga yang secara struktural berada di luar pemerintah. Ditinjau dari segi waktu dilaksanakannya, pengawasan atau kontrol  dibedakan menjadi menjadi kontol a-priori dan kontrol a-posteriori. Kontrol a-priori adalah  bilamana pengawasan itu dilaksanakan  sebelum dikeluarkannya keputusan  pemerintah, sedangkan kontrol a-posteriori adalah bilamana pengawasan itu baru dilaksanakan  sesudah dikeluarkannya keputusan pemerintah. Dalam suatu negara hukum, pengawasan terhadap tindakan pemerintah dimaksudkan agar  pemerintah menjalankan pemerintahan berdasarkan norma-norma hukum, sebagai suatu upaya preventif, dan juga dimaksudkan untuk mengembalikan  pada situasi sebelum terjadinya pelanggaran norma-norma hukum, sebagai upaya represif. Di samping itu, yang terpenting adalah bahwa pengawasan ini diupayakan dalam rangka memberikan perlindungan bagi rakyat. Sarana penegakan hukum selain pengawasan adalah sanksi. Sanksi merupakan bagian penting dalam setiap peraturan perundang-undangan, bahkan ten Berge menyebutkan bahwa  sanksi merupakan inti dari penegakan Hukum Administrasi Negara.  Sanksi diperlukan untuk menjamin penegakan Hukum Administrasi Negara. Menurut Philipus Hadjon, pada umumnya tidak ada gunanya memasukan kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan  bagi para warga di dalam peraturan perundang-undangan tata usaha negara, manakala aturan-atauran tingkah laku itu tidak dapat dipaksakan oleh tata usaha negara. Salah satu instrumen untuk memaksakan tingkah laku masyarakat ini adalah dengan sanksi. Oleh karena itu, sanksi sering merupakan bagian yang melekat pada norma hukum tertentu. 

Dalam Hukum Administrasi Negara, penggunaan sanksi administrasi merupakan penerapan kewenangan pemerintahan, dimana kewenangan ini berasal dari aturan Hukum Administrasi Negara tertulis dan tidak tertulis. Ada empat unsur sanksi dalam Hukum Administrasi Negara, yaitu alat kekuasaan, bersifat hukum publik, digunakan oleh pemerintah, dan sebagai reaksi atas ketidakpatuhan. Ditinjau dari segi sasarannya, dalam Hukum Administrasi Negara dikenal ada dua jenis sanksi, yaitu sanksi reparatoir dan sanksi punitif. Sanksi reparatoir adalah sanksi yang diberikan sebagai reaksi atas pelanggaran norma, yang ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi semula sebelum terjadi pelanggaran. Sedangkan sanksi nya adalah sanksi yang semata-mata ditujukan untuk memberikan hukuman pada seseorang. Selain itu ada juga yang disebut sebagai sanksi regresif, yaitu sanksi yang diterapkan  sebagai reaksi atas ketidakpatuhan.
Keputusan sebagai instrumen hukum pemerintah dalam melakukan tindakan hukum sepihak, dapat menjadi penyebab terjadinya pelanggaran hukum terhadap warga negara, apalagi dalam negara hukum modern, oleh karena itu diperlukan perlindungan hukum bagi warga negara terhadap tindakan hukum pemerintah. Dalam rangka perlindungan hukum, keberadaan asas-asas umum pemerintahan yang baik memiliki peranan penting sehubungan dengan adanya langkah mundur pembuat undang-undang, yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk membuat peraturan peundang-undangan, dan adanya freies rrmessen pada pemerintah. Namun di sisi lain, pemberian kewenangan ini dapat menjadi peluang terjadinya pelanggaran kehidupan masyarakat oleh pemerintah. Ada dua macam perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu perlindungan hukum preventif dan represif. Perlindungan hukum preventif memberikan rakyat kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemeritah mendapat bentuk yang defintif. Artinya perlindungan hukum preventif ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.


Ada beberapa hal yang menjadi alasan warga negara harus mendapat perlindungan hukum dari tindakan pemerintah, yaitu:
a)Karena dalam berbagai hal warga negara dan badan hukum perdata tergantung pada keputusan-keputusan pemerintah, seperti kebutuhan terhadap izin yang diperlukan untuk usaha perdagangan, perusahaan atau pertambangan. Karena itu warga negara dan badan hukum perdata perlu mendapat perlindungan hukum.
b)Hubungan antara pemerintah dan warga negara tidak berjalan dalam posisi sejajar, dan warga negara berada di pihak lemah dalam hal ini.
c)Berbagai perselisihan warga negara dengan pemerintah berkenan dengan keputusan, sebagai instrumen pemerintah yang bersifat sepihak dalam menentukan intervensi terhadap kehidupan warga negara.

Di Indonesia perlindungan hukum bagi rakyat akibat tindakan hukum pemerintah ada beberapa kemungkinan, tergantung dari instrumen hukum yang digunakan pemerintah. Instrumen hukum pemerintah yang lazim digunakan adalah peraturan perundang-undangan dan keputusan. Perlindungan hukum akibat dikeluarkannya peraturan perundang-undangan ditempuh melalui Mahkamah Agung, dengan cara hak uji materiil, sesuai dengan Pasal 5 ayat (2) Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, yang menegaskan bahwa "Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang". Terdapat pula dalam Pasal 26 UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi, "Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang atas alasan bertetangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi." Ketentuan yang sama juga terdapat dalam Pasal 31 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, "Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan".

Dalam rangka perlindungan hukum, terdapat tolok ukur untuk menguji secara materiil suatu peraturan perundang-undangan yaitu bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi dan bertentangan atau tidak dengan kepentingan umum. Khusus mengenai peraturan perundang-undangan tingkat daerah, pembatalan sering diartikan dalam pembatalan secara spontan, yakni pembatalan atas dasar inisiatif dari organ yang berwenang menyatakan pembatalan, tanpa melalui proses peradilan.
Dalam Pasal 145 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terdapat ketentuan sebagai berikut:
1)Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 hari setelah di tetapkan.
2)Perda sebagaimana dimaksud ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah.
3)Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 hari sejak di terimanya Perda sebagaimana dimaksud ayat (1).
4)Paling lama 7 hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud.
5)Apabila Provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
6)Apabila keberatan sebagaimana dimaksud ayat (5) dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
7)Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda tersebut dinyatakan berlaku.
Berdasarkan ketentuan tersebut, tampak bahwa peraturan perundang-undangan tingkat daerah mempunyai mekanisme hak uji materil yang berbeda dengan peraturan perundang-undangan tingkat pusat, yaitu di tempuh melalui jalur pemerintahan dalam bentuk penundaan atau pembatalan, sebelum ditempuh melalui Mahkamah Agung.

Perlindungan hukum akibat dikeluarkannya keputusan ditempuh melalui dua kemungkinan, yaitu peradilan administrasi dan upaya administrasif. Ada perbedaan antara peradilan administrasi dan upaya administratif adalah kata peradilan menunjukkan bahwa hal ini menyangkut proses peradilan pada pemerintahan melalui instansi yang merdeka. Kemerdekaan ini tampak pada hakim administrasi yang professional, disamping juga kedudukan hukumnya; pengangkataan untuk seumur hidup, ketentuan mengenai pengkajian terdapat pada undang-undang, pemberhentian - ketika melakukan perbuatan tidak seronoh - hanya dilakukan melalui putusan pegadilan. Sifat kedua yang berkenaan dengan hal ini adalah bahwa instansi ini hanya menilai tindakan pemerintahan berdasarkan hukum.

Sedangkan upaya administratif berkenaan dengan proses peradilan di dalam lingkungan administrasi; instansi upaya administratif adalah organ pemerintahan, dilengkapi dengan pertanggungjawaban pemerintahan. Dalam hal upaya administratif ini tindakan pemerintahan tidak hanya dinilai berdasarkan hukum, namun juga dinilai aspek kebijakannya. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara perlindungan hukum akibat dikeluarkannya keputusan dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu melalui upaya administratif dan melalui PTUN. Dalam Pasal 48 di tegaskan sebagai berikut:
1)Dalam hal suatu Badan atau Pejabat TUN diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha Negara tertentu, maka sengketa tata usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.
2)Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha Negara sebagaimana dimaksud ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.
Upaya administratif ini ada dua macam, yaitu banding administratif dan prosedur keberatan. Banding administratif yaitu penyelesaian sengketa tata usaha Negara dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang disengketakan. Sedangkan prosedur keberatan adalah penyelesaian sengketa tata usaha Negara dilakukan oleh instansi yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan. Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa tata usaha Negara melalui PTUN terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 yang berbunyi: "seorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan TUN dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan TUN yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitas". Di dalam Pasal 53 ayat (2) disebutkan mengenai tolok ukur untuk menilai KTUN yang digugat di PTUN, yaitu sebagai berikut:
1)Keputusan TUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
2)Badan atau pejabat TUN pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut.
3)Badan atau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan keputusan tersebut.
Berdasarkan UU No. 9 tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 tahun 1986 tentang PTUN, alasan mengajukan gugatan yang terdapat pada Pasal 53 ayat (2) ini ada perubahan, yaitu:
Alasan alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
1)Keputusan TUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
2)Keputusan TUN yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Perubahan Pasal 53 ayat (2) ini memiliki konsekuensi:
1.Pengakuan eksistensi asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) dalam sistem peradilan administrasi di Indonesia.
2.Ada perluasan alasan mengajukan gugatan ke PTUN. Asas larangan penyalahgunaan wewenang dan asas larangan sewenang-wenang merupakan bagian dari AAUPB.

Menurut Sjachran Basah, perlindungan hukum dan penegakan hukum merupakan qonditio sine qua non untuk merealisasikan fungsi hukum itu sendiri. Fungsi hukum yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara.
2.Integrative, sebagai Pembina kesatuan bangsa
3.Stabilitatif, sebagai pemelihara dan menjaga keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
4.Perfektif, sebagai penyempurna.
5.Korektif, sebagai pengoreksi atas sikap tindak baik administrasi Negara maupun warga apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan keadilan.


Berdasarkan materi yang diuraikan diatas maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut: Hukum Administrasi Negara merupakan suatu aturan atau kaedah dalam pemerintahan yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan Negara dan kemakruran yang adil bagi masyarakatnya. Untuk mencapai yang dicita-citakan itu, maka pemerintah harus menjalankan administrasi yang baik dengan melakukan berbagai macam cara baik itu melakukan pengawasan, pengusutan dan sanksi administratif. Penegakan hukum sangat diperlukan agar semua aktifitas administrasi pemerintah dapat dijalankan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.
Diperlukan aparat pemerintah yang adil dalam melaksanakan tugasnya, yaitu aparat yang tidak melakukan diskriminatif penduduk, antara penduduk kaya dan yang tidak kaya. Aparat pemerintah yang adil adalah juga aparat yang memberikan kepada pendusuk apa yang menjadi haknya. Aparat pemerintah yang bersih, artinya tanpa cacat hukum, tidak melakukan korupsi, kolusi maupun nepotisme. Aparat pemerintah yang berwibawa, yaitu aparat yang disegani oleh penduduk, bukan ditakuti.


DAFTAR BACAAN
H.R, Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Jakarta : P.T. Raja Grafindo Persada, 2006.
Kumorotumo, Wahyudi, Etika Adminisrtrasi Negara, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
M. Madson, Philipus, R. Sri Soemantri dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta : Gajah Mada University Press.2005.
Mustafa, Bachsan, Sistem Hukum Administrasi Negara, Bandung : P.T. Citra Aditya Bakti, 2001.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun